- prolog

54 10 7
                                    

"Yuka!!!!"

Tidak ada sahutan apapun selain tubuh kecil itu semakin tenggelam dalam lipatan kaki. Punggung sempitnya bergetar, suara isak tangis masih terdengar tanpa henti.

Helaan napas akhirnya mengudara diikuti sesosok pemuda lain yang ikut bersimpuh dan mencoba merangkulnya.

"Kan masih ada gue." Ucapan itu nampak tidak yakin, namun tangan yang sama kecilnya mulai menyeka keringat yang meluruh di area pelipis sahabatnya.

"Yuka, jangan sedih mulu. Nenek bakal ikutan sedih tau kalau liat lo kayak gini."

Kepala mungil itu mendongak sedih menatap sahabatnya yang sedari tadi mencoba menghiburnya dengan segala cara. Yuka, wajahnya sudah memerah, juga matanya sembam dan nampak jauh lebih pucat.

"Regan..." Bibir mungil itu melengkung ke bawah diikuti tetesan air mata yang kian luruh membasahi pipi kemerahan miliknya.

"Cup, cup, cup... Nenek udah tenang di sana. Ini udah hampir lima jam lo nangis. Ayo sekarang kita makan, lo jangan sampai sakit."

Regan menarik tubuh yang sama-sama kecil sepertinya itu dengan pelan. Tapi sayangnya Yuka memilih menggeleng kencang sambil menautkan tangannya kebingungan.

Yuka terlihat sangat gelisah dan Regan tidak suka hal tersebut. Mereka sudah lama berteman, hampir enam tahun lamanya. Tentu membuat Regan benci tatapan nelangsa sang sahabat.

"Kenapa Ka?" Regan menepuk bahu sang sahabat lembut.

"Gue—gue udah g-ga punya bahan makanan...."

Hati Regan mencelos mendengar pemaparan tipis dari sang sahabat. Melihat Yuka yang masih terus mengusak wajahnya membuat Regan meringis.

"Yuka, kita udah temenan berapa lama sih? Jangan pernah sungkan minta apapun ke gue, oke?"

Yuka tidak menanggapi, tatapan mata polosnya kini mengarah ke sebuah tempat cucian piring karena nyatanya mereka berada di dapur sempit sang nenek. Wajah Yuka semakin sedih melihat bayangan dirinya yang selalu membantu nenek membuat kue-kue cantik.

"Regan... bahkan gue belum bisa kabulin permintaan terakhir nenek..." Yuka kembali terisak.

Regan hampir hilang kata-kata untuk menghibur Yuka dengan cara bagaimana lagi. Memang tidak bisa dipungkiri Yuka masih dalam masa berkabung.

Ada orang tidak tahu diri yang menabrak tubuh nenek sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Yuka yang hanya hidup dengan nenek kepalang bingung dan panik harus bagaimana.

Sampai salah satu dokter datang menghampirinya di ruang tunggu dan bersimpuh memegang kedua tangan kecil Yuka.

"Maaf, dokter tidak bisa membuat nenekmu bertahan lebih lama..."

Yuka langsung merasakan kesenyapan. Seolah dirinya tuli, Yuka tidak bisa mendengar apapun lagi selain suara tangisannya sendiri yang menyayat.

dukhh

Regan memeluk tubuh ringkih sang sahabat erat. Di tengah-tengah dapur yang sedikit kotor, di antara tumpukan bekas alat pembuat kue milik nenek, di tengah gelapnya lampu malam yang redup. Regan berjanji, Yuka pasti akan merasakan kebahagiaannya setelah ini.

"Pindah ke sekolah gue ya? Lo gak akan sendirian lagi mulai saat ini, gue janji."

———

"Nah, ini seragam buat lo!"

"Kan gue belum setuju!" Yuka memicing marah menatap Regan yang sore ini masih mengenakan seragam sekolah elit masuk ke dalam kamar sempitnya dengan binar bahagia.

Regan menghela napas, wajahnya langsung masam. Namun sedetik kemudian, wajahnya mendekat ke arah Yuka, menatapnya dengan yakin.

"Dengerin gue, keliatannya sekolah gue emang mahal sih, namanya juga swasta. Tapi percaya seratus persen semua kebutuhan lo udah termasuk beasiswa. Bahkan lo akan dapet uang saku dari yayasan itu."

"Tapi—sekolah gue gimana?" Yuka nampak khawatir dengan nasip sekolahnya.

Mereka berdua baru saja menginjakkan kaki di menengah atas sekitar sebulan yang lalu. Keduanya terpisah karena nilai dan prestasi. Regan memilih mengambil sekolah elit ibu kota karena saran dari orang tuannya sendiri.

Dan Yuka, dia terlampau rajin mencoba meringankan kebutuhan nenek dengan menjadi anak yang pintar. Yuka memilih sekolah di negeri yang masih bisa dihitung jari untuk pengeluarannya saja.

Dan entah apa yang membuat Regan memiliki ide seperti ini. Padahal sejauh ini Yuka bisa lebih hemat bersekolah di sana. Teman-temanya terlampau sama saja dan tidak membedakan karena urusan finansial ataupun nepotisme.

"Yuka, lo harus tau kalau gue terlampau peduli sama lo. Lo udah kayak saudara gue tau. Dan alasan kenapa gue ajak lo untuk pindah ke sana, lo terlalu pintar untuk disia-siakan. Di sana lo bisa mengembangkan prestasi lo supaya semakin bersinar, karena di sekolahan lo yang sekarang belum tentu bisa kasih peluang lo untuk bersinar."

Regan benar.

Yuka menghela napas, "Tapi gue takut, gue kan cuma anak miskin yang bahkan gak punya siapa—"

"Lo punya gue!" Sambar Regan sedikit jengah.

"Regan..." Ucapan Yuka menggantung karena anak itu tiba-tiba sibuk menatap seragam barunya yang berbeda.

"Lo gak perlu pusingin apapun, gue udah minta bokap untuk bantu urusin kepindahan lo."

Bibir Yuka perlahan terangkat walaupun tipis namun dia tersenyum tulus. Memang benar setidaknya kehilangan tidak akan membuatnya kehilangan lainnya. Yuka masih memiliki sahabat yang baik padanya.

Namun, andai Yuka tahu apa yang sedang Regan pikirkan sekarang dengan wajah yang sedang membalas senyum tulus miliknya kini.

Yuka, maaf... tapi mungkin hidup lo akan makin runyam setelah sekolah di tempat gue. Tapi ini caranya supaya mereka sadar kalau lo itu ada, kalau lo itu lebih berharga dari apapun.

————

ini cerita pertamaku, bantu support ya! jangan lupa untuk tambahkan ke perpustakaan kalian dan follow, votmen ya! aku bakal rajin update walaupun gabisa janji banyak! makasih!!

— cupiecake

Birth-Die Cake Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang