Sepuluh Halaman

44 0 0
                                    

“Tengah hari, siang bolong. Kurasa langit Depok benar-benar sudah bolong.”

Seorang gadis berjalan kaki dari stasiun menuju perpustakaan, badannya yang masih lemah karena baru saja sembuh dari sakit tapi berusaha tegak menyusuri jalanan di bawah cuaca Depok yang luar biasa panasnya. Seharusnya tadi aku naik bus saja, ujarnya dalam hati.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Ah tapi sudahlah, sudah hampir di depan Fakultas Hukum, sedikit lagi.” Ia tetap berjalan walau dengan kaki yang terseok-seok, badannya sudah lemas akibat suhu udara yang luar biasa ini.

Ini hari Jum’at. Perpustakaan ramai tapi hanya ada satu yang dicarinya. Dia naik ke ruang baca di lantai dua, lalu berjalan ke rak buku fiksi. Dia mengambil Mengungkit Pembunuhan dari Agatha Christie, lalu duduk di meja keempat dari kiri.

Kok tidak ada, ujarnya dalam hati. Dimana? Seharusnya jam segini, dia sudah di sini. Gadis itu mengedarkan pandangannya, betul-betul tidak ada di sini. Seharusnya dia ada di sini, buku itu belum habis dibacanya.

Gadis itu memeriksa jam tangannya. Betul kok, ujarnya kembali dalam hati. Pada detik ini, di hari Jum’at lima pekan yang lalu, ada seorang laki-laki berdiri di sebelah si gadis untuk mengambil buku Agatha Christie yang berjudul Sepuluh Anak Negro dari rak buku. Sejujurnya, gadis ini tidak pernah benar-benar memperhatikan orang sebelumnya, tapi kali ini lain. Laki-laki itu membaca novel dari penulis favoritnya. Buku paling fenomenal dari semua karya Agatha Christie. Gadis itu terdiam, dia belum pernah melihat orang lain mengambil buku di rak ini sejak pertama kali dia menjadi pengunjung tetap perpustakaan. Walau ia hanya ke sana setiap hari Jum’at tapi dia yakin sekali bahwa tak banyak orang yang ingin membaca buku di rak ini karena debunya hanya tersingkir pada setiap buku yang ditariknya. Menarik sekali, ujar gadis ini dalam hati. Akhirnya ada orang yang suka novel detektif juga sepertiku di sini. Laki-laki tersebut menggeser kursi lalu membaca di meja ketiga dari kiri.

Pastilah laki-laki ini seorang yang cerdas, pikirnya. Lihatlah betapa seriusnya ia dalam membaca setiap kata dalam halaman buku tersebut. Gadis ini sampai punya pikiran, apa mungkin dia membaca keterangan lebar dan panjang buku ini juga? Sejak pekan pertama sang gadis melihatnya, ia melihat laki-laki itu membaca sepuluh lembar. Dia diam, membaca buku itu dengan fokus. Buku itu dipegangnya dengan kuat, seolah akan ada yang mengambil buku tersebut dari dirinya. Setelah lembar kesepuluh, laki-laki itu melipat halaman kesebelas dari buku tersebut. Gadis itu diam, bukankah sepuluh lembar itu jumlah yang sedikit? Mengapa ia hanya menghabiskan sepuluh lembar saja? Apa dia tidak menyukai buku tersebut?

Di tengah gemuruh pikiran sang gadis, laki-laki itu berdiri lalu bergegas mengembalikannya ke rak. Mata sang gadis mengekor langkah kaki lalu kehilangan sosok laki-laki itu di balik rak-rak buku. Ada kekecewaan yang terpendam dalam hati sang gadis, dia sedih karena pada akhirnya, tidak ada orang yang sungguh menyukai buku-buku detektif ini sama sepertinya. Padahal akan menyenangkan jika punya teman dengan selera yang sama. Gadis itu diam. Ah sudahlah, mungkin memang buku itu membuat dirinya bingung. Pikiran gadis itu sudah Kembali positif dan ia melanjutkan halaman ke-97 dari Pembunuhan Roger Ackroyd.

***
Hari ini tepat sudah pekan kelima sejak pertama kali sang gadis melihat laki-laki itu dan sudah empat kali mereka berada di ruangan yang sama, duduk di tempat yang bersebelahan, di jam yang sama setiap hari Jum’at. Gadis itu sudah bisa membaca pola, laki-laki itu akan mengambil Sepuluh Anak Negro menggunakan tangan kiri kemudian duduk di meja ketiga dari kiri, ia akan menghabiskan dua puluh menit untuk membaca sepuluh lembar, lalu melipat lembar selanjutnya dan mengembalikan buku tersebut di rak. Selama empat pekan, total baru delapan puluh halaman yang sudah dibacanya. Itu jelas belum sampai seperempat dari buku, jadi mengapa dia belum muncul? Apa akhirnya dia bosan? Sang gadis menggerutu, “Ah payah, padahal aku baru saja akan mengajaknya berbicara mengenai isi buku tersebut.”

Sialan. Mengapa jadi aku menunggunya? Mengapa aku jadi memikirkannya? Dia hanya tak lebih dari lelaki yang penasaran. Dia bahkan tidak punya komitmen, lihat? Dia tak sanggup menyelesaikan apa yang dimulainya. Pecundang! Muka sang gadis merah padam. Dia kesal. Kakinya bergerak ke arah rak fiksi di mana pertama kali ia lihat laki-laki itu. Ditariknya Sepuluh Anak Negro dan membuka halaman ke-81 untuk membuktikan bahwa laki-laki itu bahkan belum membaca bagian paling seru dari novel tersebut. Selembar kertas jatuh ke kakinya.

 Selembar kertas jatuh ke kakinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 13, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sepuluh HalamanWhere stories live. Discover now