Part 1

32 5 2
                                    

Tes! Ini cerita baru ya gais yang aku up. Cerita sebelumnya adalah draft lama yang aku up kembali. Jadi tenang aja karena nggak hiatus karena tidak masuk ke platform lainnya. Novel yang hiatus bukan karena niat, tetapi sudah masuk ke platform berbayar jadi nggak bisa di update lagi di wattpad.

Selamat membaca dan jangan lupa vote. Kalau rame langsung lanjut besok😀

🌼🌼

Mobil terasa bergerak lambat menuju Kantor Urusan Agama tempat Gus Arhan akan melangsungkan ijab kabul. Suasana di dalam mobil terasa hening, tidak ada yang berbicara. Mereka berlima saling menatap penuh perhatian, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Gus Arhan sangat gugup hingga mengeluarkan keringat dingin. Perjalanan setengah jam terasa seperti setahun baginya.

Gus Ali sahabat baiknya mengejek tanpa ampun, "Anda bahkan tidak berkeringat ketika ketahuan mencuri mangga Abah. Dan sekarang, Gus berkeringat hanya karena beberapa kata."

Gus Arhan hampir kehilangan kata-kata karena ketidaktahuan sahabatnya. "Hanya? Gus Ali sedang bercanda?" tanyanya tidak percaya. "Kamu nggak tau, Gus? Para pria normal selalu gugup di momen ini. Mungkinkah Gus tidak normal?"

Mobil tiba-tiba bergoyang hampir menabrak trotoar. Ketiga penumpang lainnya berteriak ketakutan.

"Saya masih ingin menikah!"

"Saya juga!"

"Saya tidak punya rencana menikah dulu, tetapi masih ingin hidup!"

Bahkan Gus Arhan berkata dengan panik, "Saya menikah hari ini!"

Bibir Gus Ali berkedut saat melihat reaksi para sahabatnya. "Tangan saya terpeleset," katanya polos. Dia hampir menabrak pembatas jalan berkat pertanyaan Gus Arhan.

Tidak normal!

Bagian mana dari dirinya yang terlihat tidak normal?

Setelah berkendara selama 30 menit dari pesantren ke Biro, akhirnya mereka tiba dengan selamat. Slip sedikit di tengah jalan tadi tidak masuk hitungan.

Gus Ali menoleh, menilai temannya yang sudah mulai gugup sehingga tidak tahu dimana harus meletakkan tangan dan kakinya.

Dia turun dari kursi kemudi dan keluar mengitari mobil untuk membuka pintu penumpang depan. "Apakah Anda akan menikah di dalam mobil ini?" katanya merasa geli. Dia tidak pernah menyangka pria berwajah kaku seperti Gus Arhan bisa se gugup ini. Sesulit itukah menikah?

Gus Arhan hampir tersandung saat turun dari mobil mendengar pertanyaan sahabatnya. Dia merasa bingung, menyesal membawa pengacau ini sekarang.

"Pegang tangan saya!"

"Memangnya Anda adalah pengantin wanita yang harus diantar menuju altar oleh bapaknya?"

"Kamu!"

Gus Aba yang berdiri di samping langsung menarik mereka agar segera menjauh. Pemuda itu melotot tidak senang. "Tidak bisakah kalian serius sedikit? Lanjutkan perang katanya nanti ketika kembali ke pondok. Sekarang seriuslah sedikit jika tidak ingin menjadi lelucon di pesta. Jika tidak, biar saya saja yang menikah bagaimana?"

Mereka berempat yang sedang mengangguk mengiyakan tiba-tiba terdiam. Kata-kata terakhir Gus Aba sedikit... Tidak tahu malu?

Gus Arhan hampir muntah darah karena marah. Para laki-laki ini benar-benar... Membuatnya sakit kepala setiap saat.

"Syuh, syuh, syuh! Tidak tahu malu. Jangan coba-coba menyabotase pernikahan sahabat sendiri, Gus Aba. Atau saya akan memukuli Anda hingga menjadi bubur," ancam Gus Ali. Menunjukkan tinjunya yang terkepal di depan wajah sahabatnya.

Gus Aba mendengus, "Sabotase apa? Saya hanya ingin menemukan seorang gadis shalihah untuk diajak menikah. Mengapa ini dihitung sebagai sabotase? Gus, Anda bercanda lagi. Lihat, saya akan membalas Anda ketika pulang ke pondok."

"Menyembunyikan handuk saya misalnya? Anda benar-benar gatal meminta untuk dipukuli."

Gus Arhan yang berdiri di tengah-tengah mereka berdua berkata dengan keras, "Mengapa saya merasa kalian datang ke sini untuk menghancurkan pernikahan saya. Alih-alih mengucapkan selamat menikah, kalian hanya mengacau di sini."

"Selamat menikah!" Mereka berempat berkata serempak.

Gus Arhan terdiam.

Dia menunduk melihat jam tangannya. Lalu pergi dengan langkah besar tidak lagi peduli dengan sahabatnya. Memikirkan tempramen orang-orang di belakangnya membuat dia frustasi. Sungguh terbelakang mental!

🌼🌼

Suasana terasa khusyuk saat mereka berlima memasuki ruang resepsi. Calon pengantin wanita duduk di sudut terjauh bersama para pengiring pengantin lainnya. Tidak ada campur baur antara laki-laki dan perempuan sama sekali.

Gus Arhan menelan ludah membasuh tenggorokannya yang sudah mengering. Akhirnya, kebebasannya akan datang mulai hari ini dan seterusnya. Dia mulai jenuh merawat empat anak laki-laki tidak dewasa yang berbagi kamar dengannya di Pondok.

Gus Ali bertanya dengan wajah serius sebelum mereka berpisah, "Apakah Anda sudah menghafal dengan benar? Yang terpenting jangan sampai salah menyebut nama pengantin wanita atau bapaknya."

Gus Aba menyetujui. "Benar, lihat saja wajah saya jika Anda lupa. Mungkin saja wajah tampan saya akan sangat ampuh untuk menghilangkan rasa gugup." Dia menepuk dadanya dengan bangga.

Tahan!

Gus Arhan berusaha menahan diri agar tidak menampar belakang kepala mereka berdua di depan umum.

Sabar, benar, dia harus sabar sebentar lagi!

Penghulu tiba dengan beberapa para saksi, dan kemudian mengumumkan bahwa akad nikah akan segera dimulai.

Gus Ali menyetel kamera yang dia bawa di tasnya untuk merekam setiap momen sakral dari sahabatnya.

Kamera terus berkedip di sana-sini. Pria itu tertegun sejenak saat lensa membidik seorang gadis berkacamata yang sedang tersenyum dengan lesung pipit yang indah ke kamera. Gadis itu duduk di samping pengantin wanita, dan mereka terus berbisik dan tersenyum kecil dari waktu ke waktu.

Gus Ali sedikit linglung saat melihat senyum gadis itu melalui lensa kameranya yang dia bidik.

Kerudung pink pastelnya membuat wajah gadis itu sedikit bercahaya. Putih pucat seperti boneka. Itulah yang terlintas di benaknya saat menatap gadis itu.

Dia menyikut seorang pria yang ada di sampingnya dan bertanya dengan sopan, "Siapa nama gadis itu?" Alian menunjukkan gambar yang telah dia bidik barusan.

Pria itu menatapnya cukup lama, dan mendesah pelan."Lupakan, Gus. Gadis ini sebentar lagi akan menikah," katanya.

"Saya hanya bertanya. Tidak ada maksud lain. Lalu siapa namanya?"

Pemuda itu menjawab dengan bangga, "Namanya Sophea Khadijah. Dia sepupu dekat saya. Deeja adalah gadis yang sangat pintar di pesantren dan bahkan dia seorang hafizah." Senyumnya hampir membutakan Gus Ali.

"Oh."

Dia hanya memberi respon cuek dan tidak bertanya lebih banyak lagi tentang gadis itu.

Akan segera menikah? Sayang sekali. Gus Ali berhenti membidik ke arah gadis itu dan sepenuhnya fokus kepada pengantin wanita. Screen time  bridesmaid tidak perlu dimasukkan terlalu banyak menurutnya.

Gadis berkerudung pink pastel hanyalah selingan untuk sesaat.

Prosesi akad nikah berjalan lancar dan khidmat sampai selesai tanpa kendala. Gus Ali ikut bahagia untuk sahabatnya karena telah melepas masa lajangnya.

Mulai hari dan selanjutnya, tidak ada lagi yang bisa diganggu di asrama.

Sayang sekali.

'Tiba-tiba aku juga ingin menikah, Umi.'

🌼🌼

Yang mau nikah tapi belum ada calon yang cocok padahal umur sudah hampir kepala tiga.
~Gus Alian~

Jika ada yang berminat silahkan komen di bawah untuk biar diajukan proposal pernikahan langsung ke Biro sama Gus Ali.
😂😂😂








Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gus Ali (Takdir Kita) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang