Bagian Tengah : Meredupnya Sang Idola

343 45 18
                                    

Catatan : 14 Hari adalah short story, terdiri dari 3981 kata.

***

"Biu, kita akan pergi ke mana?" Untuk kesekian kalinya Bintang bertanya tapi selalu diabaikan oleh Biu. Lelaki itu sibuk mengemasi pakaiannya ke dalam tas ransel, juga beberapa barang-barang yang dianggapnya penting, termasuk benda yang disebutnya sebagai kotak ajaib itu.

"Tak bisakah kau diam saja dan ikuti kegiatanku? Nanti akan kujelaskan di perjalanan." Baiklah, terserah, Bintang tak punya minat untuk mendebatnya lagi. Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa.

Bintang masih tidak mengerti kenapa kehidupannya yang normal dan membosankan tiba-tiba berubah menjadi sebuah petualangan, ditambah lagi usianya yang tidak lagi dapat dikatakan remaja, tapi persetan dengan usia, Biu yang kelihatannya lebih dewasa dari dirinya pun masih bersemangat untuk hal yang tidak masuk akal ini.

"Ayo Bintang, kita harus mengumpulkan informasi." Penampilannya saat ini sudah seperti bocah petualang sungguhan, Biu memakai sepatu boots, topi yang tergantung di lehernya, celana pendek berkantong banyak, tas ransel yang cukup besar, apakah Biu akan mengajaknya bepergian sangat jauh?

"Biu ... bukankah itu berlebihan? Kita tidak akan pergi berperang atau pindah ke dunia lain, 'kan?"

"Benarkah?" Biu melirik apa yang melekat di tubuhnya. "Aku hanya meniru ayahku. Katanya pakaian ini bisa membantunya kabur dari kejaran salamander raksasa." Biu serius, sangat serius, dia tidak mengerti kenapa Bintang malah tertawa terbahak-bahak.

"Keluargamu sangat unik, Biu," komentarnya kemudian.

Biu mengerti sekarang, Bintang tertawa karena tidak mempercayainya. Saat pertama kali mendengar kisah petualangan ayahnya, Biu juga tidak percaya, bahkan Biu membencinya karena kekonyolan itu ibunya pergi, mungkin tidak kuat lagi menghadapi ayahnya.

"Bintang, ayahku sudah tiada, tolong jangan menertawakannya lagi." Biu tidak membentak, tapi raut wajah Bintang langsung berubah, suara tawanya berhenti, kalau sekadar kesal, Biu akan mengajaknya berdebat, tapi intonasi suaranya lebih terdengar seperti permintaan. Kalimat itu berhasil membuat Bintang merasa bersalah.

"Maafkan aku ...."

Biu menghela napas panjang. "Beberapa hal konyol di dunia ini bisa jadi adalah luka yang mendalam bagi orang lain, Bintang. Kalau kau tidak mengerti, sebaiknya jangan tertawa sembarangan karena itu sangat menyebalkan." Harus Biu akui, dia merasa tidak pantas marah-marah hanya karena hal ini. Sebab Biu pernah berada di posisi Bintang, dia sempat menganggap ayahnya adalah seorang pembohong besar.

Namun, Biu harus tetap memberitahukan bagaimana perasaannya, seberapa menyebalkannya orang di hadapannya ini, orang ini adalah teman perjalanannya. Biu membutuhkannya, setidaknya dia berguna karena dekat dengan Bible.

"Aku akan mengingatnya, Biu, maaf."

Baguslah, Biu mengangguk mantap. Obrolan tadi tidak perlu diteruskan, Biu akan melupakannya. "Ayo." Biu mengulurkan tangannya meski tidak langsung dibalas oleh Bintang, mungkin dia masih merasa segan. Biu tidak punya waktu untuk meyakinkannya, akhirnya dia menarik tangan Bintang sampai tersentak bangun dari sofa.

"Bintang, sebaiknya kau melatih otot kakimu karena kita akan banyak berjalan," ujar Biu tanpa mengindahkan ekspresi Bintang yang kaget bercampur khawatir, firasatnya tidak enak soal ini.

***

Matahari bergulir karena efek perputaran bumi, kini ia sudah terlihat di arah barat, yang artinya hari sudah mulai sore. Cahayanya meredup karena awan yang menghalanginya, Biu melirik Bintang yang sedang memperhatikan keadaan di luar kereta. Dia tidak banyak bicara setelah diberitahukan ke mana tujuan mereka.

14 HARI [SHORT STORY-END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang