04

172 14 0
                                    

Sudah seminggu lamanya sejak pertemuan dirinya dengan pemilik mata serigala, awal hari pun tiba, Hanenda segera turun dari mobilnya yang terparkir apik ditempat khusus untuk guru-guru. Melangkahkan kakinya kedalam sekolah, ditengah lapangan sekolah tiba-tiba dirinya merasakan ada seseorang yang memerhatikan dirinya, diliriknya sebentar kanan dan kiri tapi bukan perasaan ini yang dirasakannya. Hanenda pun berjalan lagi, namun hanya 2 langkah dia pun segera melirik keatas jendela kelas 12. Dirinya pun bersitatap dengan Joel. "Ternyata itu kamu Joel, seharusnya aku tau itu kamu" sambil menarik nafas Hanenda menatap dengan tatapan memuja yang tidak dia sadarinya. Tapi mengapa Joel seperti itu, "Ada apa gerangan Joel. Kamu kenapa. Apa yang sudah kamu lewati, sampai-sampai tatapanmu tersirat kesedihan bahkan semakin sedih dari terakhir kita bertemu". "Siapa yang membuatmu sedih Joel". "Ingatkan diriku untuk mengetahui secara detail". Dan Hanenda berhenti melangkahkan kakinya. "Kenapa saya harus tau secara detail tentang anak itu". Sekiranya Hanenda tidak paham akan aturan-aturan, mungkin saat ini Hanenda akan berlari menerjang Joel dan memeluk serta mengecup mata yang indah itu yang kehilangan binar sinarnya dipagi hari ini. Hanenda akan rela menghapus semua duka dimata itu. Tapi Hanenda sadar, perasaan yang dirasakannya ini tidak boleh berbuah. Sambil memegang dada kirinya Hanenda akhirnya melangkah.

Hari berganti minggu, dan menuju keakhir bulan April ditahun ini. Sudah lewati dari hari kelahirannya tapi Hanenda dikejutkan dengan kedatangan perempuan yang Ibunda pilihkan untuknya. Kejutan yang sekiranya membuat Hanenda risih. Perempuan bernama Ajeng itu dengan perawakan ayu gemulai dan bisa dipastikan berasal dari klan yang sama dengan dirinya, membawa beberapa keik dan tumpeng serta minuman hanya untuk merayakan hari jadi Hanenda yang bisa dikatakan sudah sangat berlalu lamanya. Ajeng hanya bisa mengucapkan maaf karena terlambat untuk berbagi kebahagiaan dengan Hanenda dikarenakan dirinya baru menghadiri acara ditimur tengah menjadikan dirinya sangat sibuk dibulan kelahiran calon suaminya itu. Ajeng tidak henti-hentinya tersenyum dengan sumringah dikala para guru dan karyawan sekolah menanyakan berbagai pertanyaan. Dilain pihak Hanenda hanya bisa tersenyum paksa tanpa bisa melawan dan menolak. Entah mengapa Hanenda merasakan sendiri dan sepi ditengah kemeriahan acara yang diberikan oleh calon istrinya itu. Padahal sebelum-sebelumnya dia bahkan menyukai perayaan-perayaan mengenai dirinya. Tapi kali ini dia merasa tidak lengkap, tidak berbahagia, merasa kurang. Waktupun sudah hampir sore, Hanenda dan Ajeng pun sudah berada diparkiran sekolah bergegas untuk pulang. Diujung jauh dilorong kelas terlihat siluet yang sangat familiar oleh Hanenda. Seketika perasaannya membuncah berbunga-bunga hanya dengan melihat siluet yang melangkah dengan pelan kearah gerbang sekolah. Ajeng yang memperhatikan calon suaminya itu pun mendelik heran dan bertanya "Mas Hanenda, kenapa Mas?, hmm kalau begitu aku pulang duluan yah mas, aku masih harus kekantor". Ajeng hanya bisa menarik nafas melihat kelakuan calon suaminya yang memang kadang sulit dimengerti olehnya. Dan Hanenda hanya diam membisu sambil tetap melihat kemana siluet itu melangkahkan kakinya. Hanenda tidak mau kehilangan sedetik pun siluet itu. Katakan Hanenda gila, katakan Hanenda egois. Dirinya yang menjaga jarak, dan dirinya pula lah yang merindu. "Joel, Hanenda ini rindu, dan Maaf sudah lancang merindumu".






Hanenda sudah gila, itu yang dia ucapkan kepada dirinya sendiri. Didalam mobil Hanenda terus mengikuti kemana Joel melangkah, mengikuti dalam diam. Hanenda pun menepikan mobilnya dan langsung bergegas memasuki mini market yang Joel masuki tadi. Dering telepon bersahutan, Hanenda hanya bisa bernafas panjang "Assalamu alaikum, Iya Ajeng, saya lagi dimini market, umm belum, iya sebentar,  nanti saya telepon kamu lagi. Hmm iya lusa kita bicarakan. Saya tutup teleponnya dulu". Mata bertemu mata, membuat hati berjengit kaget, Hanenda bernafas panjang lagi dan lagi. Cepat-cepat Hanenda mengikuti kearah Joel. Dia hanya mendengerkan pembicaraan antara Joel dan kasir, dan tiba-tiba Hanenda mengulurkan kartu kreditnya "Tolong tagihan murid saya dimasukkan ke bill saya saja mba", Hanenda pun memberikan kartunya ke kasir, "Maaf dan terima kasih tapi aku g mau berhutang sm Bapak, tolong mba jangan pedulikan orang tua ini, cukup keluarkan shamponya saja." "Tapi Joel" kata Hanenda. "Pak Hanenda terhormat, meskipun aku ini miskin, tapi aku g suka berhutang, dengan Bapak bayarin itu artinya aku berhutang. Jadi tolong Pak, jangan buat aku risih. Aku juga punya harga diri Pak". Sekilas Hanenda menutup matanya dan mengepalkan tangan, bukan seperti itu maksud Hanenda, Hanenda tidak ingin menjatuhkan Joel. Hanenda hanya ingin membantu, sungguh ikhlas membantu tanpa pamrih, toh selama ini dirinya juga sering berlaku seperti ini bahkan ke sahabat-sahabatnya, tapi sepertinya Joel tidak menerima itikad baik Hanenda dan menganggapnya sebagai hinaan saja. Joel pun melangkah menjauh menuju pintu minimarket, belum sempat Joel membuka pintu Hanenda bersuara "Joel menerima pertolongan orang tidak akan membuatmu jatuh dan rugi, menolong dan ditolong itu lebih ke rasa manusiawi, jadi jangan menganggap kamu itu rendah hanya karena ada orang lain yang ingin menolongmu, begitupun kamu akan menolong org lain". Sungguh Hanenda menyesal kenapa dirinya sudah lancang ingin membantu Joel. Hanenda merasa semakin berbuat sesuatu ke Joel hubungannya dengan Joel semakin tidak berbentuk. Namun memangnya ada hubungan apa antara mereka berdua, toh sejak awal mereka hanya dipertemukan hanya untuk sebagai Guru dan murid saja. Hanenda merasa lelah dengan gejolak batinnya. Kadang dirinya ingin mendekat tapi disaat bersamaan ada tangan yang menjauhkannya dari Joel. Hanenda hanya bisa pasrah melihat Joel melangkah menjauh pergi.









Dimalam yang panjang dan tanpa bintang, Hanenda yang sudah menunaikan ibadah malam terduduk dibalkon teras kamarnya. Hanya memandang langit kelam tanpa bintang, tanpa bulan. Menulikan telinganya dengan banyaknya deringan-deringan telepon memasuki rungunya. Tidak dipedulikannya suara-suara itu. Hanenda hanya ingin merenung, bertanya-tanya dengan Sang Pencipta malam. Kenapa dirinya harus memiliki perasaan ini, kenapa Tuhan memberinya ujian yang dipikirnya dia bakalan tidak sanggup untuk menjalaninya, bahkan tidak pernah selintas pun dia berpikir untuk mencintai sesamanya. Segala macam rapalan doa dan ampunan Hanenda ucapkan, haturkan kepadaNya agar dimaafkan karena lancang memberi sayang kepada ciptaanNya yang berwujud sama dengan fisiknya. Hanenda harus bagaimana lagi Ya Tuhan, semakin Hanenda mengusir jauh-jauh rasa itu, semakin membuncah, merekah dan berbuah rasa yang dimilikinya untuk yang terkasih. Salah, iya, Hanenda mengaku salah menempatkan rasa sayang dan cinta nya ini. Hanenda rindu Joel, sungguh Hanenda ingin memeluk dan merengkuh tubuh yang Hanenda tau punya banyak cerita kelam disimpannya. Hanenda ingin berbagi kebahagiaan ini dengan dia sang terkasih. Hanenda ingin melantunkan ayat-ayat cintanya kepada sang terkasih. Hanenda ingin merajut tali cinta kasih hanya dengan Joel Sagala, bukan yang lain. Pertama kali dalam hidupnya yang 27 tahun ini, merasakan kobaran-kobaran api cinta yang menggelora. Tidak sama dengan kisah-kisah sebelumnya. Memang ada cinta, tapi kobarannya kali ini mampu meluluh lantakkan seluruh entitas kehadirannya, api asmara kali ini akan membumi hanguskan keberadaannya tanpa tersisa. Joel Sagala, sungguh dahsyat arti mu dihidup Hanenda, hanya bertemu sekali tiga kali tapi mampu menundukkan logika dan aturan-aturan yang dipegang teguh oleh Hanenda. Joel Sagala, kali ini Hanenda mengaku kalah. Hanenda mengaku mencinta sedalam-dalamnya. Hanenda merindu serindu-rindunya. Biarkan malam ini Hanenda memeluk bayangan semu seorang Joel Sagala, karena didunia nyata, Hanenda hanya seorang pecundang dan pendosa. Yang tidak akan berani melangkah diatas api-api cintanya.

Syama Artjuni [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang