Si kecil sialan itu lama – lama makin menyebalkan saja. Kalau bukan karena iming – imingku yang akan memberikannya uang untuk membeli es krim mungkin kami masih berkejar – kejaran sekarang.
Aku sengaja memanfaatkan kursi kemudi untuk beristirahat. Lelah tentu saja. Pintu juga sengaja kubuka agar semilir angin dapat masuk. Kurendahkan sedikit joknya agar aku dapat lebih leluasa bersandar. Udara pegunungan yang sejuk membuat paru – paruku bekerja lebih nyaman dan tanpa sadar mataku mulai tertutup, terbuai dengan semilir angin yang membelai wajah.
Aku suka tempat ini.
"--!!"
Tubuhku mulai bergerak tak nyaman. Seseorang mulai mengganggu tidurku yang nyaman ini rupanya.
"Hei!" tubuhku bergerak – gerak kesamping seperti didorong sesuatu.
Aku berusaha menggeliat di tengah sempitnya ruang di dalam mobil. Kubuka sebelah mataku, melihat siapa yang sudah sangat berani menggangguku. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Selisih sepuluh senti mungkin.
Mataku melebar. Kesadaranku mulai pulih dengan cepat. Aku berusaha bangkit dari tempatku bersandar tapi sayangnya sesuatu menghalangiku. Aku meringis kesakitan. Bagaimana tidak, pria tak dikenal itu menyelundupkan kepalanya masuk ke dalam mobilku dan wajahnya sangat dekat—tolong garis bawahi kata dekat itu—dengan wajahku sehingga ketika aku hendak bangkit, dahiku justru terbentur dengan 'sangat' keras dengan dahinya.
"Aww aww!" kuusap – usap dahiku. Oh, tidak, tidak! Dahiku! Apakah dahiku masih normal?
"Maaf, maafkan aku. Kau tidak apa?" ia menatap dengan raut khawatirnya padaku dan ia juga mengusap dahinya, sama seperti yang sedang kulakukan.
Mataku mendelik kesal. Kucebikkan bibirku. "Tentu saja tidak. Kepalaku sakit." Kutunjuk dahiku yang tadi sempat terbentur itu.
Tangannya terulur membuat tubuhku spontan menjauh. Ia mengusap dahiku yang sakit dan memijitnya pelan. "Sudah mendingan?"
Aku mengangguk kaku. "Y-ya."
"Kakak kakak!" terdengar seperti suara Elsa.
Pria tidak jelas itu mulai memundurkan tubuhnya, memberiku sedikit ruang untuk bernafas. Ia tersenyum ketika melihat Elsa yang sedang merengek sambil menarik bajunya manja. Tunggu, sejak kapan mereka saling kenal dan akrab?
"Elsa! Kau kemana saja!" kusentil dahi adikku satu – satunya itu. Bisa kulihat ia meringis sekarang.
"Dunn do that, Flow! It hurts!" ia mengerucutkan bibirnya—sok imut—sambil mengusap – usap dahinya.
"Siapa suruh beli es krim lama sekali."
Suara tawa terdengar di telingaku. Ternyata si pria itu dan juga.. eh, adiknya mungkin?
Kudelikkan mataku kesal ke arahnya. Tak ada yang lucu, kenapa mereka malah tertawa?
Ia mengepalkan tangan di depan mulutnya sambil berkata, "Sorry." Dan meskipun begitu, aku masih dapat menyadari bahwa ia sedang menahan tawanya.
"Marvel! Flow memukul kepalaku! Cepat marahi dia! Dia nakal!"
Aku mendelik tak percaya. "Hey, nona muda! Sejak kapan kau jadi berani melawanku?"
Sangat menyebalkan bukan jika kau melihat adikmu bersikap genit dengan pria lain yang tak kau kenal dan oh! Bahkan umurnya sangat beda jauh dengan adikmu itu dan dengan tidak sopannya adikmu memanggilmu tanpa embel – embel sebutan 'kakak' atau semacamnya.
"Sejak kau mengambil gelang yang kutemukan, Flow!"
"Hoho, hey, cukup cukup sudah pertengkaran saudaranya, okay?" si pria itu—eh, maksudku, Marvel, ia mengusap kepala Elsa sambil mencoba menengahi pertengkaran yan kami buat.
Aku keluar dari mobil. Berdiri sambil membenahi pakaianku yang sudah mulai sedikit kusut. Kulipat tanganku di dada, berdiri dengan menumpu pada sebelah kakiku, lalu menatap pria itu dengan tajam. "Siapa sebenarnya dirimu, tuan?"
