Kesederhanaan, Kenapa Bapak Pergi Cepat

186 1 1
                                    


Jalan setapak itu sering ku lalui setelah keluar kampung, menyusuri areal tanaman sawah yang licin kala musim hujan, juga tebing curam dan jembatan bambu melintas sunga besar penghubung desa. Aku sengaja telanjang kaki menggendong tas punggung usang bekas pemberian kang Anton anak pak Kadus. Saban pagi buta aku menyusuri jalan itu, selain tas punggung aku menenteng plastik kresek berisi sepatu, alas kaki itu juga bekas pemberian kang Anton.

Menikmati dunia sekolah menengah pertama milik negara di sebuah kecamatan pinggiran, aku berteman dengan mereka lintas kampung, lintas status sosial, mereka banyak orang berada hidup di perkotaan.

Kurang lebih 10 kilometer jalan setapak itu sebagai akses jalan pintas yang kulalui. Lebih cepat dibanding lewat jalan desa yang luas, namun harus memutar. Sesampai di jalan aspal kecamatan aku mencuci kaki di air irigasi, mengenakan sepatu dan melanjutkan perjalanan lebih kurang dua kilometer. Kadang aku sampai di sekolah menumpang teman yang melintas dengan sepeda kayuh, atau sepeda motor. Meski tak jarang jalan kaki bersama sejumlah teman yang rumahnya tak jauh dari sekolah.

Banyak di antara teman sekolah sering menertawakan diri ini karena kondisiku. Mungkin penampilanku beda dari kebanyakan teman sekolah. Dibanding teman-teman aku memang unik, bajuku tak pernah tersentuh seterika, bahkan warnya putih mulai pudar kuning kecoklatan ketika memasuki kelas tiga, tak jarang celanaku biru juga sudah sobek dan ditambal jahitan tangan.

Aku tak pernah beli baju seragam, semua bekas pakai milik kang Anton anak pak Kadus yang kala itu telah memasuki sekolah menengah sambil nyantri di luar kota. Tapi aku menikmati, tak peduli dengan beragam tangapan miring terhadap diriku. Serba kurang, desa dan udik ku sadari sebagai anugerah yang tetap disyukuri, setidaknya aku bisa meraih pendidikan seperti mereka.

"Jangan mudah tersinggung, kita memang orang desa yang serba kurang," kata Emak kala itu.

Di sekolah aku tergolong siswa biasa, tak pernah meraih rangking tiga besar. Hanya 10 besar, aku urutan ke delapan. Artinya nilaiku tak istimewa tapi standar bisa berkompteisi, itu sudah bagus juga.

"Dasar kamu, makan bergizi kalo musim hajatan dan lebaran," ujar seorang teman mengomentari diri ini. Aku tak tersinggung, kutanggapi dengan tertawa, memang itulah apa adanya aku.

Aku dan keluargaku memang miskin. Rumahku masih berdinding bambu, atap genteng baru beberapa tahun ini kami nikmati. Sejak lahir hingga mendekati sekolah menengah sebelumnya atap rumah terbuat dari ijug pohon aren.

Lantai..? jangan ditanya lagi, jelas masih tanah plus tempat tinggal hewan undur-undur di setiap sudutnya.

Bapaku dan emak buruh tani serabutan. Mereka mengerjakan lahan milik para tentangga yang tanahnya luas. Mulai menanam, merawat hingga panen menggunakan tenaga bapak dan emak. Di luar itu mereka memelihara sapi, itu pun bukan milik kami, dua ekor sapi merupakan titipan, semacam merawat dengan pembagian hasil saat melahirkan atau ketika dijual.

Biasanya bapak mendapat anakan dari sapi indukan yang sebelumnya dirawat. Itu dilakoni bapak sejak masih remaja, memelihara sapi atau hewan ternak tetangga dengan sistem "paron" atau bagi hasil berdasarkan kesepakatan dengan pemilik.

Dari sistem beternak itu bapak mampu memenuhi hidup, termasuk biaya menikah dengan emak dan melanjutkan keluarga melahirkan aku dan mendirikan rumah meski sangat sederhana.

Sebagai anak tertua dari dua bersaudara aku membantu bapak dan emak memelihara sapi. Kali ini sapi titipan dari pak Parno, sudah beranak jadi ada dua ekor yang kami pelihara. Artinya satu ekor anak sapi yang baru enam bulan lalu dilahirkan menjadi hak bapak.

Keberadaan sapi itu menjadikan aktivitas di luar sekolah. Aku tak pernah ikut ekstra kurikuler, karena siang pulang sekolah harus mencari rumput buat makan sapi. Jika musim kemarau saat lahan sedang tak produktif aku mengembala, di situlah duniaku yang berbeda dari sebagian besar teman sekolah menengah di kota kecamatan.

**

Ayah Kenapa Kau Tinggalkan Kami

Mendung menggelantung saat langit mulai gelap pada suatu sore, saat itu ketika aku memasang perangkap ikan di sungai usai memandikan sapi. Kebiasaanku mencari bahan makanan tambahan yang akan ku panen pagi hari, membantu emak memenuhi kebutuhan pangan keluarga, ikan sungai menjadi lauk bergizi dan murah bagi keluarku.

Baru saja aku memasukan perangkap, kang Likan tetanggaku berlari dan teriak memanggil, aku diminta balik secepatnya. "Ayo balik," ujar kang Likan.

Tentu aku terkejut, ku lepas tali pengikat sapi, secara alamiah hewan peliharaan itu melangkah ke tujuan kendang di rumahku. Sapi merupakan salah satu hewan pintar yang setia pada pemelihara, kebiasaan menjadikan dia paham tempat tinggal selama ini. Termasuk saat balik ke rumah, di paham jalan pulang.

"Ada apa kang ?," aku beritanya.

"Ayo pokoknya balik. Ini penting," katanya singkat.

Aku bergegas, berlari kecil dengan perasaan tanya, apa yang terjadi dengan ajakan pulang kang Likan. Menyusuri jalan ke rumah dari Sungai jelang Magrib senja itu. Sejumlah tetangga banyak berlari bersarung dan peci berpasan di jalanan menatapku aneh. Aku awalnya tak peduli, berpikir mereka hendak ke surau untuk sholat magrib.

Kang Likan masih membuntutiku ketika kau berlari kecil disaksikan tatapan aneh para tetangga yang ku temui, mendekati rumah aku sempat berpasan dengan mobil ambulance bertuliskan rumah sakit umum daerah di kota kabupaten.

Aku mulai cemas, ketika melihat kerumunan tetangga di halaman rumahku. Tak kusaksikan ibu dan Siti adiku yang baru berusia 4 tahun. Air mataku meleleh terisak, saat pak Ustad Sholikhin menyambutku mengulurkan tangan dan menggandeng aku masuk rumah.

Tangisku pecah, air mata tak dapat terbendung. Kakiku lemas tak mampu menyangga tubuh ketika ku saksikan tubuh terbujur di bale bambu. Bapak, dikerubungi warga, ibuku menangis disamping jasad bapak yang telah terbujur tenang.

"Bapak....," aku luapkan teriakan oleh perasaan kehilangan.

Dunia ini rasanya gelap, sore itu aku meratap. Pelukan handai taulan dan tetangga tak mampu meredupkan jiwaku yang terpukul. Berat rasanya..

Aku Anak Desa yang  SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang