"Aku tidak bisa, Ra!!" teriak Rafa dari kejauhan.
"Mengapa?? Mengapa tak bisa?!! Kau punya segalanya. Harta, tahta, wajah yang rupawan. Apalagi yang kurang?? Kau pasti bisa," sanggahku dalam tangis.
"Karena aku cinta kamu, Ra!!! Please, Ra. Jangan tinggalkan aku!!" Rafa kembali memohon kepadaku seraya mendekatiku. Sebenarnya akupun tidak tega meninggalkan Rafa, tapi keadaan yang memaksaku harus pergi meninggalkannya. "Ra, Please, Ra. Jangan tinggalkan aku. Aku akan lakukan apapun yang kamu mau asal kamu tidak meninggalkan aku, Ra. Aku cinta kamu, Ra. Tak perduli siapa sebenarnya kamu, yang kutahu, kau telah membuatku berbeda, Ra. Kau membuat hidupku lebih berarti," dengan penuh ketulusan Rafa kembali memohon kepadaku, itu dapat kurasakan dari genggaman tangannya.
"Maaf, Rafa. Aku tidak bisa. Cukup di sini hubungan kita. Aku tidak ingin memperpanjang masalah," jawabku sambil menarik tangan dari genggamannya.
"Memperpanjang masalah? Apa maksud kamu?? Tolong jelaskan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi??" Rafa nampak bingung dengan ucapanku tadi. Ingin rasanya aku menjelaskan semuanya. Tapi... sudahlah. Tak ada gunanya kujelaskan padanya.
"Nanti kau juga akan tahu. Sudahlah, Rafa. Pulanglah!! Aku tidak ingin membicarakan hal-hal yang tidak penting. Cukup!!" Kulangkahkan kaki berlalu meninggalkan Rafa dalam kebingungan. Terasa berat kaki kulangkahkan. Seakan bumi menelanku dalam setiap langkah yang kuayunkan. Hatiku bergejolak. 'Tatap dia, Ra!! Tatap dia!! Meski untuk yang terakhir kalinya' suara hatiku berbisik seakan memberiku kesempatan terakhir untuk menatapnya walau sesaat.
Tiba-tiba rinai hujan membasahi jalan yang kutapaki, seakan dunia bersedih atas keputusanku. Gelap malam yang kuterobos menghapus jejakku dari Rafa yang kutinggal di bawah sorotan lampu jalanan. Aku tahu, Rafa mungkin lebih sedih dibandingkan dunia yang menangis, tapi inilah keputusanku, inilah pilihanku. Meski berat, aku harus memutuskannya.
***
"Rasanya seperti baru kemarin aku berada di tempat ini," kataku sambil menghirup udara malam di tempat itu. Merasakan semerbak wangi pohon Acacia yang sedang berbunga di bawah sorotan lampu jalanan serta memanjakan khayalku bersama kenangan masa lalu.
"Yah, begitulah kenangan. Akan terasa seperti baru saja kita lewati, padahal sudah bertahun-tahun. Tempat yang pernah kita singgahi selalu menyimpan kenangan-kenangan yang akan hadir saat kita rindu akan masa itu." Suara itu merusak alur khayalanku. Kutoleh asal suara yang tadi mengusik ingatanku pada masa lalu. Namun, suara itu pula telah membangkitkan kenanganku yang lain. Ingatanku berkelana mencari pemilik suara itu di masa lalu. Siapa dia??? Aku sepertinya kenal???
Kuarahkan sorot mataku ke setiap penjuru untuk mencari asal suara. Remangnya suasana di sana membuatku kesulitan menemukannya. Terdengar langkah kaki mendekatiku dari arah belakang.
"Kupikir kau tidak akan pernah ke sini lagi setelah empat tahun yang lalu pergi meninggalkan aku sendiri dalam kebingungan." Suara itu kembali bergaung di telingaku. Kubalikkan badan. Kini mataku dapat menemukan sosok tubuh yang bersuara tadi, berdiri tegak tepat di hadapku. Tapi, tak kutemukan wajahnya karena disimpan di balik topi biru.
"Rafa?" aku mencoba menebak pemilik wajah dibalik topi biru itu.
"Ya, aku. Kukira kau akan melupakan aku, Ra," sosok tersebut mengiyakan tebakanku.
"Sedang apa kau di sini?" kuajukan pertanyaan agar pikiranku menanggapi perkataan Rafa.
"Berteman dengan masa lalu," jawabnya sambil mengangkat kepalanya. Sayup-sayup kudengar hembusan nafasnya yang berat.
"Maksud kamu? Aku tidak mengerti," aku meminta penjelasan.
"Hampir tiap malam, Ra. Hampir tiap malam aku ke sini. Mencoba berdamai dengan masa lalu. Tapi, sepertinya masa lalu terlalu menusuk perasaan ini, Ra. Masa lalu telah berakar di hati ini yang tak dapat kutepis dan kumusnahkan begitu saja. Dan akhirnya aku pasrah dengan semua ini. Aku hanya menuruti takdirku dan berharap waktu akan mengantarkanku pada sebuah masa, pada sebuah jawaban yang selama ini mengusik hati dan perasaanku. Yah, kupikir. Mungkin ini jawaban dari semua harapanku, Ra."
Aku hanya terdiam terpaku. Ternyata keputusanku 4 tahun lalu begitu menyakitkan dan menyiksa bagi Rafa. Setiap malam. Aku tak pernah terpikir akan hal itu. Begitu sulitkah bagi Rafa? Atau hanya dia yang tidak mau bangkit dari kelamnya 4 tahun silam? Atau memang dia telah terjebak dalam lautan perasaan yang tak pernah membawanya ke ketepian?
"Aku minta maaf, Rafa." Hanya kata itu yang dapat kulontarkan dari mulutku. Semua terasa kelu.
"Yah, kau tak perlu meminta maaf, Ra. Aku cukup senang karena kau telah menciptakan sebuah dunia baru bagi hidupku. Dunia yang aku yakin, tiada yang mampu bertahan selain diriku." Mata Rafa yang kosong menatap lampu sorot yang menerangi kami. Matanya yang kosong seolah-olah bercerita betapa beratnya perjalanan Rafa selama 4 tahun terakhir ini. Ada rasa iba yang lahir dari keadaan ini. Tapi, hidup tak mungkin berputar ulang atau kembali ke masa lalu.
"Rafa, aku tahu, kau hanya semu. Kau hanya sisa angan-anganku yang tak pernah kesampaian untuk memilikimu. Kau telah jauh. Kita telah berbeda. Kembalilah. Akupun berharap, ini yang terakhir kalinya. Kita jalani perjalanan hidup yang penuh misteri ini dengan harapan-harapan yang pasti, bukan angan yang menjebak diri di dalam masa lalu. Aku ingin menjalani hidupku secara normal. Aku ingin sejak detik ini tidak lagi menjadi sorotan orang-orang di sekitar yang memandangku dengan beribu perasaan iba maupun hina. Biarkan aku bangkit dari perasaan ini, Rafa. Kuharap kau mengerti."
Kulihat, Rafa hanya tersenyum di balik topi birunya. Senyuman yang tulus, senyuman yang selalu dia berikan kepadaku sebelum dia benar-benar pergi 4 tahun yang lalu. "Aku ikhlas, Rafa. Aku Ikhlas!!" tuturku mengalun diiringi air mata yang menyungai. Bayangan Rafa mulai memudar, terurai bersama rinai hujan yang mulai membasahi jalan dan tubuhku. Kembali kulangkahkan kaki meninggalkan bayangan Rafa di balik sorotan lampu. Kali ini dengan senyuman yang akan menjadi hadiah terindah perpisahan. Semoga kau mendapatkan tempat yang terindah di sana.
***