PROLOGUE

28 4 0
                                    

Sinar berwarna-warni berpendar, meliuk-liuk anggun di kanvas malam. Angin lirih bertiup, seakan menyapa setiap hati yang kelam.

Seekor altragon bersurai putih tebal panjang tampak terbang melintasi pendaran. Ia memamerkan sayap dan ekor panjang dengan bulu keperakan yang bergerak dalam keanggunan.

Mata biru sang pangeran dari klan penguasa siluman itu menangkap seekor lumira betina yang tengah terpaku memandanginya di kejauhan, di tengah padang salju menghampar, sendirian. Ia pun menukik turun, lalu mendarat perlahan.

Mereka pun saling mempertemukan tatapan. Sang altragon kemudian menjelma menjadi sosok pemuda tampan berambut putih pendek, dengan telinga runcing terbelah, mengenakan jubah kebangsawanan.

"Salvhasta," sapanya ramah, yang tentu saja tidak bisa dijawab oleh si lumira.

"Estara." Kali ini si pemuda bertitah lembut, begitu melihat lumira itu malah merendahkan tubuh, menundukkan kepalanya hingga hampir menekan permukaan salju.

Hewan bertubuh sedang bertelinga kecil runcing, berbulu abu-abu tebal, bersayap, dan berekor panjang itu segera menegakkan tubuh, menuruti perintah si pemuda, lalu bergerak lincah menggoyang-goyangkan butiran putih lembut di tubuh, hingga luruh berguguran. Matanya yang biru keunguan tampak gemerlap berkilau di kegelapan.

"Maina," titah si pemuda lagi, kali ini diikuti senyuman manis yang samar.

Lumira pun menjelma menjadi sosok gadis berambut panjang kelabu tergerai hingga menutupi bagian bokong, dengan mata biru keunguan berkilauan. Ia mengenakan kain berlapis bulu abu-abu, yang menutupi dada, pinggang, hingga pangkal paha, dengan bagian perut terbuka, ditambah sepatu kulit berbulu tebal panjang di atas lutut terkesan cukup memberi kehangatan.

"Salvhasta, Athora," ujarnya seraya membungkuk hormat, menyilangkan kedua tangan di depan dada, menyadari hanya altragon bangsawan kerajaan yang mampu memaksanya beralih rupa.

Pemuda itu tampak terpana sejenak. Mata birunya yang gemerlap berbinar. "Wahai Lumira, siapa namamu?"

Gadis itu baru saja hendak membuka mulut saat mendadak badai datang menerjang. Salju bergulung, saling menghantam, beterbangan. Pepohonan riuh bergoyang. Sinar berpendar pun sontak menghilang.

Siluman lumira tanpa pikir panjang segera berbalik, lari secepatnya di antara tebalnya tumpukan salju, menghindari amukan sang penguasa Marvania. Rambut panjang gadis itu berkibaran di udara. Dia terus bergerak lincah di antara hamparan putih dingin lembut yang menenggelamkan langkahnya hingga pangkal betis, memasuki hutan belantara.

Si gadis menghentikan langkah saat merasa sudah cukup jauh berlari dan badai telah berhenti. Ia menoleh ke belakang, berharap seseorang turut mengikuti.

Namun, wajahnya terlihat kecewa saat yang dia nanti tak kunjung terlihat. Ia pun memutuskan terus berlari sebelum menjelma kembali menjadi sosok lumira bersayap, terbang rendah memasuki hutan yang lebat.

*** 

MARVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang