ㅤ ㅤㅤ ㅤ𝗮 𝘀𝘁𝘂𝗽𝗶𝗱 𝗶𝗱𝗲𝗮

219 160 101
                                    

"Tik ... tik ... tik!"

Bunyi hujan menderu di kaca jendela. Hujan mulai turun kira-kira sepuluh menit setelah Shaga dan Noah berhasil kembali ke rumah, tepatnya dua jam lalu.

Kini, Noah sibuk dengan League of Legends di komputernya. Sementara Shaga mengamati tetesan air hujan yang meluncur dari kaca. Pada awalnya, itu adalah balapan antara tetesan air yang jatuh, bersorak pada tetesan tercepat. Itu menjadi melelahkan setelah beberapa saat. Jadi, Shaga tidak memiliki hobi lain untuk disibukkan, dia sama sekali tidak termotivasi untuk mengerjakan sesuatu.

Noah melirik sekilas ke arah Shaga, matanya masih fokus ke layar. “Tumben lo kalem banget, Ga. Biasanya lo heboh kayak anak ayam ketinggalan induk.”

Shaga menghela napas panjang, “Yah, lagi nggak ada mood buat heboh, cuy,” ujarnya, menggerakkan pandangan ke keranjang pakaian kotor yang teronggok di sudut. “By the way, lo udah ngumpulin baju kotor buat dicuci ibu, kan?”

Noah mengangguk setengah hati, “Santai, udah gue taro tadi. Udah auto-hapal rutinitas di sini, ya kali lupa.”

Noah sudah tinggal bersama keluarga Shaga semenjak liburan musim dingin. Jadwal kerja orang tuanya yang padat membuat mereka merasa lebih baik jika Noah menghabiskan liburannya di rumah seseorang. Awalnya, orang tua Shaga sempat keberatan. Tapi, lama-kelamaan Noah jadi bagian dari keluarga mereka, seolah putra angkat yang terdampar.

Shaga menatap ke luar lagi, memperhatikan hujan yang kian deras, seolah bertanya-tanya, “Kalau gue jadi tetesan hujan, sakit nggak ya kalau jatuh dari ketinggian segini?” Lamunannya terputus ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar, mengagetkan keduanya.

“Astaga!” Shaga melompat, sementara Noah mengerutkan dahi, terkejut. Sosok wanita paruh baya berdiri di ambang pintu, tersenyum lembut.

"Waktunya tidur anak-anak. Tidur nyenyak, dan jangan begadang." Seorang wanita paruh baya tersenyum sebelum menutup pintu kembali. Dia mengucapkannya setiap malam, meskipun Shaga dan Noah selalu begadang sampai larut, sampai jarum jam hampir bersatu di angka dua.

Noah menutup komputer dengan enggan, lalu menyalakan TV. “Bro, please deh, bantu gue cari film yang seru. Jangan males-malesan aja!”

Shaga tertawa kecil, “Nggak males kok, cuma lagi males mikir.” Dia menyeret diri ke sofa, duduk di samping Noah yang asyik memencet-mencet remote. Saluran demi saluran mereka lewati; film klasik, romansa, horor underrated, bahkan acara olahraga. Tapi, nihil. Tak ada yang cukup menarik untuk dua remaja yang sedang dilanda bosan.

“Yah, kenapa semua film kayak nggak niat gini, sih?” Noah menghela napas panjang, bersandar di sofa.

"Mungkin karena udah larut malam. Coba film kartun, deh."

“Oke, good idea,” Noah memindahkan saluran ke kartun. Tapi, tayangan itu hanya cukup menghibur mereka sebentar, sebelum rasa bosan kembali menyergap.

Noah mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. “Gila ya, bosen banget gue.”

“Gue juga, bro. Fix boring parah,” Shaga membuang pandangan, berharap sesuatu yang seru tiba-tiba terjadi. Tapi, malam hanya menawarinya keheningan dan bunyi hujan yang tak berubah.

Setelah beberapa saat, Shaga bangkit. “Gue mau cari cemilan di dapur. Laper gila, cuy.”

“Mau ditemenin?” tanya Noah, menoleh dengan mata cokelat yang mengintip.

“Nggak perlu, lah. Gue uda pro banget nyelinap ke dapur.” Shaga keluar dari kamar dengan hati-hati. Lorong rumah yang gelap terasa seperti labirin sunyi. Dia bergerak perlahan, seperti bayangan, menuruni tangga kayu yang berderit pelan. Sampai di dapur, ia meraih sebungkus keripik dengan gerakan sehalus mungkin, berharap plastik itu tidak berbunyi terlalu kencang.

⨾ ⠀𝐂𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀 𝐍𝐎𝐂𝐓𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang