Part 27

2.7K 202 14
                                        

"Kau, mau apa kau kemari?" Tanya Syafa dengan raut wajah datar seperti biasanya. Wanita itu selalu bisa menyembunyikan rasa terkejutnya hingga Revan benar-benar kesal karena wanita itu jadi sulit untuk ditebak.

"Aku menginap di sebelahmu. Jadi, tidak ada salahnya menyapa tetangga kamar."

"Sebenarnya apa maksudmu?" Tanya Syafa mulai kesal. Revan hanya tersenyum tipis menatapnya.

"Beberapa hari ini aku bekerja seperti mesin. Ke New York untuk urusan bisnis berhari-hari, kemudian bekerja lagi tanpa kenal lelah. Sekarang aku ingin liburan. Itu saja."

"Kenapa kau bercerita panjang lebar, aku tidak ingin mendengarnya. Dan lagi, segera pergi dari sini. Jangan pernah menggangguku."

"Syafa, kau lupa ini tempat umum. Siapapun boleh menginap disini asal membayar."

"Begitu. Baiklah. Jadi, mulai sekarang berlagaklah kita tidak saling mengenal di tempat umum ini."

Syafa hendak menutup pintu, Revan dengan sigap menahannya menggunakan kaki. Syafa yang menyadari itu menatap tajam pada Revan yang kembali berulah.

"Aku tidak bisa. Aku terlanjur mengatakan pada pemilik losmen kalau aku suamimu."

"Apa!! Kau sudah gila Revan!!"

"Mau bagaimana lagi. Dari pada aku di lirik ketika bicara denganmu, lebih baik mengaku saja seperti itu."

"Terserah padamu. Sekarang aku ingin istirahat. Pergi dari sini."

"Aku di sampingmu, kamarku disebelah kamarmu, oke."

"Aku tidak peduli." Syafa membanting pintu dengan keras, membuat Revan memejamkan matanya karena kaget. Ia membuka matanya lalu tersenyum hangat. Revan memutuskan sedikit cuti dari pekerjaan dan mengejar Syafa-nya.

Revan tidak bisa begini terus menerus. Ia mencintai Syafa dan sepertinya perjuangannya tidak akan mudah. Apalagi jika menyangkut dokter Salman, Revan butuh perjuangan ekstra untuk mendapatkan maaf dari pria itu.

Dan karena Syafa masih marah, Revan memutuskan kembali ke kamar losmen yang ia sewa tepat di samping Syafa. Losmen ini tidak begitu buruk. Ada AC dan kamar mandi, meskipun ala kadarnya. Tidak masalah. Yang penting ia bisa berada di samping Syafa dan menjauhkan si bajingan Alex dari wanitanya.

**

Syafa kesal setengah mati saat menyadari Revan kini ada di losmen yang sama dengannya. Mau apa pria itu kemari? Jangan bilang hanya ingin membual tentang perasaan cintanya pada Syafa. Itu cuma bullshit dan Syafa tidak akan percaya.

Dulu, ketika Syafa masih remaja,ia berjuang mati-matian mendapatkan cinta Revan dengan cara apapun, malah berakhir gagal. Apalagi sekarang ada Davina, seorang pengusaha kosmetik dan selebgram terkemuka. Syafa minder sendiri mendengarnya.

Apalagi, masa lalu buruk menjadi bayang-bayang hubungan mereka. Papanya tidak mungkin mau menerima Revan sekalipun laki-laki itu serius padanya. Dan, Syafa tidak akan membantah papanya. Ia tidak mau masa lalu buruk itu terulang lagi.

Syafa berjalan, mencari obat yang biasanya ia bawa kemana-mana. Dari kemarin, ia sudah mengobrak-abrik semua barang bawaannya. Namun, obat itu belum ketemu. Jangan-jangan Syafa lupa membawanya. Gawat jika seperti itu. Jika memang tertinggal, Syafa berdoa semoga ia baik-baik saja dan tidak kambuh selama berada di tempat ini.

Karena capek mencari obat, Syafa akhirnya memutuskan menyerah. Ia memutuskan keluar dari losmen dan mencari tempat makan terdekat. Perutnya lapar karena kelelahan mencari obat. Untung saja di dekat losmen ada warung prasmanan murah, makanan khas Jawa yang menggugah selera.

Restoran dengan konsep terbuka itu sebenarnya lebih menonjolkan pemandangan tempatnya. Namun, sepertinya mereka berhasil merekrut koki yang tepat. Rasa masakannya enak dan harganya lumayan terjangkau. Pantas saja tempat ini selalu ramai pengunjung, baik penduduk lokal maupun para turis.

Syafa mengambil nasi dan ayam goreng. Ada juga sambal dan mentimun, tak ketinggalan es jeruk untuk melepaskan dahaga. Syafa duduk di kursi kemudian mulai menyantap makanannya.

"Dokter Syafa." Syafa menoleh, rupanya pemilik losmen yang menyapanya.

"Bu Ratih."

"Saya sedang cari makan. Dokter sendirian, suaminya masih di kamar?"

Syafa mengumpat dalam hati. Beraninya bajingan sialan itu mengaku-ngaku suaminya. Kini mau tidak mau Syafa tersenyum, supaya Bu Ratih tidak curiga dan bertanya lebih lanjut.

"Dokter, kok suaminya pesan kamar sendiri? Apa nggak enakan kalau satu kamar aja. Masak tidur sendiri-sendiri."

"Oh itu. Suami saya suka tempat yang luas Bu Ratih. Satunya untuk menaruh barang-barang."

"Ooooh, gitu. Pantesan pesan kamarnya sampai dua. Ya sudah dokter, saya beli makanan dulu."

Syafa mengangguk, ia menatap Bu Ratih yang berjalan menuju tempat makanan. Dalam hati ia mendesah, bisa-bisanya Revan mengaku sebagai suaminya. Jika di dengar oleh rekan dokter yang lain, tamatlah riwayatnya.

Tidak mau memikirkan hal-hal yang tidak penting, Syafa akhirnya menikmati makanannya. Ia makan dengan lahab karena masakannya memang enak. Hingga tidak sadar, seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Mata Syafa melotot saat menyadari Revan kini sudah ada di sebelahnya dengan satu piring nasi ayam bakar dan segelas es teh.

"Di sini nyaman. Pemandangannya bagus." Ucap pria itu sambil mulai menyantap makanannya. Syafa terdiam, ingin marah tapi malu di lihat banyak orang.

Dan karena tidak mau terjadi perdebatan, Syafa meneruskan acara makannya. Keduanya makan bersama meskipun tidak ada yang membuka suara. Hingga beberapa menit kemudian, Revan bosan dengan keheningan yang terjadi diantara mereka.

"Fa, aku mau tanya sesuatu."

Syafa mendongak sekilas dengan raut wajah dinginnya. Tidak menjawab pertanyaan Revan. Selain karena malas berurusan dengan pria itu, Syafa juga merasa tidak berkepentingan apapun dengan Revan.

"Kamu benar-benar sedang pendekatan dengan Alex?"

Mendengar pertanyaan Revan, Syafa hanya terdiam sebentar, kemudian kembali meneruskan acara makan-makannya. Sungguh pertanyaan yang tidak penting dan Syafa merasa tidak perlu menjawabnya.

"Oke kalau nggak mau jawab."

Revan tidak meneruskan pertanyaannya karena merasa diabaikan. Syafa benar-benar banyak berubah. Wanita itu kini tidak berbicara jika tidak benar-benar penting. Revan hanya menghembuskan napas berat, kemudian menerus makannya.

Setelah sama-sama selesai, mereka membayar makanan kemudian kembali ke kamar masing-masing tanpa ada kata-kata apapun. Syafa sendiri memilih menghindar, setiap mengingat bagaimana Revan berfoto bersama Davina, entah kenapa ia kesal bukan main.

Syafa hendak tidur meskipun baru jam 7 malam. Suasana hujan di luar sana membuatnya urung untuk berjalan-jalan di halaman losmen. Ia juga sudah lelah belajar untuk persiapan meneruskan pendidikan spesialisnya.

Hujan terdengar semakin deras. Suara petir menggelegar memekakkan telinga. Syafa menutup telinganya dengan headset agar suara petirnya tidak terdengar terlalu keras. Tapi, tenyata masih terdengar juga karena ia tidak berani menyalakan ponsel.

Saat Syafa mulai memejamkan matanya, tiba-tiba lampu kamar mati. Syafa yang kaget segera terduduk. Ia panik dan langsung menyalakan senter ponselnya. Ketakutan-ketakutan mulai menghampirinya. Dirinya sendirian dengan lampu mati, bayangan-bayangan mengerikan mulai menghantui otaknya.

Karena ketakutan, tanpa berpikir panjang Syafa berlari keluar dari kamar. Ia menggedor-gedor pintu kamar Revan karena hanya itu cara satu-satunya yang terpikir di otaknya. Syafa terus menggedor pintu itu hingga Revan membukanya. Dan tanpa memikirkan apapun lagi, Syafa masuk ke dalam kamar pria itu dan langsung mengunci pintunya rapat-rapat.

A Frozen Flower (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang