Dari buku yang Daya baca, tidur adalah kondisi paling jujur seseorang. Hal-hal yang terkubur dalam ketidaksadaran bisa muncul lewat mimpi. Namun, bagaimana jika mimpi itu tentang kematian seseorang? Bahkan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya!
Dalam mimpi itu, ada seorang laki-laki idealis bernama Soedirdja. Wajahnya tidak terlalu jelas, tetapi suara beratnya Daya ingat persis. Kadang suara itu lantang menyemangati, kadang dingin tanpa empati, kadang pula lembut menyejukkan hati. Belakangan Daya tahu tentang satu hal. Nama lelaki itu sama dengan nama kakek buyut yang namanya pantang disebut siapa pun.
Daya baru tahu nama kakek buyutnya itu karena kecerobohan sang kakak. Lalu menurut informasi yang berhasil dikoreknya dari mulut ember kakaknya, Daya tahu jika Soedirdja, kakeknya, adalah sosok keji yang membantai rekan sebangsanya di masa lampau.
Fakta itu berkebalikan dengan yang Daya lihat dalam mimpinya. Sebab Soedirdja dalam mimpinya adalah manusia keras kepala yang selalu menomorsatukan rakyat di atas apa pun. Bahkan ketika semua orang larut dalam euforia kemerdekaan, Soedirdja bergeming. Daripada sibuk bersuka cita merayakan kemerdekaan sekaligus ketidakpastian politik di Batavia, pria itu bergelut dengan pikirannya, mencari cara menyelamatkan pribumi yang masih menjadi tawanan Jepang.
Dia mengambil tindakan atas sesuatu yang terlupakan oleh orang-orang pada masa itu.
Kontradiksi itu menghidupkan rasa ingin tahu Daya. Suatu hari sebuah informasi datang padanya. Festival budaya tahunan akan dilangsungkan. Seorang pakar budaya yang ahli dalam sejarah akan dihadirkan di sana. Ini kesempatannya.
Sejak pagi Daya sudah bersiap untuk pergi. Akan tetapi, ia jadi terlambat karena Alden, sahabatnya, benar-benar rewel dan sial berkali-kali dalam perjalanan ke festival ini.
"Daya, gue 'kan udah minta maaf," rengeknya ketika mereka berkeliling dan Daya masih menolak bicara dengannya.
Sesi bincang sejarah sudah lewat saat mereka tiba beberapa saat lalu. Itu kesimpulan yang Daya ambil dari obrolan orang-orang. Kesempatannya memperjelas ambiguitas sejarah kini kandas.
"Jarda Cadaya. Gue minta maaf, oke?"
"Yarda! Bacanya Yarda, berapa kali harus gue bilang, sih Alden?" Daya jadi semakin kesal saat sahabatnya dari SMA itu salah mengucapkan namanya.
"Iyaa, oke. Mending sekarang kita ke sana, deh daripada nggak jelas gini." Lelaki bertubuh tinggi itu menarik tangan Daya ke arah kanan.
"Ke mana, sih?"
Dagu Alden mengedik ke arah kelimun. Ramai sekali orang bersorak dan bertepuk tangan.
Daya pun pasrah saja ketika Alden membawanya menerobos masa, menyelusup celah-celah yang ada hingga sampai di barisan terdepan. Sebuah pertunjukan sulap. Dalam balutan kemeja putih, jas hitam, dan topi khasnya, pesulap itu memamerkan berbagai trik. Ia bisa memunculkan apa pun dari udara kosong.
Netra Daya tak sengaja bertemu dengan manik coklat sang pesulap. Telapak tangan si pesulap yang kosong dikepalkan, lalu ia mendekat pada Daya dan memintanya meniup kepalan itu.
"Coba Anda tiup."
Daya menatap kepalan tangan itu dalam diam. Sorak-sorak dari sekitar mendorong Daya melakukan apa yang mereka minta. Setelah itu, sebuah koin muncul dari tangan si pesulap. Sorakan kian riuh. Diberikannya koin antik itu pada Daya yang menerimanya tanpa protes.
Sekembalinya dari festival, Daya hanya duduk di kursi sambil memandangi koin pemberian si pesulap. Iseng, diputarnya koin itu ke arah kiri, berkebalikan dengan arah jarum jam. Hal aneh terjadi saat itu. Jam dinding kamarnya kini berputar terbalik seiring dengan putaran koin di atas meja. Lama-lama semakin cepat. Bumi di bawah Daya bergetar hebat, sekelilingnya tiba-tiba berkabut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Soedirdja
KurzgeschichtenKoin antik membawa Daya dalam perjalanan waktu, membuatnya sekali lagi, jatuh dalam pusaran masa yang relatif dan upaya yang percuma.