41: Jadi...?

130 16 1
                                    

Deru suara AC memenuhi ruangan, mengisi keramaian di antara keheningan. Hampir semua orang di sekitarku saat ini seumuran denganku. Dengan laptop di hampir masing-masing dari mereka—atau setidaknya kertas dan buku. Sesekali terdengar suara obrolan yang tidak terlalu jelas.

Tidak jauh berbeda, aku juga tengah terfokus kepada layar di hadapan. Begitu juga Mahesa yang duduk berseberangan dariku. Namun, konsentrasiku pecah ketika layar ponsel Mahesa yang tergeletak di meja menyala. Ditambah juga aku telah memasuki bagian akhir laporan.

Mahesa mengambil ponsel dan mengeceknya. Untuk beberapa saat ia menggerakkan jemarinya di atas layar. Hal itu mengingatkanku tentang anjuran Nada dan Alika. Lebih baik jika aku bertanya langsung kepada Mahesa, meskipun secara tidak terlalu gamblang.

Hmm.

"Hes, gue boleh pinjem HP lo bentar nggak?" Akhirnya kalimat tersebut keluar dari mulutku.

Begini rencananya. Aku akan melihat lebih dahulu apakah dia mempunyai aplikasi tersebut. Jika iya, maka aku akan mulai rencana selanjutnya. Jika tidak, maka aku tidak perlu repot-repot menyusun pertanyaan pancingan untuk diajukan. Aku berdoa saja dia tidak bertanya yang aneh-aneh.

"Buat apa, Re?" tanya Mahesa dengan kening yang terkerut samar.

"Emm.."

Quick, Re. Quick!

"Mau selfie."

Great!

Mahesa terpingkal pelan.

"Kenapa, sih?" Aku belagak ngambek untuk menutupi betapa malunya diriku saat ini telah memberikannya alasan yang terlampau absurd.

"Nggak pa-pa." Mahesa yang masih sedikit tertawa menggelengkan kepala. "Nih." Ia mengulurkan ponselnya yang tidak terkunci.

Aku meringis sambil menerimanya.

"Yang banyak, ya," ujarnya.

Aku hanya membalasnya dengan menjulurkan lidah.

Awalnya, aku membuka kamera. Membenarkan letak rambutku yang sudah tidak karuan, aku mengambil beberapa potret diriku dengan berbagai ekspresi dan gaya. Untung saja semua orang fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Kalau tidak mungkin mereka akan menemukan satu orang gila yang disangka kabur dari rumah sakit.

Aku menutup kamera, lalu menggulirkan layar mencari ikon aplikasi yang aku cari.

Please. Please, I beg you.

Dalam waktu yang singkat itu, aku menyadari betapa besarnya aku berharap bahwa Mahesa memiliki aplikasi tersebut.

Bam! Ada!

Saatnya menjalankan rencana selanjutnya.

Aku memejamkan mata. Dengan tenang, aku mengambil napas panjang.

"Lhoh, Hes. Lo punya app ini?" tanyaku dengan mengeluarkan semua bakat akting yang aku miliki.

"Hah? Apaan?" Ia sedikit menyondongkan badannya.

Aku mengangkat ponsel, mengarahkan layarnya kepadanya. "Friendly."

"Oh, iyaa. Itu temen gue yang nginstall dulu," jelas Mahesa. "Lupa belum gue ilangin."

"Tapi akun lo?" Aku bertanya lebih jauh.

Mahesa menyipitkan matanya, tampak berpikir. "Iya? Yang bikin Rangga juga, sih. Termasuk bikin akunnya."

"Lo pake sampe sekarang?"

Kalau melihat chat terakhirku dengan M, sejujurnya aku juga bingung apakah bisa dibilang pakai atau tidak. Iya, karena kami melakukan percakapan. Tidak, karena hal tersebut hanya terjadi sesekali.

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang