Dear, Hwarang-Sama

10 1 0
                                    

_Gadis kecil di taman Himawari_

Hanya dua musim..
Keindahan milik masing-masing.
Puisiku, tak dapat menyaingi.
*


Aku bangun lebih pagi dari biasanya.
Bahkan ayam pun belum bangun dari tidurnya. Aku berdiam diri sejenak mengingat mimpi kemarin. Tak berguna, aku sama sekali tak mengingatnya. Namun aku tahu, itu bukan mimpi yang Indah.

Aku pergi mengerjakan tugasku lebih dini. Lalu aku keluar rumah dengan rasa sedikit letih. Saat aku menatap luar,
Bahkan matahari pun belum sempurna terbit di ufuk Timur.
Aku mulai bosan menunggu waktu benar-benar pagi. Maka aku pergi ke hutan untuk bermain. Letaknya tak jauh, di seberang sungai belakang rumahku.
Setidaknya sejenak, aku bisa melupakan sebuah rasa yang baru muncul.

*

Aku sampai, dan rasanya benar-benar damai. Tak ada yang tahu aku disini.
Aku memanjat pohon yang kokoh.
Aku duduk didahannya, sembari menatap burung-burung yang sedang mencari makan.
"Betapa bebasnya mereka" fikirku dalam hati.

*

Matahari mulai naik dan sinarnya semakin sempurna. Orang-orang pasti sibuk saat ini. Lalu, aku melihat asap membumbung tinggi. " Beberapa orang disana sedang memasak besar-besaran. Pasti untuk kenduri hasil panen." Kata Sepoi secara tiba-tiba.
Aku terkejut mendengarnya. Sampai-sampai aku hampir jatuh dari dahan yang kududuki. "Biasakan menegurku terlebih dahulu. Kau bisa saja membuatku mati karena jatuh dari atas sini." Aku mulai memarahi Sepoi.
Ia hanya tertawa keras. Sampai-sampai, angin yang ia buat membuat pohon-pohon bergoyang cukup keras.

"Hentikan! Jangan berlebihan. Walau kau Sepoi, angin yang kau hasilkan juga bisa menjadi badai." Kataku dengan nada sedikit meninggi. "Ah.. maaf. Kau tampak lucu seperti biasanya." Sepoi membalasku.
"Tidak. Aku tak suka jika seseorang mengatakan aku lucu. Itu bukan aku. Aku hanya biasa-biasa saja." Kataku.
"Ya. Itu argumenmu. Dan kau akan selalu seperti itu. Tidak suka dipuji." Sepoi membalas ucapanku.

Tiba-tiba.. aku menatap sesuatu yang tidak cukup asing. Seseorang datang. Ia duduk di pohon yang aku panjat. "Hwarang-Sama mu.. sedang istirahat disini.." bisik Sepoi. Aku hanya diam tak menjawabnya. Aku pura-pura tak peduli seperti biasanya. Namun Sepoi sangat usil. Ia membuat angin yang cukup keras untuk membuatku marah. Namun aku tetap bersikukuh untuk tidak bersuara.

Aku mendengar sesuatu sedang bergerak mendekati Hwarang itu. Ternyata seekor rusa dan beruang semalam. Mereka mendekatinya dengan lembut. Aku kagum dengan Hwarang itu. Ia bahkan mampu berteman dengan hewan yang liar seperti itu.

*

Aku mendengar ia bersyair.
Syairnya indah. Aku tahu bait-bait itu ia karang sendiri. Maknanya cukup dalam.
Aku menyukainya. Lalu beberapa kalimat di akhir syairnya telah membuatku seakan terpaku.

Aku begitu rindu.
Padahal bayangmu tak pernah tampak.
Biarlah.
Apakah aku merasakan hal yang sama?
Entahlah.. aku juga tak Dapat memahaminya.
Kini.. sepoi mampir.
Namun ia tak mau menyapaku.
Jika kau mampu menyampaikan rasa ini,
Maka sampaikan rinduku_
pada seseorang yang bahkan aku tak tahu siapa ia.
Tolong sampaikan.. karena aku tahu kau mendengarku.

*

Setelah itu, Hwarang itu pergi. Ia berlalu begitu saja. "Siapa yang ia maksud?" Tanyaku pada Sepoi. "Kau dekat dengannya?" Tanya ku kembali. Sepoi hanya diam. Raut wajahnya menunjukkan ia tahu jawaban dari pertanyaanku.
"Ia mengenalku. Aku sudah biasa berkelana jauh. Dan ia mampu berbicara padaku.. namun, mengenai seseorang itu..aku bahkan tak tahu. Mungkin ia merasakan cinta namun ia tak tahu pada siapa. Mungkin saja.. dan itu bukan perkara yang mustahil." Kata sepoi.

Setelah peristiwa itu.. maka aku menyadari, kini aku mencintai Hwarang itu.

*

Aku segera pulang kerumah dengan cepat.
Ternyata ibuku mencari ku. "Kau dari mana saja? mengapa cepat sekali bangun?" Tanya beliau. "Tadi rasanya tidurku nyenyak sekali bu.. jadi aku cepat bangun dan mengerjakan pekerjaanku lebih cepat. Dan tadi aku hanya bermain sebentar di belakang rumah." Jawabku.
Ibuku hanya tersenyum melihatku dan membawaku untuk sarapan di ruang makan. "Kau masih seperti anak-anak.. kau harus lebih banyak makan dan belajar." Kata ibuku saat aku sedang makan. Aku hanya mengangguk saja. "Dimana yang lain Bu?" Aku bertanya. "Mereka sedang pergi mengerjakan tugas mereka juga seperti biasa. Kakekmu sedang dikamar. Tampaknya kurang enak badan." Jawab ibuku. Aku hanya mengangguk sambil melanjutkan makanku.

*

Waktu bergerak dengan cepat, kini malam sudah mengambil alih tugas matahari. Rumahku terdengar cukup ramai. Para tetangga dan anak-anak mereka datang berkunjung kerumah. Aku sebenarnya malas untuk bertemu mereka, namun ibuku memaksa untuk datang dan berbincang dengan mereka.

Anak-anak itu ternyata seusia denganku, bahkan ada yang lebih tua walau hanya berjarak 2 tahun. Mereka cukup cantik menurutku. Namun mereka juga cukup berisik. Mereka berbincang-bincang mengenai para "Hwarang" kaisar itu. Sampai-sampai mereka terlihat gila karena sudah menyukai visual mereka. "Ah.. aku ingin menjadi salah satu istri mereka.." kata salah satu dari mereka. Bahkan disahut oleh yang lain menyetujui bahwa mereka juga menginginkan hal yang sama.
"Aku akan menjadi seseorang yang cukup dipandang mungkin. Tapi menjadi permaisuri kaisar juga boleh kan!?" Kata salah seorang yang lain. Aku mulai berfikir mereka tampak seperti orang yang kampungan. "Tak perlu seperti itu" kataku. Mereka menatapku seperti aku ini tampak aneh dimata mereka.
"Kau jangan jadi wanita munafik. Kau menginginkan hal seperti itu bukan!?" Setelah mereka berkata seperti itu, aku menyadari mereka seperti mahkluk bunian yang paling buruk.

Aku hanya menggelengkan kepala lalu pamit untuk kembali ke kamarku. Tampak dari raut wajah mereka bahwa mereka tidak menyukaiku. Tapi seperti biasa. Aku tak peduli.
Mereka tidak tahu dan itu bukan urusan mereka.

*

Saat aku tiba di kamarku, angin lembut memenuhinya. Sepoi tiba. Ia masuk dan menegurku dengan baik. "Ada apa?" Tanyaku. "Tetangga-tetanggamu tampak seperti bunian yang bodoh." Kata Sepoi dengan cukup kasar. "Hush. Biar saja. Aku juga tidak peduli." Aku menjawabnya dengan lembut. Ternyata sepoi mengetahui hal yang baru saja terjadi. Ia turut mendengarkan, namun ia diam saja.
"Kebiasaan buruk. Jangan suka menguping." Kataku pada Sepoi. Tapi ia hanya memasang ekspresi mengejek yang cukup lucu. "Dasar keras kepala." Ujarku sambil tertawa. Ia hanya membalas ku dengan tertawa juga. Ia menemani ku malam itu sampai aku tertidur. Namun sebelum itu, saat aku menatap pada arah luar jendelaku. Langit malam yang pekat tanpa bintang. Saat itu, tiba-tiba aku merasakan sesuatu. Cukup mengganjal, maka aku tuangkan kembali pada kertas kosong.
Sepoi menungguku tidur dengan tenang. Anginnya membuatku merasa nyaman. Maka ungkapan yang aku tulis untuk mengakhiri malam itu,

Rembulan, ia begitu serasi pada mentari.
Awan, ia selaras pada angin. Tanah..
Ia terpikat pada Bumi.
Langit, ia semakin tampak sempurna saat bintang menghiasinya.
Lautan indah seperti apa yang tercipta didalamnya.

Namun aku?
Apa yang dapat membuatku merasa sempurna?
Hwarang-Sama.. apakah kita bisa saling menyempurnakan?
Entahlah.. aku tak tahu.
Bahkan sepoi tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
*

Dear Hwarang-Sama,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang