3. Asylum

58 7 8
                                    

Pada suatu hari ketika genderang perang kian senyap, Sahara menyaksikan sosok lelaki pemberi topeng duduk di atas benteng. Dia datang menghampiri dan mengambil duduk didekatnya, kemudian menjuntaikan kakinya di antara jeruji pagar.

Terik matahari menyengat langsung, tetapi lelaki itu tampak abai. Dia larut dalam permainan pola warna yang ditorehkan pada kanvas, menciptakan sebuah sketsa wajah. "Hei, siapa yang kaulukis?"

Dia agak terkesiap ketika melihat tingkah bersahabat dari Sahara, perubahan yang drastis ketika telah mengenakan topeng. "Oh ini, melukis tokoh-tokoh perang melalui deskripsi singkat dari Bala Cucu."

"Jadi begini, cara kau bertahan di Benteng Seloto?" Begitulah nasib anak campuran. Takdir membawanya dalam nelangsa. Namun, rakyat pribumi tidak bisa disalahkan, sebab mereka ingin memperjuangkan haknya.

"Ya. Mereka membutuhkanku guna menghidupkan sejarah untuk cucu-cucunya." Dia berhenti melukis, kemudian membuka lembaran pada kanvas yang lain. Di sana tergambar sebuah tempat nan gelap. "Mirisnya, masih ada darah campuran lain yang disekap di sini dan kau ... beruntung bisa bersandiwara."

Keduanya saling melempar pandangan. Sahara tersenyum kecil. "Tentu, kau yang memberikannya, Cedric-David," ungkapnya. Sahara taktahu pasti nama lelaki itu.

"Apa yang Milady katakan?" Alisnya saling bertautan ketika menatap dalam manik mata Sahara. "Aku Heigel. Cedric yang memberikanmu topeng itu tengah disekap di asylum bersama David, karena sudah membuat kebakaran."

"Heigel, Cedric, David ...," gumam Sahara. Heigel si pelukis, Cedric si misterius dan David yang selalu tersenyum. Terlalu musykil untuk Sahara tepis bayangannya, meski mereka muncul dan menghilang begitu saja. "Bukankah kalian---"

Ucapan Sahara menggantung di udara ketika lukisan milik Heigel terbang. "Oh, tidak!" Dia segera bangkit dari atas jeruji seraya mengulurkan tangan untuk menggapainya, tetapi angin lebih keras menerbangkan kertas dengan gambar wajah-wajah tersebut.

Heigel lantas menuruni benteng ketika lukisan itu tersampir pada wajah salah satu Mekal Tana yang tengah membawa tawanan. Ia mengumpat sembari menginjak lukisan tersebut. "Keparat, bekerjalah dengan benar, Darah Campuran!"

Heigel tertunduk. Ketika hendak memungut, lukisannya lebih dulu diinjak oleh Mekal Tana yang lain. Kini, lukisan itu tampak kusut dan sobek. Baru sekaranglah Sahara menyadari, Heingel melukis wajah tawanan yang baru saja lewat tadi---seorang pria Jepang dengan kerutan di sisi matanya, tanda ia sering tersenyum.

Geram, Sahara segera meneriaki Mekal Tana guna meminta ganti rugi, karena Heigel butuh tenaga ekstra saat membuat lukisan dari wajah seorang buronan. Namun, tak ada yang menggubris. Dia pun berjalan mengikuti para tentara menuju anak dari Benteng Seloto.

Tempat itu tampak terasing. Membuat Sahara sadar bahwa inilah asylum dalam lukisan Heigel. Di sana, ada banyak orang menghadiri upacara ekseskusi, termasuk Margareth. Dia tengah memeluk tubuh pria Jepang yang kini tengah berada di atas podium.

Pria itu disekap menggunakan guillotine---sebuah bingkai tinggi dengan bilah untuk pemenggalan kepala. Saat itu juga Sahara sadar bahwa ialah petinggi militer yang diberitakan telah membelot kepada Nusantara, sehingga menimbulkan propaganda antar dua pasukan.

Indonesia Raya
Merdeka, merdeka!

Tanahku negeriku
Yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka, merdeka!

Di antara nyanyian kemerdekaan, Sahara justru memikirkan mengapa pria dengan senyum ramah dan membela Nusantara justru diekseskusi. Hingga ketika kepala pria itu terpenggal dan tangisan Margareth pecah, Sahara baru mendapatkan jawabannya ... ia adalah sosok papa yang sedari dulu Sahara cari.

Sahara segera berlari ke pelukan Margareth. Takpeduli dengan topeng sandiwara yang selama ini digunakan. Sebab meski sejauh apa pun bersandiwara, dia tetaplah anak dari orang tua penjajah.

Dua orang kembara
Saling asing, sama nelangsa
Bertemu di padang sahara
Menjadi pelancong dataran nan hijau

Sanandung merdu peongobat jiwa
Memabukkan asmara
Membawa gerilya perang
Meluluhkan patah hati
Mengobati luka-luka

Seseorang yang jatuh hati
Mengklaim dirinya
Membawa bermuara
Pada cinta yang salah

Demikianlah Margareth menutup kisah dengan sang suami. Saat itu Belanda dan Jepang bersekutu untuk menaklukkan Nusantara, kemudian Margareth dijadikan pion, hingga Kazehiro mengikat janji untuk tidak saling berkhianat.

Akan tetapi, sang pemberi janji membelot kepada Nusantara. Apa daya tangan taksampai, satu-satunya cara untuk menghidupi diri dengan menjual kekuatannya kepada musuh. Namun, untuk memerdekaan negeri, Enti Desa haruslah membunuh Kazehiro sebagai inang dari kekuatan itu.

Usai ekseskusi, Enti Desa berjalan menghampiri Margareth. "No ti kami sematemu." Ia mengembuskan napas kasar. Meski tanpa kematian, harus ada ganjaran atas sebuah kesalahan. "Kami akan membawamu ke Batavia. Tuanku Adipati Agung lebih cocok menanganimu."

Hukuman yang setimpal dengan melepaskannya pergi, dan membiarkan Sahara tinggal di Sumbawa. Sebelum berlalu, Margareth pun berpesan kepada sang anak, "Jangan bersenandung lagi, Sahara."

Margareth takingin Sahara mengikuti jejaknya. Sebab setiap kali dia bersenandung untuk menyembuhkan seseorang, setiap itu juga hidupnya tergerus. Bahkan ketika Margareth berkunjung sepulang dari Batavia, Sahara tidak tahu bahwa usia sang mama semakin menipis ....

Sementara itu, Sahara kini sudah melepaskan topengnya dan tidak hidup dalam sandiwara. Jika jenuh, dia akan pergi ke asylum untuk mengenang kepergian orang tuanya. "Jadi ini keputusanmu, Sahara?" tanya Cedric. Dia baru saja muncul dari balik dinding.

Sahara mengangguk. Dia tidak terkejut lagi dengan kebiasaan Cedric yang menampakkan diri secara tiba-tiba. "Ya. Bukan seperti kau yang kehilangan teman berdarah campuran lainnya, kemudian memutuskan bergabung bersama jiwa Heigel dan David dalam sandiwara."

Cedric tersenyum sungging saat mendengar pernyataan tentang eksistensinya di asylum. Namun demikian, Sahara tidak mau menjadi target Cedric berikutnya. Dia ingin mengenal Cedric sebagai teman, bukan mengenalnya dalam satu jiwa.

Di luar sana ada orang lain yang lebih membutuhkan kekuatan sandiwara untuk tetap hidup dalam kepalsuan. Sementara Sahara sudah berkembang. Ketika dia belajar menerima perbedaan ras, perbedaan itu justru merakulnya untuk melangkah ke depan.

SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang