Prolog

15 1 0
                                    

Hari itu Jena ingat sekali mengapa dirinya dipanggil untuk menemui bagian human resource tempat dirinya bekerja. Matahari perlahan menyusut, menandakan sudah waktunya sedikit bersantai karena pengunjung tak sepadat saat jam makan siang berlangsung.

Menaiki tangga menuju ruangan sang atasan, Jena menghela nafas saat melihat layar ponsel pintarnya menyala, menunjukkan panggilan untuk dirinya dengan nama sang sangat ia hafal ㅡ udah lima kali ya, ini. batinnya lelah namun enggan disebut durhaka akhirnya Jena berbelok menuju balkon. Tak apa rasanya meladeni sang mama sebentar sebelum bertemu sang atasan.

"Halo, ma" Jena menjaga intonasinya agar tidak terlihat malas, bagaimana pun ini orangtuanya.

"Kaka! mama serius ini!" Suara disebrang ternyata enggan berbasa-basi, "apa susahnya kamu pulang, toh itu restoran kamu. Udah jadi semi bang Toyib tau ngga kamu tuh, ngga pulang-pulang 4 tahun"

Jena menghela nafas. Memang benar, sejak dirinya memutuskan merantau selepas lulus kuliah empat tahun terakhir, Jena jarang sekali pulang ㅡ nyaris tidak pernah. Usaha yang dirintis dirinya dengan sang sahabat membuat dirinya lupa untuk pulang.

"Iya mah, nanti Kaka pulang." Jawab Jena sekenanya, berharap sang mama mengerti. Jena melirik jam tangannya, sebentar lagi jam makan malam tiba, dirinya harus bersiap mendisplay beberapa kue. Oh! Dan bertemu atasannya, "mama, udah dulu ya. Kaka mau ketemu Rana."

Sebenarnya sang mama masih berbicara tentang seribu alasan kenapa jena harus pulang. Mama Jena menghela nafas, "pokoknya paling lambat satu bulan dari sekarang lebih 1 x 24 jam kamu pulang. Ini acara adek loh ka."

"Jena ngga janji ya, ma." Lalu menutup panggilan dari sang mama.













ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ


Jena memasuki ruangan sang sahabat setelah sebelumnya mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk. Gadis dengan celana panjang berwarna coklat dengan kemeja putih yang tertutup sedikit karena celemek coklat khas resto itu mendapati sang sahabat tengah menunggu dirinya di sofa panjang yang memang disediakan.

"lama lu." Katanya.

"Mama telpon tadi." Jawab Jena

Rana tertawa renyah, "pasti disuruh pulang ya lu?"

Melihat Jena yang tersenyum getir membuat Rana menggeleng tak habis fikir. Rana mengenal Jena sejak mereka menjadi mahasiswa baru, meski berada di jurusan yang berbeda namun mereka tetap akrab hingga setelah lulus mereka sepakat untuk memulai bisnis dengan bekal Jena yang suka bereksperimen dengan makanan dan Rana yang merupakan mahasiswa terbaik lulusan fakultas ekonomika dan bisnis.

Mengenal Jena hampir 8 tahun membuat Rana mengerti bahwa sang sahabat memang agak gila kerja, padahal jelas-jelas mereka merintis bisnis ini bersama namun Jena lebih suka menyebut Rana sebagai atasannyaㅡ pertama kali Jena menyebutnya atasan Rana menangis karena Rana fikir dia membuat kesalahan tapi setelah Jena jelaskan Rana mengerti.

Jena memang hanya akan ke resto milik mereka jika dirinya libur bekerja. Jean bekerja menjadi staff keuangan salah satu perusahaan menengah dikota yang sama saat ia kuliah.

"lagian pulang aja je, mama lu sampe telpon gue loh kemaren sambil nangis nangis." ucap Rana, "walaupun nangisnya ketara banget, nangis Bombay"

Jena mengerti, mama nya memang seperti itu ㅡ suka mendramatisir.

"Tapi gue ngerti sih, lu pas kuliah lu cuma balik tiap libur semester panjang, giliran udah lulus kuliah malah ngga balik 4 tahun. Mama lu kangen tuh." Jelas Rana.

"Udahlah, na. Bentar lagi jam padat pelanggan. Lu mau ngomong apaan? Gue mau restock kue buat di display." Kata Jena berusaha mengalihkan pembicaraan.

Rana menggeleng melihat kelakuan Jena, selalu begitu. Tak ingin menambah beban sang sahabat, Rana menyodorkan laptop miliknya.

"Inget rencana kita buat buka cabang?" Jena mengangguk sambil memperhatikan isi laptop Rana. "Gue pikir ngga ada salahnya buka cabang di kota lu. Wait! Sabaar"

Rana buru-buru mencegah hal buruk terjadi, Jena terlihat kesal dan sedikit kaget dengan usul Jena.

"Gue ngga asal nyomot ide ya, tim sosmed sempet bikin survey lewat media sosial kita dan dari data peminat, kota lu lumayan banyak. Ditambah pas kemaren ada temen lama bokap yang mau jual tanah miliknya dan entah kebetulan atau apa ada di kota lu." Rana menjeda, "setelah gue nyari-nyari, ternyata kota lu juga strategis ah, budaya nongkrongnya juga lumayan kalo gue liat dari beberapa info online."

Jena diam sebentar, merasa semua penjelasan Rana dan catatan yang ia teliti di laptop milik Rana memang ada bagusnya. Jena percaya bidang ini memang sangat Rana sekali dan pasti sudah Rana fikirkan matang sekali.

"Oke deh, gue rasa ini ide yang bagus. Jadi kapan kita bakal mulai survey dan yang lain?" Tanya Jena.

Rana tersenyum karena Jena sepertinya menerima semua idenya, "gue bakal ngabarin temen bokap gue, je. Untuk apapun yang kita butuhkan kita liat dulu aja. Persiapan sebenarnya udah sekitar 60%, cumaaa"

"Cuma apa?" Tanya Jena.

"Gue kayaknya bakal serahin sepenuhnya cabang kita ke elu, deh." Ucap Rana ragu, "sorry gue ngga bisa ninggalin bokap."

Jena mengerti. Rana selama ini hanya tinggal berdua saja dengan sang ayah, ibunyaㅡentahlah, Rana saja tidak tau bagaimana. Dua tahun belakangan ayah Rana sering bolak-balik rumah sakit.

"Jadi gue harus pulang dan ngurus cabang kita, sendirian?" Tanya Jena.


"Ya ngga sendirian banget lah je, kan kita bisa zoom keh, video call ke, meet ke. Jaman udah canggih tau!" Elak Rana, "toh kontrak lu bakal abis kan  dua bulan lagi. Itung-itung lo pulang juga. Kalo sekiranya ayah udah mendingan, kita bisa tukeran tiap 3 bulan sekali ko."

Jena mengangguk mengerti, "oke deh." Melirik jam dinding diruangan, sepertinya ia memang harus kembali ke bawah.













ㅡcontinueㅡ






Omake

"Jadi begitu ya Tante."

Rana mendengarkan rencana mama Jena dengan seksama.

"Iyaa, biar Jena pulang. Urusan tempat, perizinan dan tetek bengeknya bisa tante usahakan, sayang" ucap mama Jena menggebu-gebu, "tinggal Rana sayang yah, bantu mama bujuk Jena supaya mau pindah ngurus cabang disini."


"Iya Tante, Rana siap akting dengan full power." Jawab Rena cekikikan.


Mama jena tertawa, "makasih ya anak Tante yang manis, salam buat ayah. Mama udah kirim obat herbal, diminum ya sayang."

Ah, senangnya punya mamaㅡ Rana tersenyum setelah mengucapkan terimakasih dan percakapan keduanya berakhir.

Rana menatap foto dirinya dan Jena yang terpasang dimeja kerja miliknya. Foto saat mereka merayakan ulang tahun Rana diusia 20 tahun.

"Jena, apapun alasan kamu ngga mau pulang. Aku harap dengan cara ini masalah kamu bakal selesai" Ucap Rana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ReasonㅣEnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang