Dari kejauhan terlihat Sinta berlari mengejar capung yang terbang di taman. Lincahnya capung yang terbang membuat Sinta kesulitan untuk menangkap capung tersebut, sampai-sampai dia jatuh terjerembab ke tanah akibat berputar-putar menangkap capung itu. Aku tak dapat menahan ketawaku setelah melihat kejadian itu.
"Aduh!!! Kepalaku pusing," keluh Sinta seraya memegang kepala.
"Makanya jangan putar-putar seperti itu, dong!" saranku.
"Habisnya, capung itu terbangnya berputar-putar. Ya aku jadi ikut putar-putar juga deh!" sahutnya.
"Tidak seperti itu juga, Sin. Ya, sudah. Coba tangkap capungnya menggunakan jaring ini!" saranku seraya menyodorkan sebuah jaring bertangkai.
"Wah, kalau menggunakan ini pasti capungnya tertangkap, nih!" seru Sinta sambil meloncat kegirangan.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah laku adik kecilku itu. Dia anak yang pandai, cerdas, suka tantangan, dan tidak mudah menyerah. Jika dia menginginkan sesuatu, maka dia harus mendapatkannya. Sama seperti apa yang terjadi di hadapanku ini, dia tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan capung yang dia inginkan.
"Hore!!! Aku dapat capung. Hore!!!" teriak Sinta kegirangan setelah mendapatkan capung yang ia inginkan. Aku tersenyum melihat tingkahnya itu. Kadang aku iri dengan semangat, ambisi, serta tekad yang dia miliki. Keinginannya yang keras untuk mendapatkan sesuatu terkadang memotivasiku untuk tidak mengeluh saat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah. Yah, dia adalah inspirasiku. Dia penyemangatku.
"Tidak terasa, sudah satu bulan, Sin. Kamu pergi meninggalkan kakak. Kakak kangen denganmu," tanpa sadar air mataku berlinang mengenang kejadian satu bulan yang lalu, saat aku dengan Sinta bermain di taman untuk menangkap capung. Yah, taman ini menjadi kenangan terakhirku bersamanya sebelum kecelakaan itu terjadi. Tepat di hadapanku, sebuah mobil yang hilang kendali menabrak Sinta yang tengah asyik bermain dengan capung buruannya. Aku tak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya. Sinta meninggal di tempat setelah terseret sejauh sepuluh meter.
"Dik, semoga kamu tenang dan bahagia di sana," doaku dengan penuh harap.
"Sudah, Put. Mari kita pulang! Semakin lama kamu di sini, semakin bertambah kesedihan yang akan kamu rasakan mengingat kejadian itu. Ikhlaskan dia!!!"sahabatku Tia membujukku untuk meninggalkan taman agar aku tidak terlarut dalam kesedihan yang kurasakan.
"Dia adikku satu-satunya, Tia. Hanya dia yang kumiliki setelah kedua orang tuaku meninggal akibat kecelakaan pesawat lima tahun yang lalu. Kini Tuhan juga telah mengambilnya. Aku kesepian. Aku sendirian." Tangisku kembali pecah ketika mengingat semua orang yang kusayangi telah pergi meninggalkanku sendiri.
"Tidak Putri, tidak!!! Kamu tidak sendirian!! Masih ada kami, Put. Aku, Rara, dan Alya akan ada untuk menemanimu. Kamu tidak sendiri!" Tia mencoba membujukku.
"Betul, Put. Masih ada kami yang akan menemanimu. Percayalah, kami akan selalu menjadi sahabat dan keluarga untukmu. Percayalah!!!" Rara menimpali.
"Iya, Put. Sudahlah, tidak baik terlalu larut dalam kesedihan seperti ini. Pasti Sinta juga tidak ingin melihat kakaknya terpuruk dalam kesedihan seperti ini. Sekarang, biarkanlah semua yang telah terjadi berlalu menjadi kenangan. Siapkan dirimu untuk menjalani kehidupanmu ke depannya. Ingat, kamu harus menyelesaikan sekolahmu. Sebentar lagi kita akan ujian. Jika pikiranmu selalu terganggu dengan kenangan ini, bagaimana kamu akan berhasil nantinya. Percayalah, Sinta dan orang tuamu di sana ingin melihat kamu sukses menjalani hidup meski tanpa mereka," Alya menyemangatku.
"Tapi, Al. Semua tidak semudah apa yang kamu ucapkan. Semua terasa berat untuk kujalani. Tanpa orang tua, tanpa adik yang kusayangi yang selalu memotivasiku untuk selalu bangkit. Aku ... aku tak sanggup, Al," elakku dengan isakan tangis.
"Seandainya mereka di sini. Tentu mereka juga mengatakan seperti apa yang kukatakan. Mereka tidak ingin kamu berlarut-larut dalam kesedihan. Pasti mereka akan melakukan hal yang sama seperti yang kami lakukan saat ini. Mereka pasti ingin melihat kamu ceria seperti dahulu. Semangat lagi. Sudahlah, Put. Relakanlah semua yang telah berlalu. Toh, dengan berlarut dalam kesedihan tidak dapat mengembalikan mereka di sisimu," Alya menanggapi.
Kucoba merenungi semua yang Alya katakan. Memang benar, pasti mereka juga ingin aku bangkit kembali, lari dari keterpurukan ini. Dan yang paling membuatku tersadar ialah bahwa dengan kesedihanku ini tak akan pernah bisa mengembalikan mereka di sisiku. Seperti mendung yang tersibak angin, menampakkan wajah mentari yang terselimut di balik awan. Tiba-tiba hatiku mendapatkan cahaya semangat baru untuk bangkit dari kesedihan, keterpurukan. Ya aku harus bangkit!!
Sungguh, aku bahagia memiliki sahabat seperti mereka, sahabat yang menjadi bagian hidupku, seperti keluarga. Mereka menjadi penyemangat bagiku, sebagai pengganti Sinta yang selalu hadir menyemangatiku kala dia masih bersamaku.
"Terima kasih teman-teman. Kalian memang sahabatku yang paling baik, sudah mau menganggapku sebagai keluarga dalam hidup kalian. Aku sayang kalian!" ucapku seraya memeluk mereka bertiga.
"Nah, sekarang jangan bersedih lagi!! Sedih itu wajar asal jangan berlebihan. Hari sudah senja, yuk kita pulang!!" ajak Alya.
"Ayo!!!" sahut Tia dengan Rara hampir bersamaan. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Tingkah yang selalu membuatku dekat dengan Sinta. Adikku tercinta yang pergi ke alam baka.
***Selesai***
