Hari Senin tidak pernah menyenangkan. Ketika Tiffany datang dengan membawa laporan evaluasi kerja mingguan beserta ide-ide yang muncul secara terstruktur, Jessica memegang rahangnya dengan satu tangan dan memutar kepalanya, mengintip lebih dekat ke sisi lehernya.
“Apakah itu hickey?”
Tiffany membeku. “Aku.. um, bukan.”
“Apa aku terlihat bodoh bagimu?” hardik Jessica menyilangkan kedua lengan ke depan. “Siapa yang memberimu cupang dan mengapa kamu tidak memintanya menandatangani perjanjian rahasia?”
“Astaga, tenanglah. Kamu adalah orang pertama yang akan aku hubungi jika aku membutuhkan perjanjian rahasia tetapi kamu bisa bersantai untuk situasi saat ini.”
“Dengar,” katanya dengan tegas. Jessica sama sekali tidak dapat bersikap tenang kalau itu menyangkut masalah pekerjaan. “Aku sudah mengenalmu sejak kamu menulis contekan di balik rok saat ujian sekolah. Kamu pikir aku tidak tahu kapan kamu berbohong? Lebih baik kamu tidak mempunyai hubungan personal dengan daftar pria-pria yang boleh kamu temui selama siklus pemilu berlangsung karena mereka seharusnya menjadi rekan kerja. Aku juga perlu menambahkan beberapa nama baru dan mengirimkannya melalui email setiap hari ketika aku tidak ada di sampingmu.”
“Ya Tuhan. Baiklah.”
“Dan untuk mengingatkanmu, aku tidak akan membiarkanmu melakukan tindakan bodoh yang dapat menyebabkan ayahmu kalah dalam pemilihan periode kedua. Aku akan menguncimu di kamar selama satu tahun penuh jika itu perlu sehingga kamu bisa mengikuti ujian akhir di bawah kolong tempat tidur. Tidak cukup sampai di situ, aku akan menjahit bibir bawahmu jika itu bisa membuatnya tetap berada di dalam celana. Apa kamu mengerti?”
Tiffany mengangguk dengan cepat. Dia bersumpah, gadis itu lebih menakutkan daripada orang tuanya sendiri. Jessica kembali melihat ke catatannya dengan profesionalisme yang halus seolah-olah dia tidak pernah mengancam nyawa seseorang. Sunny melewati sisa hari yang panjang dengan memanjatkan doa untuk keselamatan temannya.
Hari berganti minggu.
Minggu berganti bulan.
“Siapa nama belakang anjingmu?” kata Tiffany melempar tasnya ke sisi tempat tidur. Sesungguhnya dia tidak pernah mengucapkan salam ketika menelepon Taeyeon.
“Apa?” respons bingung seperti biasa dengan satu kata tanya.
“Nama belakang,” ulang Tiffany sambil terlentang di tempat tidur memandang langit-langit kamar. “Ginger Kim dan Zero Kim. Kedengarannya tidak terlalu buruk.”
Dia mendengar suara gesekan melalui telepon dan bertanya-tanya apakah Taeyeon berada di tempat tidur. Mereka sudah tidak bertemu selama beberapa minggu jadi gambaran tersebut muncul begitu saja.
“Tidak.”
“Kamu bisa menganggap mereka seperti anakmu sendiri atau anggota keluarga. Memberikan baju dan mainan serta nama belakang.”
“Itu.. konyol.”
“Hei, kamu terdengar aneh.”
Nafas Taeyeon tercekat lalu berdeham. “Aku baik-baik saja.”
Tiffany tidak mengatakan apa-apa selain mendengarkan suara nafas mereka yang merenggang selama beberapa saat. “Kau tahu, terlepas dari perjanjian hitam di atas putih, kamu dapat menceritakan banyak hal. Aku selalu memberitahumu; urusan politik, kegiatan mahasiswa serta kegilaan di keluarga. Aku mungkin terlalu banyak berbicara omong kosong tapi aku akan merasa senang jika bisa mendengar cerita keseharianmu.”
“Aku.. secara historis.. tidak hebat dalam membicarakan berbagai hal.”
“Ya, secara historis aku tidak hebat dalam permainan lidah tapi kita semua harus belajar untuk berkembang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue and White House
FanfictionKetika perseteruan antara putri Presiden Amerika Serikat, Tiffany Hwang; dan putri Presiden Korea Selatan, Kim Taeyeon; terancam akan memperburuk hubungan internasional kedua negara, mereka terpaksa untuk berpura-pura menjadi sahabat di depan kamera...