Ia mengulurkan tangannya padaku. Bermaksud memperkenalkan diri tapi aku tak kunjung menjabatnya. "Marvel, aku bertemu dengan adikmu tadi dan tidak sengaja menabraknya hingga membuat es krimnya jatuh. Jadi aku membelikannya es krim yang baru dan.. yeah, ia terlihat senang." Senyumnya tulus. Tangannya mengusap puncak kepala adikku, membuatnya berkedip – kedip dengan tatapan yang seolah mengatakan—wah! Aku baru saja bertemu pangeran tampan!—dan menurutku itu menjijikkan.
"Kalau begitu urusan kita sudah selesai. Senang mengenalmu tuan... Marvel." Aku menggendong Elsa dan menaruhnya di kursi penumpang belakang—tempat favoritnya—lalu berlari – lari kecil kembali ke tempat pengemudi.
"Hey, paling tidak beri tau aku siapa namamu."
Kubuka kaca mobilku separuh. "Flow. Namaku Flow."
"Yah, dan ini Darren." Ia mengangkat tangan adik laki – lakinya—yang menurutku manis itu—tinggi tinggi.
Aku mengangguk sekilas lalu kembali menutup kaca mobilku. Mesin sudah mulai meraung dan mobilku-pun melaju menjauhi taman itu. Bisa kulihat dari spion mobilku, bayangan Marvel mulai mengecil dan akhirnya menghilang bersamaan dengan rengekan Elsa karena aku telah menjauhkannya dari pangeran tampannya.
***
Kugendong tubuh mungil gadis menyebalkan itu dan mengeluarkannya dari dalam mobil. Sedikit berlari – lari kecil saat aku menyadari hujan sudah mulai turun. Kubuka pintu villa yang kutempati dengan sebelah tangan yang bebas lalu menutupnya dengan menendangkan kakiku hingga menghasilkan suara berisik yang memantul di penjuru ruangan ini.
Seseorang berjalan mendekatiku. Mungkin ia mengira aku ini maling yang tidak profesional. "Flow?"
"Yes, mom?"
Itu ibuku. Ia mendesah lega begitu mengetahui aku yang menyahut panggilannya. "Kau sudah pulang? Tumben sekali Elsa tertidur." Wanita hebat itu mengammbil Elsa dari dekapanku, mulai menggendongnya sendiri sambil mengusap kepala gadis kecil itu.
"Ia mengoceh sepanjang perjalanan. Sepertinya kupingku mulai panas."
"Flow...!!"
Aku berlari menaiki tangga. Bergegas menuju kamar sebelum wanita itu mulai mengomeliku.
Kurebahkan tubuhku di kasur. Lelah karena seharian bermain dengan Elsa. Tak kusangka aku memiliki adik yang sangat hyperactive sepertinya. Membuatku terpaksa harus menuruti setiap keinginannya seolah tak ada pilihan jika aku menolaknya maka aku akan mati. Tapi setidaknya ia menyenagkan. Selalu bisa kuandalkan untuk menjadi moodboosterku. Ia ceria. Sangat berkebalikan denganku.
Tidak sadar aku tertawa pelan ketika mengingat betapa manjanya Elsa pada Marvel. Bahkan mereka saja baru saling kenal beberapa jam yang lalu. Tunggu, kenapa aku jadi kepikiran dengan Marvel?
Kuakui ia tampan. Tubuhnya tinggi tegap. Tidak terlalu kurus tapi juga tidak terlalu berisi. Ideal. Darren—adiknya—juga memiliki senyum yang manis. Rambutnya ditata dengan rapi. Mereka berdua mengenakan kaus polo berwarna hitam senada dengan celana tiga perempat yang mereka kenakan. How cute! Mereka berdua bahkan terlihat seperti saudara kembar. Potongan rambut yang sama, kaus yang sama, celana yang sama, warna yang sama, senyum yang sama, dan juga tatapan mata yang sama – sama berbinar ketika melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Marvel ramah dan juga sopan. Tidak seperti laki – laki kebanyakan yang kukenal. Pribadinya yang unik membuatku tertarik. Tertarik untuk mengenalnya lebih jauh mungkin?
Kuusap wajahku kasar dan mulai tertawa sendiri. Seperti orang gila saja.
Kenapa aku jadi memikirkannya? Bukankah ia menyebalkan?
Tsk.
Pict. : Flow
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Flow
Teen FictionTerkadang aku merasa waktu berjalan begitu cepat. Memoriku berputar kembali ke masa lalu. Aku berharap waktu berhenti saat itu juga. Saat dimana hanya ada aku dan kehidupanku. Hanya aku dengan kenangan manisku. Kenangan manis tanpa ada rasa pahit y...