happy reading
brakk
"Mental tempe semua! loyo!"
Adalah Bu Kris. Guru killer sekaligus wali kelas XI MIPA 1. Masih muda. Cantik, tapi galak.
Bu Kris sedang menguji mental anak anaknya yang 'loyo'. Meminta mereka, atau lebih tepatnya meminta salah satu dari mereka untuk mengerjakan soal yang ia tulis di papan tulis. Soal matematika.
Soalnya memang mudah. Tapi pijakan dari langkah kaki mereka yang sulit untuk sekedar maju mengerjakan soal.
Dan itu membuat guru killer itu merasa geram. Pasalnya sudah satu jam lamanya tidak ada yang berani maju.
Amira terus menunduk. Menatap jawaban dari soal di depan yang ia kerjakan di buku tulisnya. Hati dan pikiran Amira terus berperang. Mengumpulkan keberanian.
Benar kata Bu Kris. Mentalnya memang mental tempe.
Amira yakin kalau jawabannya sudah benar. Yang jadi masalahnya adalah ia takut, juga malu hanya untuk melangkah ke depan. Malu saat semua pasang mata menyorot ke arahnya.
"Ibu nggak peduli jawaban kalian. Ibu nggak peduli kalian ngerjainnya salah atau benar. Yang ibu pedulikan itu mental kalian. Ibu cuma butuh keberanian kalian buat maju ke depan sini." tutur Bu kris tegas. Menyapu bersih semua pandangan anak anak.
"Percuma kalian pintar. Sepintar apapun itu, kalo nggak punya mental sama aja. Sia sia. Sampai hitungan ketiga nggak ada yang maju juga, ibu hukum kalian. Kerjakan semua soal di bab 3 sampai bab akhir.
"Yaaaahhh... jangan dong bu-"
brakk
Bu Kris menggebrak papan tulis dengan kuat. Membuat anak anak kembali bungkam. Kalimat Bu Kris tak pernah terbantahkan. Sudah mutlak.
"Satu.." guru killer itu sudah mulai menghitung. Membuat anak anak mulai cemas. Saling melirik kesana kemari. Mendorong dorong teman sebangku mereka untuk maju.
Tiba tiba suara kursi yang bergeser dari arah belakang sontak membuat sorotan. Semua mata tertuju ke orang yang kini sudah berdiri hendak maju.
Amira yang sejak tadi tetap diam turut menatap orang itu.
"Nggak, Aga. Kali ini ibu mau anak lain. Kamu silahkan duduk lagi." perintah bu Kris berhasil menimbulkan decakan kecewa dari anak anak.
Amira tersenyum dalam hati. Ia masih punya kesempatan.
"Dua..."
Amira mengepalkan jemarinya. Membuang jauh jauh rasa malunya. Kali ini saja, jangan sampai ia kalah lagi dengan egonya.
"Tiga..."
Bertepatan dengan hitungan terakhir, gadis itu langsung beranjak dan berjalan ke depan dengan tergesa. Membuat sorot pandang anak anak menuju ke arahnya.
Membuat sebuah lengkungan manis terbit di wajah Juna. Dan ada satu lagi, di wajah Aga. Senyuman yang bahkan tak ada yang bisa melihatnya.
Amira mengerjakannya dengan sangat cepat. Ia hanya ingin cepat kembali ke kursinya.
"Bagus, Amira. Bagus sekali." bu Kris secara tiba tiba merangkul pundak gadis itu. Menahan gerakannya yang hendak kembali ke kursinya.
"Satu anak lagi dari 40 siswa. Luar biasa." bu Kris menepuk pundak Amira lembut. "Luar biasa cemen teman teman kamu, Ami." lanjutnya.
"Pertahanin ya, Amira. Harus lebih berani lagi. Ibu saranin kalo bisa, kamu sering sering bergaul sama Aga aja. Jangan sama Juna. Dia mah bisanya cuma godain cewe doang." kata bu Kris sembari memandang Juna.
Amira tersenyum tipis mendengar kalimat terakhir bu Kris. Terlebih saat melihat wajah Juna yang berubah masam.
"Oke anak anak. Terimakasih untuk kalian semua. Terlebih pada Amira yang menyelamatkan kalian dari hukuman. Saya akhiri wassalamu'alaikum..."
"Waalaikumsalam..." jawab anak anak serempak.
***
Amira mengemas barang barangnya dengan perasaan bahagia. Akhirnya hari ini ia berhasil mengalahkan rasa malunya.
Bel istirahat berbunyi pun berbunyi. Membuat sorakan heboh dari anak anak yang sejak tadi sudah menahan lapar.
Mereka satu persatu keluar meninggalkan kelas. Pergi ke kantin.
"Ayo ngantin, Ra. Laper nih." ucap Juna yang melihat teman temannya sudah keluar kelas lebih dulu.
"Kamu duluan aja. Nanti aku nyusul."
"Bareng kan bisa."
"Aku beresin ini dulu." balas Amira berusaha meyakinkan Juna. Sebenarnya alasan ia tidak ingin ke kantin karena uang sakunya habis dipalak Meila tadi pagi. Tak mungkin kan ia ke kantin cuma duduk duduk doang?
"Yaudah, tapi jangan lama lama ya." Juna mengusak pelan kepala Amira sebelum pergi menyusul teman temannya yang mungkin sudah habis 2 mangkuk mie ayam.
Amira mengangguk. Menatap punggung Juna yang menghilang dari balik tembok. Gadis itu menghela napas pelan sebelum akhirnya memilih untuk tidur.
Tapi tiba tiba saja seseorang menggebrak mejanya cukup kencang. Membuatnya terlonjak kaget.
"Enak banget lo!" Meila mengusap rambut Amira dengan lembut. Menyisir rambut hitam itu sembari menatap wajah Amira yang terus merunduk.
"Diperhatiin sama guru, Juna, anak anak sekelas, se-sekolahan pula." lanjut Meila masih memainkan rambut Amira.
Sedangkan Lisa sudah asik menonton. Duduk di kursi sebelah.
"Hidup lo enak banget sih. Tutor capernya puh sepuh." ucap Meila mengundang tawa Lisa.
"Gue kan juga pengin diperhatiin banyak orang. Apalagi sama Aga."
"Itu cuma perasaan kamu aja, Mei."
"Halah bacot!" Meila menarik rambut Amira hingga membuat kepala gadis itu mendongak kesakitan.
Lisa tetap asik menonton. Kali ini ia tak ada hasrat untuk bermain dengan Amira.
"Terus kemaren kemaren apa hah? kenapa Aga bisa perhatian gitu sama lo?"
"Aku ngga tau, Mei." jawab Amira jujur. Ia memang tidak tau alasan kenapa akhir akhir ini Aga sering mendekatinya.
"Ya itu karena lo caper bego!" jawab Meila sarkas. Menambah tarikannya pada rambut Amira.
Gadis itu hanya bisa menahan rasa sakit di rambutnya. Berontak pun tak bisa. Yang ada Meila malah makin menjadi.
"Ngga usah belagu deh lo karena dibelain orang terus." Meila menghentak kepala Amira cukup keras. Kemudian beralih mengapit kedua pipi Amira. Mengarahkan wajah Amira kehadapannya.
"Lo itu pantesnya-"
"Meila!"
Meila sontak melepaskan tangannya dari wajah Amira. Menatap kearah orang itu dengan tajam. Lisa pun sama. Cewe itu sudah berdiri sambil bersedekap dada.
"Anjir, beraninya kalo sepi doang yahaha..." ucap Pras yang sedang berjalan mendekati Amira.
"So what? masalah buat lo?" balas Lisa sembari menatap tajam Pras. Sedangkan cowok itu menarik Amira agar berdiri dan berpindah ke belakang tubuhnya.
"Akan jadi masalah kalo lo berurusan sama gua." ucap Pras telak di telinga Lisa sebelum dirinya membawa Amira keluar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Amira dan Semestanya
Non-FictionIni Amira. Natasya Amira. Kekosongan membunuhku. Semua tentang dunia itu, bohong. Omong kosong. Semua bohong. Seperti sebuah pertunjukan di atas panggung. Semua orang memakai topeng mereka masing masing. Fuck friend. Fuck hope. Fuck liars around me...