Prolog - Wanita 701 Kilometer

215 13 10
                                    

"Esok hari, akan aku rangkai rindu-rindu ini, 

kubalut dalam hangat senyumku, kutali pada manis tutur kataku, 

sehingga ketika kutemukan kau esok di hadapan mataku, kau akan tahu, 

betapa aku mencintaimu"


Aku tak mengerti pikat apa yang dipunyai ciptaan manusia satu ini, hingga aku sulit sekali beranjak darinya, tapi aku rasa kalian merasakannya juga. Bohong besar jika kalian tidak begitu menyayangi kasur kamar kalian sendiri. Tak usah berkelit begitu, aku percaya sebagian besar dari kalian pasti membaca ini dari atas kasur.

Ah, malah kasur yang aku bicarakan! Beruntunglah penyakit malasku sudah mulai aku kikis sedikit demi sedikit. Biasanya aku akan berlama-lama berguling-guling di kasur dan tidak melakukan kegiatan apapun. Tapi sekarang berbeda, aku jauh lebih rajin! Beberapa bajuku saja sudah aku masukkan tas sedari tadi malam. Jadi persiapanku ke Bali hari ini sudah hampir beres, tinggal beberapa potong baju saja yang belum aku masukkan.

Jika kalian bertanya untuk apa aku ke Bali, bersabarlah, kalian akan tahu nanti. Akan aku beri sedikit petunjuk supaya kalian bisa mengira-ngira. Aku masukkan satu stel jas super istimewaku, satu-satunya pemberian bapakku tersayang dalam tasku. Tidak lupa juga sepatu pantofel super mengkilat yang dulu paling aku malas pakai ketika masih kuliah. Selebihnya sih, barang-barang yang aku juga bingung menjelaskannya seperti apa. Apakah kalian bisa menebak akan ada apa di Bali nanti dengan jas super rapi dan sepatu mengkilat yang tiada duanya itu?

Pesawatku berangkat jam 10.00 pagi hari ini. Aku heran kenapa si Angger sialan itu memesankan tiket begitu pagi, padahal aku saja yang punya keperluan meminta lebih siang. Tapi tak biasanya juga dia seperti ini. Jika aku menginap di rumahnya biasanya aku juga yang bangun paling pagi. Aku minta tolong dia membukakan gembok pagar rumahnya saja dia pasti juga ogah-ogahan. Mata masih pedas atau tak bangun sama sekali adalah jurus pamungkasnya yang membuat aku kesulitan untuk segera pulang.

Tak berapa lama aku sudah selesai mandi dan tinggal merapikan kamarku saja. Namun, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang begitu keras dilengkapi teriakan khas pria setengah bule yang sudah lama berteman akrab denganku.

"Yooss!! Oooii!! Segera- segera!!"

"Sabar Pri!"

"Sobar-sabar! Ayam goreng Pak Sabar po? Tak tabrak lho iki omahmu!

"Yoooo!! Sana nek wani tabrak wae!!"

Sambil terus menderu-derukan gas mobilnya, Aprie terus saja mengomel. Ancaman rumahku akan ditabrak oleh mobilnya memang menjadi pertunjukkan sehari-hari jika Aprie yang datang menjemputku. Ini juga didukung oleh posisi kamarku yang berada di dekat halaman depan, sehingga pertunjukkan macam ini sangat mudah dilakukan.

Manusia setengah bule itu memang gila. Pintar sih orangnya, cuma mulutnya itu tampaknya tiga kali tidak naik kelas saat TK. Tapi karena itu juga yang membuat aku suka ketika keluar bermain dengannya. Aku akan diajak olehnya untuk berbicara sesuka hati, berteriak sesuka hati, mengomel juga sesuka hati. Urat maluku pasti selalu ia buat putus kala keluar bersamanya.

Dalam perjalanan, dia masih saja banyak bicara. Mulutnya yang dihiasi kumis tipis itu terkadang monyongnya keterlaluan. Hanya duduk bersebelahan saja ia bisa berbicara seperti aku dan dia terpisahkan sebidang besar lapangan sepak bola, gila dia! Dalam perjalanan ia juga terus mengingatkan apakah semua barang sudah aku bawa belum.

"Cincin! Cincin wes rung?"

"Uweslah nek kui Pri."

"Sepatu, klambi ganti, jas, odol, sikat, sabun?"

"Uwes nek sepatu, klambi, karo sikat. Sabun kan koyo biasane njaluk koe, shampoo aku yo njaluk yo? Wkakakakaak?"

"Ngene ki lho ra modal, pye arep modali bojomu sesuk jal?"

"Wes rasah brisik!"

"Utek? Utek wes urung? Kecer gek-gek pas adus?"

"Tulung Pri dewasa, Utekmu kui lho sing ra isi ket mbiyen, mbok diisi to!"

"Whahaahahaa.."

Percakapan aneh bin tidak mutu ini memang kebiasaan kami sehari-hari. Pinjam meminjam perlengkapan mandi juga sudah biasa diantara kami. Pasta gigi, sabun, dan shampoo biasanya aku selalu pinjam padanya. Tidak jarang obrolan kami juga diselingin oleh hal-hal yang aneh-aneh. Salah satunya adalah otak kita yang jangan-jangan bisa juga terbawa hanyut ketika mandi, ada-ada saja. Kami biasanya tertawa terbahak-bahak saat obrolan kami rasa mulai kelewat tidak waras. Kami tertawa sekencang-kencangnya, hingga tiba-tiba Aprie bertanya kepadaku.

"Oh iyoo!! Ati! Atimu wes mbok gowo rung?"

"Uweslah! Edan po?"

"Njarene wes digowo wonge'e?"

"Woohh iyo ding! Lali.. Whahahahahaa"

Aku hampir lupa bahwa hatiku akhirnya telah kuberikan pada wanita itu. Telah menjadi seperti apa dia saat ini? Sebenarya kami belum lama terpisah jarak. Baru 3 bulan saja dia pergi ke Bali karena diminta membantu ayahnya. Dia sebenarnya wanita sialan, karena membuat aku harus menempuh jarak 701 km hanya untuk menemuinya. Wanita sialan, yang membuat aku benar-benar mencintainya.

KEDELAPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang