Ardi POV
Aku pernah membaca salah satu buku psikologi tentang pandangan orang lain, namun hal itu tak terlalu mempan bagiku. Semakin banyak membuka cara supaya aku bisa membaca orang lain, rasanya akan semakin membuatku menderita. Aku hanya ingin lebih bisa diterima oleh mereka yang selalu menganggapku sebagai 'asap kendaraan'. Rasanya di dunia ini hanya aku yang berdiri terbalik, di antara miliaran orang yang berdiri sesempurna mungkin.
Sebelum berdiri di tempat ini, aku pernah bersusah payah berharap pada selembar amplop cokelat berisi permohonan untuk mengubah nasibku. Berkeliling mencari siapapun yang mau menerimaku, sebelum ada seseorang yang dengan luas hati mempekerjakanku tanpa harus menunggu jawaban interview atau seleksi berdasarkan riwayat pendidikan.
Hanya itu yang perlahan bisa membukakan rasa syukur di hatiku.
"Beruntung banget ya, ada orang yang bisa langsung diterima kerja, sedangkan di luaran sana harus ngantri berjam-jam sampe rela habisin duit banyak biar keterima."
Memang benar, jangan terlalu berbahagia dulu dengan sesuatu yang mudah didapatkan. Tentu saja, itu membuatku was-was.
Aku mengeratkan genggaman pada nampan pesanan. "Iya, gue bersyukur." Perempuan yang mengendalikan mesin kasir itu pun menatapku sinis.
"Iyalah, nggak bersyukur gimana. Udah mah masuk kerja gak pake interview-interview, kerjanya cuma layanin pesenan doang, kurang bersyukur gimana?!" sarkasnya.
Aku benar-benar tidak mengerti, maksud perkataan dari perempuan itu, kenapa ia terlihat tidak suka aku bekerja di sini?
"Heh, Ardi! Nama lo Ardi, kan?" Laki-laki lain yang tugasnya meracik kopi tersebut menghampiriku. "Meskipun lo masuk ke sini pake orang dalam, kudu inget! Jangan keenakan ntar!" tunjuknya pada bahuku.
Keenakan bagaimana? Belum ada satu hari aku bekerja di sini, kenapa laki-laki itu malah berkata seolah-olah tujuanku bekerja untuk menyombongkan diri? Lagipula, pemilik kafe ini tidak mempunyai ikatan saudara denganku.
Aku hanya berdiam diri di dekat kulkas sembari menunggu pelanggan, sedangkan mereka duduk di kursi yang tersedia. Hanya aku yang berdiri, tak disediakan kursi untuk karyawan.
"Yailah malah diem aja, tuh beresin mejanya!" Lelaki itu melempar lap kanebo kotor ke wajahku.
Aku benar-benar kesal, tapi aku menuruti perintahnya.
Kafe ini berdekatan dengan pohon rindang yang sewaktu angin kencang datang, dedaunannya beterbangan ke atas meja-meja. Bahkan sekarang pun, cukup banyak daun kering yang bertebaran di sana, membuatku mengambil sapu lantas membersihkannya.
"Denger gak loncengnya bunyi?! Layanin sana!" Lelaki itu tiba-tiba menghampiriku dan memukul kepala belakangku. Sontak aku menjatuhkan sapu ke lantai. Ia berdecak.
Aku bergegas mengambil sapu dan meletakkan ke tempatnya. Benar saja, ada dua orang pelanggan yang masuk, lalu duduk di bangku dekat pohon. Keliatannya, mereka mahasiswa yang berkuliah di kampus dekat kafe ini.
Tanganku buru-buru mengambil selembaran menu, menghampiri kedua pelanggan itu. Berbicara seramah mungkin pada mereka. Pesanannya americano dan cappucino. Aku menulisnya di sebuah notes yang nantinya diberikan pada lelaki kasar itu untuk dibuatkan pesanannya. Perempuan yang memesan itu tersenyum padaku, bahkan aku merasa ia terus memperhatikanku sampai aku kembali ke belakang mesin kopi.
Benar saja, ia memperhatikanku. Meskipun aku sedikit tertunduk, namun aku bisa merasakan tatapannya, dan itu membuatku agak gugup. Beberapa menit kemudian, pesanan mereka pun jadi, lantas aku mengantarnya ke meja itu.