Hidup itu perihal memilih dan dipilih, katanya. Tapi sayang hidupku kali ini hanya tentang di pilih bukan memilih.
-o0o-
1 Januari 2028Rajendra Raya Abirama adalah nama pemberian dari orang tuanya. Saat memilih nama itu untuk anak sulungnya, kedua orang tuanya berharap Jendra akan tumbuh menjadi laki-laki penuh mimpi, menjadi seorang laki-laki yang bisa kapan saja membentuk lengkungan bak bulan sabit di matanya. Dan Jendra pikir dunia yang di persiapkan orang tuanya untuk dirinya adalah dunia paling indah, makanya Bunda dan Ayah berharap dunianya penuh dengan ceria.Dulu, sebelum Jendra mengenal lautan dan bentangan langit yang sunyi dan menyejukkan, Jendra mengira dunianya selalu ramai. Tapi kian arus menyeretnya di hari-hari yang membosankan, Jendra baru menyadari hidupnya bukan pilihannya. Jendra sadar bahwa semua keindahan bahkan kepelikan dalam hidupnya bukan lagi menjadi haknya.
Hari ini, tepat saat perayaan ulang tahunnya yang ke-19 tahun. Yang bisa Jendra lakukan dihari ulang tahunnya, hanyalah duduk di salah satu batu besar yang ada di tepi pantai. Lalu dalam genggamannya ada secarik kertas yang ia lipat hingga membentuk sebuah bangun ruang yang kata orang-orang mirip dengan kapal. Di dalam selembar kertas itu tertulis banyak sekali harapan yang Jendra tulis, berharap harapannya akan terkabul di umurnya yang baru menginjak 19 tahun.
Saat Jendra mulai melepaskan kapal kertas itu ke laut, ia sempat tersenyum menyapa ombak kecil yang datang menghampirinya membawa aroma khas laut yang selalu jadi temannya selama ini.
"Hari ini Bunda marah lagi. Biola-ku patah. Sekarang, aku harus apa? Itu Biola peninggalan kakek enam tahun lalu."
Jendra bermonolog. Lalu seolah mengerti, burung-burung camar disana bercuit dengan nyaring, beriringan dengan angin yang menerbangkan anak-anak rambutnya.
Hari sudah semakin sore saat Jendra menghela napas ribuan kali di sana, di tempat paling nyaman dalam hidupnya. Tapi tak sedikit pun Jendra punya keinginan untuk sekedar pulang ke rumah dan merayakan ulang tahun bersama Ayah dan Bunda-nya. Jendra memilih untuk merayakannya dengan ombak, langit dan burung-burung camar yang bernyanyi di udara. Jendra memilih sepi menjadi teman terbaiknya. Lalu ketika netra legam nya ia gulirkan ke arah arloji yang tertengger di pergelangan tangannya, Jendra menghela napas sekali lagi sebelum akhirnya berdiri untuk benar-benar pergi dari sana.
Kala itu Jendra tersenyum pada awan cerah yang tampak begitu kelabu untuknya. Saat Jendra menemukan ponselnya berdering panjang, ia lantas menerima telepon yang masuk dengan perasaan gundah. "Iya, Yah?" Katanya untuk orang di seberang telepon sana.
"Jendra, pulang nak."
"Iya, Ayah. Jendra baru mau pulang."
Jendra tersenyum getir saat mendengar bagaimana Ayahnya menghembuskan napas pendek dari seberang sana. Lalu ia memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan meski belum sepenuhnya menutup telepon dari Ayahnya, Raja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Langit Biru
Teen Fiction"Benar kata orang, pulang itu harus ke rumah terbaik." Seumur hidup Rajendra tidak pernah menyangka kematian Ibunya bukan lagi tentang kecelakaan semata. Semuanya sudah di atur sedemikian rupa hingga bertahun-tahun lamanya setelah jasad sang ibu ham...