5. Five Years Old

513 48 10
                                    

Five years old Jihan

Jihan itu selalu penasaran akan banyak hal. Level bertanyanya melebihi saat Abang Aska masih kecil dulu. Bahkan ia akan bertanya perihal mengapa bisa kucing disebut kucing dan bukan sendok. Seolah ruang di otaknya tak pernah habis akan rasa penasaran.

Ayah dan Bunda terkadang harus menjawab asal sebab usia Jihan yang belum tentu mengerti akan penjelasan ilmiah yang seharusnya diterima gadis cilik itu ketika ia masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kemarin Jihan baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke lima tahun, bersamaan dengan usia Ayah yang berubah menjadi tiga puluh satu. Seharian itu mereka habiskan dengan berkeliling kebun binatang, akuarium raksasa, dan membeli beberapa menu makanan untuk dimakan bersama di rumah Oma dan Opa.

Jihan senang sekali karena akhirnya ia menyadari jika ia memiliki teman selain manusia dan dua kucing di rumahnya. Jihan baru saja berkenalan dengan banyak jenis binatang, seperti singa, harimau, ular, buaya, dan yang paling Jihan sukai adalah Orangutan. Sayangnya, kata Ayah, mereka tidak bisa dibawa pulang untuk bermain bersama, sebab mereka juga memiliki keluarga di rumah masing-masing (di kebun binatang). Jihan jadi tak tega untuk menjauhkan mereka dari keluarga mereka.

Agenda hari ini tak begitu banyak meskipun ini adalah hari Minggu. Seharusnya begitu. Tapi kelihatannya tak demikian ketika Ayah berpamitan akan pergi ke stasiun sejenak. Ketika ditanya, Ayah menjawab akan menjemput Om Naka yang baru datang kembali ke Jakarta setelah berlibur di Bandung selama kurang lebih tiga belas hari.

Bunda sempat bertanya bingung, bukankah Om Naka pergi ke Bandung menggunakan mobil pribadi, lantas mengapa Om Naka kembali dengan kereta? Dan Ayah hanya menjawab, “Biasa, otaknya ikut ketinggalan.”

Karena Jihan tak sesibuk Abang yang tengah menggarap tugas kesenian, Jihan meminta ikut dengan Ayah. Perlu lima puluh tujuh menit rengekan sampai Ayah dan Bunda sepakat mengatakan, “Okay, asal jangan lepas dari Ayah.” Jihan mengangguk mantap.

Kini Jihan dan Ayah sudah memasuki area stasiun dengan tangan saling bergandengan. Jihan bersikeras ingin berjalan sendiri daripada digendong Ayah. Ayah menggunakan masker, dan kacamata hitam (itu wajib jika tak ingin Ayah dikejar banyak tante).

Kepala Jihan celingukan memperhatikan banyak orang mondar-mandir dengan tas dan koper. Ada yang berlari, ada yang berjalan biasa sepertinya, bahkan ada yang tertidur sambil duduk di kursi. Selagi Ayah mengamati jadwal kedatangan kereta, Jihan melihat kereta yang selama ini hanya ia lihat di serial kartun. Bedanya, kereta yang sungguhan ini tak bisa bicara dan bernyanyi, Abang telah memberitahunya jika yang di serial hanyalah gambaran komputer. Dan Jihan cukup merasa dibohongi hingga ia sakit hati dan beralih ke serial pinguin biru.

Jihan sedikit tersentak ketika tangan kirinya yang digenggam Ayah tertarik, rupanya Ayah mengajaknya duduk di salah satu kursi tunggu.

“Om Naka mana, Ayah?” tanya Jihan sambil mengedarkan pandangan, barangkali Om Naka telah bersama mereka.

Ayah melepas kacamata hitamnya dan menyimpannya di kerah kaus yang dibalut jaket abu-abu. “Keretanya masih delay, jadi kita harus tunggu 15 menit lagi.”

Kedua alis Jihan mengerut. “Kedelai?”

Ayah sontak tertawa. “Delay, maksudnya kereta yang dinaikin Om Naka ketunda gara-gara ada kendala.”

“Keleta juga ada lampu melahnya, kah, Ayah?”

“Nggak ada, karena kereta nggak bisa berhenti kalau nggak di stasiun.”

“Keleta itu bisa telbang kan, Ayah?”

“Ya enggak, dong, Cantik. Yang terbang mah pesawat, kalau kereta itu termasuk kendaraan darat.”

Little JihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang