"Raaa, awasss!" teriakan tiba-tiba memecah kesunyian, menyadarkan aku dari lamunanku. Mataku berkedip dan langsung menyeringai saat sebuah bola voli mendekat dengan cepat, sepertinya tak ada juga kemampuan alamiku yang bisa menghindarinya. Sepertinya saat itu adalah saat di mana badanku memilih untuk pasrah.
Namun, keajaiban terjadi ketika seseorang tiba-tiba muncul dan dengan gerakan yang halus mendorongku keluar dari lintasan bola maut itu. Aku merasa seolah-olah waktu melambat saat tubuhku meluncur keluar dan tiba-tiba aku berbaring di tanah lapangan, dengan dia di atasku. Wajah kami hanya beberapa sentimeter terpisah, dan pandangan matanya terjebak dalam pandangan mataku.
"Lo gapapa?" tanya lelaki itu, tatapannya yang hangat mencari kepastian dalam ekspresiku. Saat itu, tiba-tiba saja wajahku merona merah bak bunga mawar yang baru mekar. Terdengar desahan halus keluar dari bibirku saat aku mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya.
Aku merasa malu dan tak tahu harus berkata apa. Aku merasa diriku tenggelam dalam keragu-raguan sendiri. Tanpa sadar, aku mendorongnya, mencoba untuk menciptakan jarak antara kami, seolah-olah itu bisa membantu aku mengatasi perasaan canggung yang melanda saat itu.
"Gue ... Gue baik-baik aja. Makasih, tadi lo udah nyelamatin gue," ujarku dengan keragu-raguan yang masih terselip di suara, meskipun sebenarnya aku dan pria ini sudah cukup akrab.
Pria itu mengangguk dengan lembut lalu bangkit dari duduknya. Kemudian ia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Aku memandang tatapannya selama beberapa detik, sebelum akhirnya menggenggam tangannya dengan erat, menggunakan itu sebagai pijakan untuk berdiri.
Dirga, begitulah ia dipanggil. Kami telah menjadi teman selama bertahun-tahun. Hubungan kami telah diperdebatkan oleh teman-teman sekelas sebagai sebuah "hubungan tanpa status." Sebab, kami seperti pasangan yang seringkali bersama, menunjukkan perhatian satu sama lain dengan cara-cara yang lebih dari sekadar persahabatan, namun tidak pernah mengambil langkah resmi sebagai sepasang kekasih.
Saat kami berdua berada di kelas, seringkali ada sentuhan kecil seperti tersenyum atau berbagi rahasia saat pelajaran terasa membosankan. Kami akan bercanda dan membuat satu sama lain tertawa dengan lelucon-lelucon yang hanya kami yang mengerti. Itu adalah momen-momen yang membuat kami merasa nyaman satu sama lain. Namun, meskipun cinta itu hadir dalam bentuk persahabatan yang dalam, belum pernah ada keberanian untuk membawa hubungan ini ke tingkat berikutnya.
Aku pikir, pada suatu hari, kita akan menemukan cara untuk mengatasi ambiguitas ini dan menjelma menjadi lebih dari sekadar teman tanpa status. Tetapi sampai saat itu tiba, kami tetap sebagai "teman" yang saling mengisi dalam kehidupan satu sama lain dengan cerita, tawa, dan kebahagiaan.
***
Kami berdua, Dirga dan aku, duduk di sebuah bangku di taman yang tenang. Suasana sekitar tenang, hanya ada desiran angin yang lembut dan nyanyian burung-burung kecil yang memecahkan keheningan. Pagi itu, matahari bersinar terang, menerangi langit biru yang cerah, dan hamparan awan putih seperti kapas yang mengambang di atasnya memberikan tampilan yang luar biasa.
Dirga, dengan tatapan matanya yang dalam, terpesona oleh pemandangan di atas. "Udah lama ya, kita gak duduk di sini?" katanya sambil terus menatap langit. Suaranya penuh dengan kekaguman saat ia meresapi keindahan alam di sekitar kami. Setelah sejenak menikmati pandangan, ia perlahan memalingkan wajahnya ke arahku, matanya yang penuh dengan keramahan dan pertanyaan tersirat.
Aku mengangguk setuju, "Iya, terakhir kita kesini, sebulan yang lalu kayaknya..."
Dirga, dengan tatapan prihatin, melanjutkan pertanyaannya. "Lo kemana aja? Udah sebulan lo gak masuk sekolah. Terus gue coba hubungin, tapi gak ada balasan apa-apa. Bahkan gue pergi ke rumah lo, tapi tempat itu kayak gak berpenghuni. Ra, bisa gak lo ceritain ke gue, kenapa tiba-tiba ngilang gitu aja? Dan kenapa lo datang kembali sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIRGARAHAYU
Short StoryMungkin semesta telah mempertemukan kita, namun takdir memisahkan kita.