Aku merasakan goncangan kepedihan sepeninggal bapak. Sangat terasa hingga satu pekan lebih aku tak sekolah, sering merenung mengingat mendiang bapak.
**
Lebih dari sepekan tak menyusuri jalan setapak menggendong tas dan menenteng kantung plastik berisi sepatuku. Sesaat aku melupakan nyayian burung di pagi hari yang mengiringi langkahku lewat jalan pintas kampung ke sekolah di kota kecamatan.
Bapak telah pergi mendadak akibat kecelakaan tanpa diketahui siapa dan penyebabnya apa. Ku ketahui hanya kesaksian dari sejumlah warga kampung menemukan bapak sudah tergeletak di tanjakan bukit Ndoro yang terjal.
Jalan itu sering dilalui bapak dan warga kampungku. Memang terjal dan rawan kecelakaan, khususnya pegguna jalan dari luar daerah. Senja itu bapak dibawa ambulance ke rumah dan meninggalkan kami semua.
**
Aku melanjutkan sekolah menengah pertama di kota kecamatan hingga lulus tanpa disaksikan bapak. Ah bapak ... dulu ingin aku bisa melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas. Mendiang bapak ingin aku tak seperti dirinya yang hidup bergelut dengan lumpur, ia berpikir aku bisa kerja di kota dengan modal izasah.
Kini ku buang harapan untuk melanjutkan sekolah lebih tinggi seperti harapan bapak. Aku menjadi penganti bapak menopang ekonomi, meski emak tetap bekerja sebagai buruh tani. Bekerja serabutan di usia 15 tahun, kadang aku menjadi buruh bangunan menemani kang Tejo, tetanggaku yang menjadi tukang batu di kota kabupaten. Untuk menghemat biaya hidup aku pulang ke kampung sepekan sekali, memilih tidur di bedeng selama pengerjaan proyek. Dengan begitu aku bisa menghemat, bisa membantu emak memenuhi kebutuhan harian.
Kerja buruh bangunan pengalamanku pertama kali setelah lulus sekolah menengah pertama. Kurang lebih enam bulan aku ikut kang Tejo, mengaduk semen, menenteng adonan material dan melayani tukang menata batu bata.
Hidupku seperti tatatanan baru bata itu, dari pondasi kemudian sedikit demi sedikit ditata menjadi bangunan rumah. Aku mulai menjadi hidup dengan pondasi yang tak kokoh tentunya, hanya modal tenaga. Izasahku tak layak buat mendaftar kerja secara formal, pendapatanku tak sebesar upah mereka yang punya izasah sekolah menegah atas apa lagi sarjana.
Tak dipungkiri aku juga ingin seperti kehidupan para teman sekolahku. Melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi sebagai modal bisa meniti hidup lebih baik dari pekerjaan yang upahnya lebih gede dan nyaman.
Namun keinginanku it uku buang jauh, hanya mimpi dalam benak semoga gusti Allah mengabulkan.
**
Bekerja sebagai buruh bangunan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Bersama kang Tejo dan warga asal kampungku kami kembali ketika proyek sudah kelar. Di kampung aku merawat sapi titipan dan menerima kerja sebagai buruh tani. Rezeki selalu meski hanya modal tenaga. Kadang diminta menjadi kuli bongkar dadakan ketika ada warga yang membutuhkan.
Semua ku jalani, di situ justru aku menyadari betapa mendiang bapak luar biasa sebagai pejuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kadang bayang bapak muncul saat aku kerja atau merenung. Dengan satu rasa penasaran siapa yang tega menabrak bapak tanpa tanggung jawab. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Anak Desa yang Sederhana
AdventureMenikmati dunia sekolah menengah pertama milik negara di sebuah kecamatan pinggiran, aku berteman dengan mereka lintas kampung, lintas status sosial, mereka banyak orang berada hidup di perkotaan. Banyak di antara teman sekolah seringmenertawakan di...