Winter 4

37 25 45
                                    

"Aku mengerti kenapa ada orang yang tidak ingin berjanji, karena mereka tidak tau takdir mereka sendiri. Bintang di atas akan bertambah, 'kan?
Tapi, yang bertambah adalah janji kita tanpa di sadari."

√&_&√

Selamat membaca (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

Memutuskan untuk menutup gorden lalu menatap mereka yang tertawa dan aku menghampiri mereka. Kami pun langsung mandi lalu sholat asar dan kami pun ke pasar malam yang tidak jauh dari rumahku. Kami tertawa bersama di pertengahan jalan lalu menatap warung bang Jali yang tutup dan menatap orang yang berlalu lalang di pasar malam.

Sekarang sore menjelang malam hingga adzan Maghrib berkumandang membuat kami sholat dan seperti biasa Hasan bersama Selly menunggu di depan pos masjid. Kami pun langsung ke pasar malam dan bersenang-senang. Bermain bianglala, kora-kora, tembak-tembakan, mancing ikan dan bermain lempar gelang.

"Sudah sama aku saja, aku sangat jago lempar gelang dan akan ku dapatkan kamera digital itu!" antusias ku lalu melemparnya dan berhasil.

"Woah!! Kau berhasil Bella!!" jerit Tian dan mereka berenam melompat bersama.

"Bella!! Bella!! Bella!!" teriak kecil mereka dan kami pun mengambil kamera digital itu.

"Apakah untuk berfoto, Nak?" tanyanya lalu mereka mengangguk dan aku masih melihat kamera digital itu.

"Fatamorgana memang ada," ucapnya dan mereka mengabaikan perkataanya pun menghampiriku.

Kami pun melanjutkan permainan yang lain hingga mereka berhenti dimana ada bunga cantik dan indah. Kami pun melihat-lihat lalu mereka berenam membeli bunga anyelir dua warna dan aku menatap mereka yang memberikan bunga itu.

"Pegang bunga ini!" ujar mereka bersamaan.

Aku mengambil bunga anyelir berwarna dua dari mereka masing-masing dan aku menatap bunga yang lain lalu mengambil enam tangkai bunga.

"Meski begitu, aku akan memberikan kalian bunga anyelir merah muda ini," senyumku.

Mereka mengambil lalu kami memberikan uangnya kepada sang penjual dan ibu itu hanya terdiam. Namun, ibu itu meneteskan air matanya saat kami pergi lalu aku berlari terlebih dahulu dan tersenyum kepada mereka sambil mencium bunga dari mereka. Hujan pun turun membuat kami meneduh di masjid hingga adzan isya berkumandang lalu kami sholat dan kami pun menunggu hujan reda. Lagi-lagi aku menatap orang berjubah itu lalu menatap Sapri yang memberikanku kotak hitam yang lumayan besar.

"Bukan di hari ulang tahunmu," ucapnya dan aku mengangguk.

"Dari kalian semua?" tanyaku dan mereka mengangguk.

"Tentu, semoga kau menyimpannya dengan aman dan ingat kami, hahaha," tawa Selly dan aku geleng-geleng kepala.

"Tentu, aku akan selalu mengingat kalian, karena kalian keluarga keduaku!" tegasku dan mereka mengangguk antusias.

Hujan pun reda, kami pun menuju rumahku sampai kami menatap bunga putih yang berterbangan dan membuatku memundurkan langkahku. Untung saja Tian langsung menarik tasbihku, namun tasbihku terlepas dengan cepat Cira menangkap ku dan aku langsung memungut tasbihku.
Mereka pun membantuku lalu aku menatap mobil yang mengarah kepada kami dan dengan cepat aku mendorong mereka.

Bragh!

DUAR!!

Aku menutup telingaku saat ledakan itu terjadi dan kepalaku mulai pusing saat menatap api berkobar dengan besar.
Mereka langsung menelpon polisi lalu Selly mencoba membangunkan diriku yang pingsan dan terdapat darah di tanganku.

"Cepat panggil ambulans sama polisi, Tian!!" kesal Sella dan Tian mengangguk.

"Sudah! Mereka akan ke sini!" tegas Tian.

Orang berjubah itu datang menghampiri kami tapi ia hanya menatapku yang pingsan lalu pergi dengan hembusan angin kencang yang menerpa mereka dan polisi bersama ambulans datang. Aku pun tiba di rumah sakit, mereka langsung membayar rumah sakit lalu menatap tukang sopir itu dan berlari saat diriku mulai siuman.

"SUDAH KU BILANG!!! BIARKAN KAMI YANG MENYELAMATKAN KAMI SENDIRI!! KAU SUDAH MENYELAMATKAN KAMI BEBERAPA KALI! JIKA KAU GAGAL MENYELAMATKAN KAMI KAU AKAN MENYESAL!" kesal Cira dan aku menundukkan kepalaku.

"Tentu saja aku menyesal jika aku tidak menyelamatkan kalian! Mana ada sahabat yang membiarkan sahabatnya dalam bahaya! Tidak ada, 'kan!" kesalku lalu berdiri.

"Kita pulang saja!" kesalku dan kami pun pulang.

Saat di rumah hanya keheningan tercipta lalu Hasan menghampiriku dan membaling kertas. Aku yang masih kesal pun mengabaikannya lalu menuju kamarku dan mereka hanya terdiam. Aku langsung tiduran di kasur sambil memeluk tiga bantal gulingku dan menatap poto kami yang kotor. Berjalan untuk mengambil poto itu lalu membersihkan debu yang menempel dan menatap ruangan kamarku yang masih bersih. Namun, aku bingung kenapa hanya poto kami yang berdebu lalu aku pun  mengabaikannya dan mengintip mereka yang menonton tv.

"Padahal aku menyelamatkan mereka karena aku tidak ingin mereka terluka. Tentu saja aku menyesal jika nanti aku tidak menyelamatkan mereka," kesalku yang bergumam.

"Kenapa mereka selalu marah jika aku menyelamatkan mereka, lagian nanti juga mereka yang akan menyelamatkan diriku dan itu pasti," ucapku yang tersenyum.

Aku terkejut saat orang berjubah itu di belakangku dan aku terdiam. Orang berjubah itu menunduk hingga ia pun memperlihatkan dirinya dan aku meneliti wajahnya untuk yang kesekian kalinya.

"Apakah kau bahagia, seharusnya kau pergi dari sini dan kau tidak pantas untuk di sini!" tegasnya dan aku geleng-geleng kepala.

"Tempatku di sini!! Kau gila, ya!" kesalku yang langsung membaling bantal gulingku dan ia pun pergi dengan cepat.

"Setan?" heranku, badanku merasa merinding lalu membuka pintu kamar yang dimana mereka berenam menunggu.

"Bella, bisa ikut kami sebentar?" tanyanya dan aku mengangguk.

"Tunggu dulu, kenapa pakaian kalian putih semua?" tanyaku dan mereka tersenyum.

"Bukankah, ini keinginanmu?" ujar Hasan dan aku terdiam.

Aku tersenyum mengingat ulang tahunku lalu aku langsung memakai dress putih dan mereka membawaku yang tidak tau kemana. Aku merenung di dalam mobil Sapri, mereka bernyanyi dan aku hanya bisa terdiam. Menatap jendela mobil lalu bunga putih berterbangan, aku hanya bisa terdiam dan menatap bunga itu menjadi api dalam sekejap. Selly meraih tanganku lalu aku menatap tempat dimana aku bisa menatap bintang di malam hari dan mereka pun tersenyum.

"Bintang disana mungkin akan bertambah lagi dan kau menginginkan apa?" tanya Cira.

"Singkat saja, hanya sederhana nan mudah. Aku hanya ingin menua bersama kalian, kalian yang mempunyai pasangan, anak lalu jadi nenek itu sangat lucu dengan rambut kalian akan memutih dan persahabatan kita sampai maut memisahkan," ucapku sambil menatap bintang.

"Aku akan meminta kepada Tuhanku, untuk menua bersama kalian dan itu akan menjadi kenangan memori yang terindah yang aku punyai." Mereka tersenyum dan Tian pun berdiri.

"Apakah itu akan terjadi?" ucapnya dan aku mengangguk.

"Bagaimana tuhan mengambil salah satu dari kami?" tanyanya.

"Hanya bisa berpasrah saja dan berharap nanti akan bertemu," jawabku dan mereka menatapku.

"Bagaimana kalau kami semua?" tanya Sella dan aku terdiam membisu.

Mulutku tidak bisa membalas perkataannya, hingga aku menatap orang berjubah yang melewati kami lalu aku terdiam akan ingatan ku.

♡⁠(⁠˃͈⁠ ⁠દ⁠ ⁠˂͈⁠ ⁠༶⁠ ⁠)

WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang