Enah apa yang sudah terjadi. Rasanya, baru kemarin Rafkal hidup terlantar, kini dirnya menjadi orang kaya mendadak. Jadi bungsu keluarga kaya, punya kakak banyak. Setelah kemarin dihadapkan dengan masalah-masalah hidupnya yang semakin rumit, Rafkal kini berbaring nyaman di kamar besar yang kini sudah menjadi miliknya.
"Haahhh ... Hidup gue kok makin kesini makin aneh, ya? Niat mereka angkat gue jadi adik, tuh, apa sih? Gue ini loh, jelek, dekil, item, banyak makan lagi," Rafkal bermonolog sembari menatap langit-langit kamar.
Rafkal akui, dia tahu, sebenarnya, dia di adopsi hanya untuk menggantikan posisi adik kandung mereka yang sudah meninggal, yang katanya memiliki wajah sama persis seperti dirinya.
"Haikal. Gue minta izin buat gantiin posisi lo, jujur itu bukan keinginan gue, kok. Gue Cuma disuruh sama dua curut temen lo itu. Oh, sama abang lo juga bilang gitu," Rafkal membuang nafas pelan, "Gue bakal jadi diri gue sendiri, kok. Karena pada dasarnya kita berdua emang berbeda, walaupun ribuan orang bilang kalau wajah kita sama. Gue janji sama lo, gue bakal jagain abang lo sebisa gue, gue bakal coba buat sayang sama mereka,"
Rafkal beranjak menuju balkon. Matanya memandang taman yang berhadapan langsung dengan kamar yag saat iini dia tempati. "Haikal, ah, mungkin, abang? Bang, gue nggak tahu gimana perlakuan mereka sama lo selama lo masih ada, gue nggak tahu sikap lo sama mereka gimana. Tapi, menurut pandangan gue, kayaknya mereka se-sayang itu ya, sama lo. Sampai abang lo itu depresi gara-gara lo pergi. Kalaupun iya, mungkin lo jadi orang paling bahagia selama lo hidup di dunia. Gue mau bilang makasih sama lo, udah ngasih gue kesempatan buat masuk ke dalam keluarga lo, gue juga minta maaf kalau seandainya mereka nganggap gue sebagai lo. Gue juga izin buat jadi temennya dua curut itu,"
"Kamu salah, Rafkal. Justru kita se-jahat itu sama Haikal, sampai dia pergi. Dan karena kejahatan kita itu jadi karma bagi kita sendiri, termasuk Johnny. Terimakasih sudah hadir, Rafkal. Setidaknya, kita bisa tebus segala kesalahan kita lewat kamu," Gumam seseorang yang sedari mendengar perkataan Rafkal. Tanpa sadar, matanya mengeluarkan air mata. Tak ingin berlarut-larut, dia pun pergi dari depan pintu.
Rafkal terbangun dari tidur nyenyaknya. Sudah lama sekali dia tidak tidur nyenyak seperti malam tadi. Biasanya Rafkal akan tertidur jam dua dini hari, insomnia. Rafkal beranjak dari tempat tidurnya, Kamar mandi menjadi tujuan pertma dia harus mandi.
Sepuluh menit berlalu, Rafkal keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang sudah segar. Kaki kecilnya berjalan menuju lemari yang ada di pojok ruangan. Rafkal berdecak kagum saat melihat lemari yang sudah penuh.
"Seniat itu, mereka. Anjir ini baju masih dibungkus semua, nggak papa nih, kalau gue buka? Ah, nggak sopan, Kal, bukan punya lo itu,"
"Buka aja, kan emang buat kamu,"
Rafkal tersentak mendengar suara dari belakang tubuhnya. Mendapati lelaki jakung yang juga saat ini sudah menjadi kakaknya, sangat disayangkan, Rafkal belum hafal dengan urutan kakak barunya. Bahkan, Rafkal tidak tahu, siapa yang saat ini berdiri di depannnya.
Menyadari raut bingung Rafkal, lelaki tersebut terkekeh pelan, "Belum kenal, ya? Saya Tiar, tertua nomor tiga," Jelasnya disertai senyum tipis di bibir mungilnya.
Rafkal mengangguk, tersenyum canggung, "Oh, iya. Rafkal masih bingung," Tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tiar tersenyum maklum, "Yasudah, selesaikan urusan kamu. Semua yang ada di kamar ini, sudah jadi milik kamu, jadi tidak perlu merasa tidak pantas. Setelah selesai, turun sarapan," Tiar pergi meninggalkan kamar Rafkal, dengan Rafkal yang masih berdiri kaku.
"Ya tuhan. Mukanya cantik, tapi auranya dominan banget. Anjir sampek merinding," Rafkal bergumam sambil memakai pakaian barunya. "Bejirrr, bajunya bermerk semua ini mah. Beda sama gue dulu, beli baju seratus ribu dapet tiga," Rafkal meringis megingat dirinya dulu.
"Rafkal!"
Rafkal tersentak mendengar panggilan dari luar, "Iya! Ini sudah, mau turun," Rafkal segera beranjak, tak lupa memakai minyak telon andalannya di area leher dan sekitarnya.
"Nah, Rafkal. Sekarang duduk. Jangan canggung, jangan malu. Kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Anggap kami sebagai keluargamu sendiri. Katakan apapun yang kamu ingin tahu, dan apapun yang kamu butuhkan. Ingat, tidak perlu sungkan, mengerti?" Kata si sulung, Taeil.
Rafkal mengangguk, " Rafkal makasih banyak sama kalian, udah mau nerima Rafkal dengan ikhlas masuk ke keluarga ini. Setelah sekian lama, akhirnya Rafkal bisa punya keluarga lagi,"
"Nah, sekarang kita mulai sarapannya. Setelah itu, Rafkal temui abang di ruang kerja," Taeil berujar sembari menyuapkan makanan. Rafkal mengangguk mengiyakan.
"Rafkal, kamu mau melanjutkan di sekolah mana?" Taeil menatap Rafkala yang sdah duduk di sofa ruang kerjanya.
"Rafkal ikut kalian aja, Bisa sekolah lagi juga udah bersyukur, kok."
Taeil menghela nafas, "Rafkal, abang nggak akan ngelarang apapun ang kamu inginkan. Abang juga nggak akan maksa kamu buat lanjut ke sekolah yang abang inginkan. Yang terpenting kamu nyaman, kamu boleh sekolah dimanapun, sesuai keinginan kamu,"
Rafkal mengangguk pelan, "Kalau gitu, Rafkal mau bareng sama dua curut itu aja," Jawabnya pelan.
Taeil mengerutkan keningnya. "Siapa curut?"
Rafkal membelalakan matanya saat tersadar akan perkataanya tadi. Kepalanya menggeleng cepat. "Maksudnya, Jeffry sama Rendi, bang!"
Menganggukkan kepalanya, Taeil tersenyum kecil, "Baiklah, sesuai keinginan kamu,"
"Senin kam sudah bisa masuk. Biar nanti Jeffry sama Rendi yang jemput kamu," Lanjut Taeil.
Rafkal mengangguk paham. "Kalau gitu, Rafkal keluar dulu," Rafkal keluar setelah melihat Taeil mengangguk.
"Gampang banget ya, jadi orang kaya. Mau sekolah aja tinggal bilng mau dimana, ehh, langsung bisa masuk seninnya. Beda banget nih, sama gue dulu, mau masuk Playgroup pun harus nunggu berminggu-minggu. Duitnya kagak ada," Rafkal terus bergumam sembari berjalan menuju kamarnya. Dia tidak, bahwa sedari tadi dia di ikuti oleh sesorang, Marvel.
Marvel tersenyum mendengar kalimat yang keluar dari mulut Rafkal, walaupun lirih, Marvel masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Dan mulai sekarang, kamu tidak erlu menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan apapun yang kamu inginkan, tinggal katakana pada abangmu, maka hari itu juga kamu bisa mendapatkannya,"
Langkah Rafkal terhenti mendengar suara tersebut. Dengan segera dia membalikkan tubuhnya, tersentak kecil saat melihat Marvel yang sedang berdiri menatapnya seraya tersenyum.
Jujur saja, Rafkal sedikit takut terhadap Marvel. Sebab, kesan pertama yang dia dapatkan dari Marvel saat pertama kali bertemu adalah tatapan tajam, serta suara yang datar dan kaku.
"Kamu tidak perlu takut, maa kalau abang pernah membuuatmu takut. Abang Cuma kaget saat itu. Dan ternyata itu tidak seperti apa yang abang pikirkan," Marvel mengusa surai lembut Rafkal.
Rafkal tersenyum canggung, "Memang apa yang abang pikirkan saat itu?"
Marvel menggeleng, "Kamu tidak perlu tahu. Yang perlu kamu ketahui dan kamu ingat adalah, bahwa kamu sekarang sudah resmi jadi adik abang. Jadi apapun yang terjadi kamu harus bilang sama abang. Karena mulai sekarang kamu sudah menjadi tanggung jawab abang,"
Setelahnya, Marel meninggalkan Rafkal yang terdiam mematung.
Bukannyaapa, Rafkal hanya sedang memikirkan, apa jika dia meminta di belikan motor baruakan langsung di turuti? Memang sedikit berlebihan, tapi Rafkal juga butuh.Toh, mereka juga bilang, kalau ingin apa-apa langsung bilang saja, kan? Kalaubegitu Rafkal akan mencobanya
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Rafkal
Teen Fiction[SEQUEL OF 7 DAYS] "Setidaknya, aku mati dalam keadaan kenyang," Rafkal aditya