ii - a

16 1 0
                                    

» 𝙄𝙣𝙙𝙖𝙝 𝙩𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜, 𝙨𝙚𝙥𝙚𝙧𝙩𝙞 𝙢𝙖𝙩𝙖𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙠𝙪 𝙥𝙖𝙣𝙙𝙖𝙣𝙜

» 𝙄𝙣𝙙𝙖𝙝 𝙩𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜, 𝙨𝙚𝙥𝙚𝙧𝙩𝙞 𝙢𝙖𝙩𝙖𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙠𝙪 𝙥𝙖𝙣𝙙𝙖𝙣𝙜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_____________________________________________________

"Aku gak tau harus gimana lagi, aku udah gak punya siapa-siapa!" Tangis Friska pecah membelah kesunyian.

"Kayanya lebih baik aku mati aja! Ugh! Ugh!" Racaunya tiba-tiba sembari memukul kepalanya sendiri.

Melihat sahabatnya menyakiti dirinya sendiri, Altea segera menahan kuat kedua tangan Friska sebelum gadis itu bertindak lebih jauh lagi. "Friska! Friska! Stop!"

"Lepas Tea! Aku gak bisa lagi, aku udah gak sanggup!" Friska susah payah berusaha meloloskan lengannya dari cengkraman erat Altea.

"Friska, aku bilang stop!" Satu bentakan Altea cukup untuk membuat nyali sang gadis menciut. Apalagi ekspresi seriusnya yang sangat jarang Altea tunjukkan, sorot mata tajam itu membuat Friska tak dapat berkutik. "Lihat aku, ayo atur napasmu dulu."

Bak terhipnotis, Friska yang tadinya bertindak anarkis kini langsung tunduk pada titah Altea. Perlahan tapi pasti, ia mencoba mengatur napasnya yang masih terengah. Menarik napas panjang dari hidung dan mengeluarkannya melalui mulut. Sejalan dengan arahan yang dicontohkan lelaki yang masih setia menatapnya lekat. Sedikit demi sedikit tatapan dominan itu berubah menjadi penuh kelembutan. Begitu pula dengan cengkraman di lengannya yang kian melemah.

"Oke bagus, tenangkan dirimu."

Tea merapikan rambut panjang Friska yang nampak kusut dengan lembut serta menyelipkan anak rambut yang berantakan di sela telinganya.

"Kamu gak sendiri Fris, masih ada aku. Aku akan selalu nemenin kamu," seutas janji yang terucap dari bibir tebal laki-laki bermata hazel itu mampu membawa Friska menghambur ke pelukannya.

»»»

Altea berjalan sedikit membungkuk karena menggendong seseorang di pundaknya. Siapa lagi kalau bukan Friska? Awalnya ia menolak, namun Tea memaksa. Khawatir telapak kaki Friska lecet karena tak memakai alas kaki katanya.

Suasana terasa sepi sepanjang perjalanan. Tea yang fokus pada jalan, sementara Friska menenggelamkan wajahnya di pundak sahabatnya. Hanya deru napas yang menemani perjalanan mereka saat ini.

"Fris, kamu berat," tutur Altea memecah keheningan.

Friska yang merasa tak enak hendak turun dari gendongan Altea. "Maaf, kalo gitu aku jalan kaki aja."

Tak disangka, pria itu malah menahannya. Bahkan sedikit mengangkat tubuh Friska, guna membetulkan posisinya.

"Gak papa, aku kan kuat," canda pria itu sembari melipat salah satu lengan layaknya binaragawan yang sedang mengangkat beban.

Friska terkekeh pelan dibuatnya. Membuat Altea tersenyum lega mendengar Friska kini sudah bisa tertawa.

"Tea..." panggil Friska pelan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKHIR (TAK) BAHAGIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang