01. Keithara's Wish

121 30 25
                                    

I'm doing me regardless~And I don't care what you say about it~And it don't matter if you like it or not~I'm having all this fun, so~why would I ever stop?~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I'm doing me regardless~
And I don't care what you say about it~
And it don't matter if you like it or not~
I'm having all this fun, so~
why would I ever stop?~

Benda pipih yang tergeletak di atas kasur itu berdering bersamaan memunculkan gambar profil temannya. Membuat sang pemilik dengan malas menggapai, lalu menggeser ikon hijau untuk memulai video call dalam keadaan berbaring.

"Keith!" Suara pekikan yang pertama kali terdengar sebenarnya membuat sang pemilik nama menghela napas.

"Lo gila apa ya? Bisa-bisanya buat ayang gue sekarat!"

Keith memasang wajah tanpa dosanya, "Kayak lo punya ayang aja." Kata-katanya berhasil membuat seseorang di balik layar itu semakin mencak-mencak dengan menggelengkan kepalanya berulang kali hingga rambutnya sedikit kusut. Setelahnya, dengan wajah kesal ia mengeluarkan telunjuknya.

"Awas aja lo kalau buat Jere mati, lo juga bakal nyusul," ujarnya, lalu telunjuknya beralih memperagakan tengah memotong lehernya.

Keith hanya bisa tersenyum melihat temannya yang begitu bucin. Sebenarnya tidak masalah, karena kebanyakan temannya juga begitu apalagi Luna yang bisa dikatakan bulol. Namun, yang dijadikan sedikit masalah adalah Jerenio adalah karakter fiksi, lebih tepatnya salah satu karakter dari novel yang ia buat.

"Jere mati kan masih ada abangnya, Fay," balasnya sembari mulai beranjak dari posisi semula ke arah balkon, setelah sebelumnya menyempatkan mengambil sebuah sketchbook dan pensil. Ia menyenderkan ponselnya di tumblr, lalu mulai melipat kedua kakinya dan menyenderkan badannya di kursi. Mencari posisi ternyaman.

"Ogah amat. Jav mah titisan iblis, beda ama Jere," balasnya sembari meminum sesuatu yang Keith tahu adalah minuman favorit temannya. Milktea.

"Enak liburan di sana, Fay?" ujarnya mengalihkan pembicaraan. Mata dan tangannya masih berkutat dengan sketchbook, meskipun begitu telinganya masih dapat mendengar suara Fayre dengan jelas.

"Ya lumayan sih." Fayre mengalihkan atensinya ke arah belakang. Meskipun terhalang kaca, ia masih dapat melihat bulan yang ditemani ratusan bintang. "Lebih enak di sini daripada Jakarta. Nyesel gak lo nggak ikutan ke sini?"

Keith menatap ponselnya yang masih memperlihatkan Fayre pada posisinya. Ia juga tahu jika temannya itu begitu menyukai bintang.

"Kalau gue ke sana, mana bisa update novel. Bisa-bisa Jere metong gara-gara kelamaan ditanganin."

Fayre di sana hanya bisa memanyunkan bibirnya. "Padahal ya Keith, kalau lo di sini ...."

Ucapan Fayre terputus saat di layar menampilkan tulisan menghubungkan ulang. Namun, tak lama kemudian sosok Fayre kembali terlihat dengan latar belakang yang berbeda.

"Emang sinyal kayak anj*ng. Padahal enak di dalam kamar." Terlihat temannya itu membetulkan kardigan yang membungkus piyama miliknya.

"Namanya juga di desa. Maklumin aja."

Farewell CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang