T W O

7 2 0
                                    

Mora kembali memasukkan satu gulungan kecil kudapan ke mulut, mengunyahnya sambil mendengarkan celoteh Tira dan Xura. Mereka tengah terlibat pembicaraan soal pernikahan dua anggota klan. Dua kakak tertua, Caira serta Zhora, hanya diam mendengarkan.

"Sesuai dugaan, jodoh Ira adalah Thura. Sungguh akhir yang membahagiakan," cetus Tira. Gadis bermata sayu itu tak henti mengunyah sambil memegangi kudapan yang akan ia santap berikutnya di tangan.

"Itu sudah kuduga sebelumnya. Mereka serasi dan memang sering berduaan," timpal Xura, si bungsu. Pemuda yang berambut ikal pendek itu kembali mencomot kudapan dan dengan rakus melahapnya.

Saira kembali menaruh sepiring kudapan dari berrea, buah jingga berukuran kecil bulat kenyal berair tanpa biji, yang biasa tumbuh liar di hutan. Mora, Tira, dan Xura pun segera menyerbu piring kedua hampir bersamaan.

"Jangan berebut," tegur Saira melihat tingkah ketiga anaknya itu. "Sisakan untuk Borra, Caira, dan Zhora."

Mora menoleh pada kedua kakaknya yang hanya berdiri mengamati mereka. "Caira! Zhora! Ayo, bergabung sebelum kalian kehabisan. Berrea gulung panggang buatan Corra sangat enak."

"Kalian makan saja. Aku dan Zhora menunggu Borra."

"Corra, aku akan memetik berrea lebih banyak lagi nanti agar kau bisa sering membuat kudapan manis seperti ini," celetuk Tira pada ibunya.

"Iya, nanti kita pergi memetiknya bersama," jawab Saira.

Suara deham terdengar saat seorang lelaki sedikit berumur keluar dari kamar. Ia menenteng sebuah tas berukuran sedang dari anyaman akar yang cukup tebal. Dia memasukkan kotak bekal dan satu kantong dari bahan kulit hewan liar, berisi air minum yang telah disediakan Saira di meja kecil.

"Borra!" teriak Xura tiba-tiba saat melihat kehadiran sang ayah. "Kau jadi akan berburu hari ini?"

"Hmm, siapa yang akan menemaniku?" tanya lelaki itu sambil menghampiri, lalu membungkuk, meraih kudapan.

"Aku, Borra!" sahut Caira dan Zhora serempak seraya ikut meraih masing-masing segulung berrea panggang.

Lelaki berambut ikal kelabu setengkuk itu menegakkan tubuh kembali sambil mengunyah kudapan di mulut. Ia terlihat mengernyit. "Caira, kau tidak terlalu sabar menggunakan pesona untuk menghipnotis turenoa liar. Buruanku selalu berhasil kabur lebih dulu. Sebaiknya Mora atau Tira saja yang pergi bersama Zhora menemaniku."

"Tira akan pergi bersamaku nanti memetik berrea, Khora," ujar Saira pada suaminya. "Mora saja."

Caira spontan cemberut. Ia melirik sekilas ke arah adik perempuannya sebelum kembali berdiri, menyandarkan diri ke dinding kayu sambil melipat kedua tangan kali ini.

Ekor mata Mora menangkap lirikan penuh cemburu dari sang kakak tertua. Otaknya segera berpikir cepat untuk mencari alasan. "Aku sedang malas keluar hari ini. Semalam aku tak cukup tidur gara-gara menjaga kebun Barrowl. Aku ingin tidur saja setelah sarapan."

"Kau ini, alasan saja. Kau selalu tidur sepanjang nera. Sedangkan saat yang lain memilih lebih banyak tidur selama eira berlangsung, kau malah sibuk bermain-main di salju dan tak tidur semalaman karena berburu azora," omel Saira.

"Karena, sinar berwarna-warni itu tidak muncul saat langit malam terang di musim panas, Corra," kilah Mora.

Saira terlihat sekali gemas menatap putrinya yang nomor tiga. Ia paham, tak akan bisa menang berdebat dengan Mora.

Khora berdeham. "Sudahlah. Kalau begitu, Xura saja. Setidaknya ia bisa membantu memancing perhatian turenoa liar saat aku dan Zhora menyumpit mereka dengan canella."

MARVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang