Jam di tanganku masih menunjukkan pukul tujuh, tapi aku sudah duduk manis di salah satu kursi kosong yang ada di Loko Cafe. Secangkir vanilla latte hangat berbaik hati menemani. Terlebih hanya ada satu orang selain aku yang mengisi ruang kafe dengan model terbuka ini.
Alasan aku sudah berada di sini pagi buta adalah untuk menjemput salah satu pembicara yang akan mengisi seminar hari ini. Agak lain memang ketika beliau meminta cafe sebagai titik pertemuan kami. Mungkin karena usianya yang masih terbilang cukup muda. Mungkin juga agar lebih mudah untuk kami bertemu dibandingkan aku harus menunggu di keramaian stasiun.
Beliau adalah Mas Riandy, founder dari salah satu edutech yang sedang naik daun saat ini. Yap, benar sekali. Mas Riandy adalah seseorang yang disarankan—bahkan memberikan kontaknya padaku—oleh Aksa. Sampai saat ini aku tidak tahu bagaimana Aksa bisa mengenalnya, bahkan sepertinya bisa dibilang dekat.
Mas Riandy New Learn
Regen, ini aku udah sampai nih
Punggungku otomatis menegak ketika pesan dari Mas Riandy masuk.
Regen
saya udah di loko mas
Mas Riandy New Learn
Okee, aku jalan ke sana
Boleh minta tolong pesenin hot americano nggak re?
Take away aja ya
Regen
oke, mas rian
Segera aku menghampiri meja bar untuk memesan permintaan Mas Riandy. Tepat ketika waiter mengulurkan segelas kopi, satu sosok yang dapat aku kenali dari foto profile akun Whatsapp melangkah mendekat.
"Regen, bukan?"
Suara berat khas orang dewasa menyapa gendang telinga. Seketika aku menganggukkan kepala. "Mas Riandy?"
Beliau tersenyum dan memberikan anggukan tegas.
Aku mengulurkan tanganku sebagai bentuk salam. Mas Riandy menyambutnya dengan antusias, terlihat dari eratnya jabatan yang ia berikan.
"Ini, Mas, americano-nya." Tanganku memberikan gelas kertas yang sebelumnya kuletakkan kembali di meja.
"Thanks, ya, Re." Mas Riandy tersenyum dan sedikit mengangkat gelasnya.
"Sama-sama, Mas." Aku mengulaskan senyum. "Gimana tadi perjalanannya, Mas?"
"Ya, gitu aja. Ditinggal tidur juga." Mas Riandy terkekeh kecil.
Pembicaraan terus berlanjut sampai kami telah berada dalam mobil menuju venue seminar. Mungkin karena usia yang tidak terlalu terpaut jauh—tidak sampai sepuluh tahun—berbicara dengan Mas Riandy mengalir begitu saja. Apalagi setelah Mas Riandy memberikan izinnya untuk berbicara lebih santai dengannya.
"Oh, iya, Mas. Aku boleh tanya nggak, ya? Tapi agak personal, sih." Aku menampakkan deretan gigiku dengan sungkan.
"Asal jangan tanya masih jomblo atau enggak aja, Re," balas Mas Riandy santai.
Aku tergelak kecil. "Nggak kok, Mas." Aku sedikit mengeratkan genggamanku pada stir mobil. "Mas Riandy...sama Aksa kenal di mana?"
Hening sejenak hingga aku menoleh sejenak ke arah kursi penumpang. Aku menemukan kedua alis beliau yang terangkat tinggi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomantikRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...