The art of waiting

Badai rasa

Gelap perlahan tiba.
Lampu jalan mulai menyala.
Sang surya hendak menenggelamkan dirinya.
Ratu dari kegelapan, mulai memancarkan indahnya.
Diiringi cahaya bertebaran dimana mana.
Siapa yang tidak terpukau atasnya?
Hawa dingin mulai mengusiknya.
Kesedihan mulai datang menyapa.

Awan columbus hitam menggulung cakrawala.
Dengan rintik air jatuh dengan derasnya.
Membasahi bimantara dan juga matanya.
Tergenang dan juga mengenang, pikirnya.

Tak ada yang indah dari itu semua.
Yang terlihat hanya, kilapan cahaya tajam yang sesekali merusak pandangan hati dan mata.
Gemuruh dan badai ikut serta.
Mempercantik suasana.

Kapan badai ini akan usai?

Entah, berhujan hujan dengannya begitu candu.
Membuat lupa waktu.
Dan enggan beranjak dari keadaan yang rancu.

Menari tanpa alas kaki,
Membersamainya hingga pagi.
Bersenandung tentang datang dan pergi.
Dengan nada dari air jatuh ke bumi
Bak putri prakasiwi.

Apakah aku kurang memujamu , tuan?
Apakah aku tak layak? Aku menerima sakitku atasmu.

Kau membuat musimmu sendiri.
Kadang kau cerah tapi hanya jauh di dalam hati.
Kadang kau basah, dan kau mengajakku untuk dibersamai.
Lalu, kau mau dengan siapa lagi?
Mengundang lautan manusia untuk merasakan sakit tak ujung rapi?

Air dari badaimu mengalir mencari celah.
Memberinya alur supaya jauh dari kata tersesat dan hilang arah.
Menampung nya, hingga tumpah.
Dan memungut nya layaknya sampah.
Tak sadar hingga berdarah darah.

Celotehan orang orang sangat berisik.
Dan aku merasa terusik.
Padahal, mereka baik
Tapi aku tidak berkutik.
Aku tetap menatapmu baik.
Aku masih, bergumam doa untukmu tanpa tanda titik.
Hingga, mereka panik dan tidak berlagak seekor itik.

Kali ini , aku tak bersorak ramai.
Kacanya pecah, bercerai berai.

Datanglah,
Deraslah,
Guyurlah,
Bergejolaklah,
Matilah,
Dalam nya hingga punah.
Aku tak akan goyah.
Ketika aku berkata sudah, maka sudah.

Integritas mu sudah musnah.

Terimakasih, atas bau hujan pertamakali nya.
Aku sangat menyukai nya.

- Belle ame