Part 1. Angan Berumah Tangga

2 0 0
                                    

"Rasa tak pernah bisa berdusta, meskipun lisan dengan indahnya bertata,"- Maulida Arofisha.

«o0o»

Seorang lelaki berusia delapan belas tahun sedang menatap gadis di depannya. Gadis itu berambut lurus dengan wajah cantik dan manis. Dia sangat mengagumi akan sosok itu. Tiba-tiba, tangannya terulur mengelus puncak rambut yang terurai panjang tersebut.

"Tikey!" sahut gadis itu sambil menepis tangan tersebut dari atas kepalanya.

Pemuda yang dipanggil Tikey itu menghentikan aksinya. Dia menengadahkan wajah, memandang lekat sosok gadis itu.

"Aku menyukaimu ... sangat-sangat menyukaimu, Nara." Dia mengatakan hal tersebut dengan senyuman lesung pipitnya.

"Tikey. Gombal ah," sanggahnya lalu merajuk membalikkan tubuh ke arah lain.

Sebenarnya, Qinara tersipu malu karena ungkapan Kartikey tersebut. Dia lalu mengalihkan pandangan pada hamparan bintang di atas mereka. Saat sedang asyik memandangi langit, lelaki itu memandang lekat wajahnya, membuat dia semakin merasa terpojok akan buaian asmara.

"Nara, apa kau mau berjanji padaku untuk memberi bintang yang itu," kata Kartikey sambil menunjuk bintang paling besar dan bercahaya di atas sebelah kanan mereka duduk. "Dan yang itu," lanjutnya sambil menunjuk bintang mungil yang tidak terlalu bercahaya, tetapi sangat indah dilihat.

Qinara langsung menjawab, "Apa maksudnya?"

Kartikey menatap wajah gadis itu. Dia menelisik ke dalam relung bola mata pheonix itu, seperti mencari sebuah keyakinan untuk menyampaikan maksud dari perkataannya. Entah, apa yang sedang dicari, hanya dia yang mengetahui.

"Tikey?!" panggilnya dengan sedikit heran.

Dia tersenyum dan berkata, "Nara, mungkin ini terlalu cepat menurutmu, tapi aku ingin segera mengatakan hal ini agar kau mengetahuinya."

Deg! Jantung Qinara mulai berdetak tidak teratur, badannya mulai berkeringat, padahal angin malam sangat dingin. "Apa yang ingin kau katakan?"

"Bintang paling besar yang aku tunjuk tadi adalah restu. Aku ingin kau diterima oleh keluargaku dan bersinar terang, sedangkan ... bintang kecil yang indah tadi adalah buah cinta kita. Aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku," jelasnya sambil tersenyum.

"Apa maksudmu?"

Kebingungan Qinara dimengerti oleh Kartikey. Dia lalu berkata lagi, "Aku mencintaimu dan ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku setelah keluargaku merestui perjodohan kita."

"A-apa?!" Dia kaget dan tanpa sengaja berteriak. Matanya langsung menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar.

"Ha-haa ...." Kartikey malah menertawakan sikap gadisnya tersebut. "Cuma kita berdua di sini, kamu mau cari siapa?" sahutnya sambil terkekeh pelan.

"Jadi?"

"Apanya?"

Qinara sedikit kesal karena Kartikey malah bertanya balik. "Kok, gitu sih, kamu serius nggak sih, nyatakan perasaan sama aku?" tanyanya sedikit memanyunkan bibir.

"Iya, aku serius. Tunggu saja lamarannya!" sahut Kartikey lalu memegang kedua tangan Qinara dan menatapnya. "Aku ingin ikatan kita direstui lebih dulu sebelum aku memilikimu."

Tes! Air mata mulai menetes dari sudut mata kanannya.

Kartikey menghapus buliran itu dan bertanya, "Kenapa menangis?"

"Ini air mata kebahagian," sahutnya sambil menatap wajah teduh lelaki itu.

Dia tak berharap Kartikey akan menyatakan perasaan cinta padanya di malam ini. Semua terasa semu, tetapi nyata. Kekasih yang dicinta akhirnya mau memberikan kepastian akan hubungan mereka setelah sekian lama.

Kartikey lalu memeluk Qinara, gadis yang mampu membuat hatinya nyaman setiap kali bertemu. 'Ah, inikah namanya cinta dikala masa yang ingin beranjak dewasa?' Tiba-tiba, senyuman indah terulas dari wajahnya, dia merasa harus memberitahu sang ayah di malam ini juga.

«o0o»

Setelah mengantar Qinara pulang, Kartikey menemui ayahnya di ruangan kerja. Dia tahu jikalau lelaki tua itu saat ini sedang ada di ruangan tersebut untuk meninjau beberapa berkas perusahaan.

Lelaki itu bernama Ardi Swan. Dia adalah ayahnya Kartikey, kepala rumah tangga Swan yang memiliki tiga orang istri dan dua orang putra.

Tok-tok! Dia mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Ayah! Ini Tikey," serunya dari balik pintu.

"Masuk!"

Mendengar suara Ardi yang mengizinkannya masuk, membuat Kartikey tidak sabar ingin mengutarakan perjodohannya dengan Qinara. Dia lalu masuk dan melihat ayahnya sedang sibuk membaca beberapa kertas yang ada di tangan.

"Yah?"

"Hemm?"

Kartikey meneguk saliva. Dia lupa jikalau lelaki tua di depannya ini adalah seseorang yang tegas dan tidak suka bertele-tele.

Dia lalu duduk di sebuah sofa dan berkata tanpa melirik ayahnya. "Yah, aku ingin bertunangan."

Ardi menghentikan rutinitasnya. Dia lalu bertanya, "Dengan siapa?"

Kartikey mengangkat kepala dan menatap Ardi dengan wajah berbinar. "Benaran, Yah?"

Dia tidak langsung menjawab, melainkan mengambil secangkir kopi yang ada di sampingnya. "Iya, tapi Ayah harus tahu dulu... siapa yang mau kamu lamar?" sahutnya lalu menyesap kopi yang ada di tangan.

"Qinara, Yah ... anaknya Oom Rio," sahut Kartikey dengan wajah cerianya.

Prank! Gelas yang dipegang Ardi terlepas begitu saja dari tangannya. Dia sangat kaget saat tahu bahwa putra sulungnya jatuh cinta pada orang yang sama dengan putra keduanya.

Dengan nada sedikit emosi, Ardi menolak permohonan Kartikey tersebut. "Ayah tidak setuju! Qinara adalah milik adikmu ... Mereka telah Ayah jodohkan sedari kecil. Kamu harus mengalah untuk adikmu!"

"A-apa?!" Kartikey terkejut dengan pernyataan ayahnya tersebut.

'Ayah minta maaf, Nak. Ini demi mempertahankan kamu ... Ayah harus melakukannya agar kamu dan Sanka tidak terlibat dalam perselisihan,' batinnya sedih. Dia lalu berkata, "Tikey, Ayah-"

"Sanka! Sanka terus yang selalu Ayah utamakan!" teriaknya karena kesal pada Ardi.

Kartikey sangat marah akan jawaban yang didapatkannya dari Ardi. Dia tidak menyangka jikalau untuk memiliki kekasihnya saja, dia harus mengalah demi sang adik.

"Tikey? Ayah minta maaf, tapi kamu harus tahu jikalau kamu-"

"Cukup, Yah! Aku nggak mau dengar penjelasan dari Ayah lagi." Dia menghela napasnya dengan kasar, lalu berkata dengan tatapan kecewa, "Selama ini, aku selalu mengalah untuk Sanka ... kenapa? Kenapa aku tak bisa mengambil hak aku sebagai anak sulung di keluarga ini, Yah? Kenapa harus Sanka yang selalu Ayah prioritaskan?! Kenapa?!"

Ardi terdiam. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Kartikey.

"Okay, aku ngerti... Ayah nggak perlu jawab pun, aku ngerti," katanya dengan suara lirih dan getir.

Kartikey bangkit dari duduknya, dia ingin keluar dari ruangan tersebut. Namun, langkahnya terhenti saat Ardi memanggilnya.

Dia tidak memalingkan wajahnya, tetapi berkata sambil tersenyum miris, "Aku ngerti kok, Yah. Aku hanyalah anak dari madumu, tidak punya hak untuk meminta apa pun."

Setelah berkata seperti itu, Kartikey membuka pintu dan keluar dari ruangan tersebut. Dia berjalan dengan gontai. Hatinya begitu sakit. Apa yang akan dia katakan pada Qinara bahwa ikatan mereka ditolak oleh ayahnya sendiri.

Dia merasa jiwanya seakan tercabik dan berdarah. Hanya bisa merapalkan penyesalan pada sang kekasih. 'Nara, maaafkan aku. Aku tidak bisa menepati janji kita. Kau adalah milik Sanka, bukan milikku ... meskipun, kita saling mencintai.'

***

BINTANG KESEPIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang