02. Kembalinya Masa Lalu

119 14 30
                                    

Sore datang dan rumah jadi lebih riuh dari biasanya.

Om dan Tantenya Hesa yang mulanya bilang menutup rapat kabar keberangkatan, ternyata curang dan memanggil komunitas muslim. Tidak meriah sih, tapi dilihat dari banyak motor dan mobil di halaman, dua rumah dinas yang menyambung itu jadi mencolok.

Para Bapak dan anak kecil duduk menggelar tikar di bawah pohon rindang, lalu bagian dalam rumah diisi para perempuan yang menyiapkan rawon seadanya.

Karena sang Bude menjamu tamu akhwat (perempuan), otomatis Elisa ditumbalkan jadi tukang nganter piring. Pastinya dia butuh melanggengkan obrolan sebagai bagian dari ramah-tamah.

Dilihat-lihat dia mudah menyesuaikan kemampuan bersosial, tapi karena dasarnya Elisa introvert jadilah pas ngobrol tangan dia berkeringat dan rada tremor.

"Kamu ponakan mereka, ya. Bapak Ibumu kok nggak dateng, nduk?" Tanya Bapak yang pakai seragam tentara. Lencana dan bintang beliau berjejer di pakaian, menandakan Elisa kudu extra sopan.

"Mboten, Pak (Tidak, Pak). Pakde saya belum ngabarin orang rumah. Takut ngerepotin soalnya jauh perjalanan. Nanti sewaktu pulang umroh baru diundang untuk datang." Jawab si gadis.

"Walah begitu, nduk. Oh ya kamu sama Hesa ini seumuran?" Bapak berpangkat itu menunjuk ke arah persis samping kanan Elisa.

Buset! Jadi dari tadi Hesa duduk di deket Elisa naruh piring? Pantes cewek itu ngerasa kebantu. Tiba-tiba rak susunnya sudah kosong padahal dia diajak ngobrol orang semenit dua menit. Ternyata itu ulah Hesa yang gercep sambil dianya ngobrol juga sama tamu lain.

Saking sibuk dan nervousnya sampe si gadis tak menotis keberadaan Hesa. Hesa lagi pakai jasket prodi hukum warna cokelat pekat, tangannya mainin kunci motor sambil duduk bersilah sopan.

Kayaknya Hesa baru pulang kuliah dan langsung nyambut tamu. Pantasnya begitu, sebab keluarga besar Elisa lagi jauh maka tetangga hadir sebagai keluarga kedua yang menyemarakkan urgensi.

"Saya kurang paham ngge, Pak. Kayaknya lebih tua mas Hesa sedikit." Jawab Elisa, lupa-lupa ingat.

Si tampan menoleh ke kiri, dimana ada gadis yang sejak awal ia perhatikan. Cantik banget kalau sedang berhijab begini, lebih adem dilihat daripada pas dia nggak kerudungan. Meski gemas juga sih pas gadis itu lepas hijab, ada anting mutiara yang gondal-gandul di telinganya.

"Ngge betul, Pak. Saya lahir 2001. Kalau dik Elisa ini baru lulus sekolah." Jawab Hesa.

Elisa langsung nyengir denger Hesa memperkenalkannya ke orang lain. Berasa sudah dekat, padahal interaksi mereka sangat terbatas. Kalau boleh menaruh prasangka, jangan-jangan Hesa pernah menanyakan identitas Elisa dengan orang lain tanpa sepengetahuannya.

"Oalah, baru lulus. Lah kok nggak kuliah?" Tanya Bapak itu lagi.

Nah, ini nih jenis pertanyaan yang agak nyebelin. Sebenernya orang niatnya cuma nanya, tapi karena Elisa agak sensitif di topik ini, kupingnya auto panas dan mikir jawaban sambil tersenyum paksa.

Kenapa ya, njir? Belom mau kuliah aja gitu. Gerutunya lantang di hati. Tapi masa jawab gamblang begitu? Gak pantes.

"Hehe, saya masih gap-year dulu pak." Jawab gadis itu.

Sengaja pake istilah terkini biar nanti respon baliknya jadi oh? Gap-year itu apa nduk? Trus Elisa bisa cangcingcong ngomong kalo gap-year itu nunda kuliah karena beberapa alasan.

Hesa sedari tadi juga menghadap ke dia, tertarik dengan topik kehidupan gadis itu. Cuma dianya nggak ditolehin sedikitpun sama Elisa.

"Oh, gap-year sambil kerja, kursus, apa gimana?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐒𝐞𝐦𝐚𝐧𝐢𝐬 𝐆𝐮𝐥𝐚, 𝐒𝐞𝐩𝐚𝐡𝐢𝐭 𝐑𝐞𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang