01••Tali Persaudaraan

295 50 36
                                    

—11 Februari 2011

“Kai terus Kai terus. Padahal Kai salah udah coret-coret lantai. Tapi tetep aja yang dimarahin Kenken.”

“Capek dengel Bang Kenken ngomel telus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Capek dengel Bang Kenken ngomel telus.” Anak seusia 5 tahun mengeluh begitu abangnya selesai mengomel. “Bang Ken pintel ngomong sampe lupa diem.”

Raka Bumi Mahkota, seorang pria berusia 32 tahun itu menoleh. “Kai, habis makan jangan lupa diberesin.”

“Eh, iya, Papi. Tadi Kaikai lupa.” Kainan segera membereskan piring bekas makannya.

“Ken nggak diomongin juga, Pap?” si sulung yang baru berusia 10 tahun itu menatap Raka datar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ken nggak diomongin juga, Pap?” si sulung yang baru berusia 10 tahun itu menatap Raka datar. “Ken juga pengen diomongin gitu. Nggak cuman diomong kesalahannya doang.”

“Kamu sudah besar. Tidak usah diomong juga harusnya sudah bisa mikir sendiri, Ken.”

“Waktu Ken kecil Papi nggak pernah tuh ngomongin kayak gitu.” Kendra beranjak dari kursi hingga suara decitan kursi mengalihkan atensi wanita yang duduk di kursi roda. “Papi cuman sayang sama Kai.”

“Ken, kok kamu gitu?” wanita cantik itu menggenggam lembut tangan putranya. Namanya Reina Amara Putri. “Papi sayang sama kamu juga, kok.”

“Kalo Papi sayang sama Ken, pasti perhatian dan juga dukung apa yang disukai Ken. Nggak pernah tuh selama ini Papi mau dengerin kemauan Ken. Selalu aja Ken yang harus patuh. Sementara Kai, dia selalu aja dapet perhatian terus diturutin semua kemauannya.”

“Ken, kamu sudah besar. Papi nggak mungkin biarkan kamu manja-manja terus.”

“Emang Ken dari kecil selalu manja? Nggak, Pap. Ken dari kecil sama Papi selalu dituntut bisa sama kemauan Papi. Iya Ken udah gede. Tapi Papi memperlakukan Kai beda dari perlakuan ke Ken pas kecil.”

“Bang Kenken ngomel telus,” komentar Kainan selepas menaruh piring di wastafel.

“Lo diem aja!” sentak Kendra.

•••••

“Bang Kenken, liat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Bang Kenken, liat ini.”

“Apa, sih?! Nggak liat gue lagi belajar?!” bentak Kendra reflek mendorong adiknya.

Kainan menunduk lesu. “Kaikai cuman ngajak Bang Kenken main.”

“Lo kalo mau main nggak usah ngajak gue!”

“Ken, nggak boleh galak sama adeknya.” Reina menegur. Sembari menenteng tas selempang, wanita itu terburu-buru berjalan menuruni anak tangga. “Mami mau pergi dulu, ya? Kalian jangan berantem.”

“Mau kemana, Mi?” Kainan mendongak. “Kaikai mau ikuttt ....”

Reina menggeleng gemas menatap anak bungsunya. “Kaikai di rumah aja ya sama Bang Kenken. Mami ada kerjaan. Di luar lagi hujan juga. Kaikai di rumah aja nggak boleh ikut.”

Bibir anak itu memberenggut dan merengek. “Kaikai mau ikut. Kaikai gak mau sama Bang Kenken. Bang Kenken galak.”

Menghela napas. “Gue gak bakalan galak kalo lo nggak ganggu.” Kendra menutup bukunya. “Mi, perginya nunggu Papi pulang, ya? Kenken males berdua doang sama Kaikai.”

“Nggak bisa, Ken. Mami buru-buru ada kerjaan. Kalo nunggu Papi pulang kelamaan, Ken. Nanti Mami telat.” Tak ingin berlama-lama lagi Reina melenggang begitu saja tanpa mendengar bujukan Kendra lagi.

“Lo sini aja,” kata Kendra pada adiknya.

Kendra segera berlari menyusul Reina ingin mencegah pergi. Namun, maminya terlanjur masuk mobil. Kendra menerobos hujan deras dan mengejar mobil Reina. Dia berteriak-teriak memanggil dengan di belakang pun Kainan ikut berteriak memanggil Kendra. Merasa risih diikuti Kendra semakin berlari cepat mengejar mobil itu. Hingga di pertigaan jalan mobil berbelok, dan Kendra tetap mengikuti.

Langkah Kainan yang tak hati-hati tergelincir. Dia tertinggal jauh dari Kendra. “Abang!! Kaikai jatuh. Kaikai jangan tinggal!!” Anak kecil itu menangis di bawah derasnya air hujan. Dia tak tahu arah pulang kalau tertinggal jauh dari Kendra begini. “Bang Kenken!! Huahhh!! Bang Kenken mana?”

“Cengeng banget. Gitu aja nangis.” Kendra putar balik mendengar tangisan Kainan. Mengulurkan tangan begitu ada di hadapan sang adik. “Berdiri. Gue kan udah bilang lo di rumah aja.”

Tersedu-sedu, tangan Kainan menjabat Kendra. Dia berdiri. “Bang Kenken jangan tinggal Kaikai ....” menggenggam tangan Kendra. “Takut sendili ....”

“Apa sih lo?! Gue nggak mau digandeng!” Kendra menepis kasar tangan mungil Kainan. Namun, Kainan kekeuh ingin bergandengan dengan Kendra. Anak itu terlanjur dihantui rasa takut. “Gue bilang lepas!” bentaknya murka.

Keduanya saling tarik-menarik tangan Kendra tanpa mempedulikan sekitar. Tenaga Kainan yang tak sebanding akhirnya kalah dan pasrah didorong. Belum terjatuh menyentuh tanah, tiba-tiba kendaraan roda dua dengan secepat kilat menabrak tubuh Kainan. Anak itu terpental jauh dan berakhir membentur kerasnya aspal.

Kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Kendra terpaku di tempat melihat tubuh mungil adiknya tergeletak bersimbah darah.

“Gimana sih bocil! Kalo main tuh jangan di tengah jalan!” pengendara motor itu tanpa ada niatan menolong setelah mengomel langsung pergi begitu saja meninggalkan korban yang tergeletak bersimbah darah.

•••••

Lagi mager nulis sumpah🥲


HARSA (Aku Rindu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang