2015
"Bete... el... gewww... ussshhh!" mulutnya monyong. Alisnya berkerut-kerut tapi matanya mendelik. Sedetik kemudian dia nyengir bego, "he? Gimana sih bacanya?"
Motor bebek mendadak oleng. Pengemudinya menoleh ke belakang bolak-balik, ke boncengan, dimana cowok cebol berambut karatan tadi mengeja nama tempat yang sedang mereka tuju dari layar smartphone-nya
"Hah? Apaan, Bi?!" Eka namanya, berteriak dibalik helmnya. Gagal paham informasi yang diberikan Habibie, temannya itu.
"Ini lhoooo! Cafe-nya Milo, namanya Bete Gewusss," Habibie menjawab sambil memegangi helm Pororo-nya yang melorot ke depan, membuat poninya berantakan, "kayaknya udah deket kok!"
"Lah? Gue kirain Epilog, kalo cafe plus gallery furniture di daerah sini sih, setau gue..."
"Bukan. Nih! Baca, namanya Bete Gewus Chocolate and Cakery. Baca! Iqro! Iqro!"
Eka berdecak sebal. Langsung menepikan motornya. Berhenti mendadak, Habi yang tidak pegangan langsung menghantam punggung lebar Eka. Mengaduh kesakitan.
"Aduh! Sakit, Kaaa! Mau berhenti bilang-bilang, dong! Gue kan kaget!" omelnya sambil menggosok-gosok hidungnya yang kembang kempis nyeri.
"Makanya pegangan! Mana sini?!" Eka menyerobot ponsel Habibie. Langsung membaca arahan jalan yang dikirimkan teman mereka.
Namanya Iko, teman satu SMA mereka. Tepatnya sih, adik kelas. Tapi mereka lumayan akrab dulu, gara-gara ekskul sepak bola yang Habibie dan Eka ikuti. Iko bukan anggota ekskul sepakbola, sih. Cuma sering jadi bahan bully-an aja. Tapi ternyata, pertemanan mereka masih juga berlanjut sampai sekarang, sudah hampir lewat enam tahun lamanya.
"Jangan ngomel-ngomel kek, Ka... Kan gue yang sakit," Habibie cemberut. Merajuk, ceritanya, "elo sih gara-gara skripsi jadi sensian gitu... huu..."
Eka memutar badannya menghadap ke belakang. Mendapati tampang Habibie terlalu unyu untuk diomeli. Sambil membuka kunci layar, disodorkannya tangannya, mencubit hidung Habi-nya gemas.
"Berisiiik... nggak usah bahas skripsi, mentang-mentang udah mau wisuda. Hehe..."
"Aaaaak! (N)ggak ushah (n)a(m)bahi(n) cubid jugka kkaliii!" Habibie teriak-teriak dengan suaranya yang bindeng gara-gara hidungnya dipencet.
Eka masih tertawa-tawa kecil, sementara tangan kirinya mulai sibuk scrolling diatas touchscreen, membaca pesan dari Iko.
"Ini sih bukan Bete Gewus, Habii... Baca nih, B-E-T-E-L-G-E-U-S-E. Dibaca Biteljuus! Payah!" ejek Eka, agak sok tahu juga. Mana tahu dia cara baca bahasa aneh begitu.
Lagipula ngapain juga sih Milo dan Iko pakai kasih nama cafe mereka dengan bahasa asing susah dibaca begitu? Kan susah buat diingat, nggak membekas di ingatan, rumit, kesannya terlalu mahal, bikin ngeri kalau udah suruh bayar. Kenapa nggak, Minang Maimbau? Salero Bundo? Kan gampang dan merakyat, iya nggak?
"Oh... Gitu ya bacanya."
"Iya gitu bacanya. Terus mau sampai kapan kalian peluk-pelukan di depan pager? Pacaran mulu sampe nggak nyadar gue dah berdiri disini dari tadi, he?"
Eka dan Habibie menoleh. Milo mengangkat sapu lidinya dan menaruhnya di pundak. Pasang muka bete. Habibie yang semula separuh berdiri di boncengan, menumpukan dagunya di bahu Eka dan merangkul leher cowok kekar itu langsung duduk menjauh.
"Eeeh! Milo!"
"Hlah? Udah nyampe?" Eka baru ngeh. Dia mendongak, mendapati neonbox bulat diatasnya bertuliskan 'Betelgeuse', sama seperti yang barusan dibacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekskul [TAMAT]
HumorKalau diingat-ingat, motivasi Iko untuk jadi pengurus OSIS di SMA nya dulu ya karena ingin membangun imej independen dan reliable sejak dini. Ya siapa yang nggak mau dianggap sebagai pria tampan yang paling bisa diandalkan, iya kan? Apa? Agam? Bukan...