Balada Surat Hitam, Bagian 1

6 2 11
                                    

Seandainya hari itu aku tidak mampir sejenak untuk seplastik pentol bumbu kacang, mungkin aku tidak akan—

***

"Senada cinta bersemi di antara kita." Mau versi Rossa atau Fariz RM, aku suka dua-duanya.

Kebetulan, sebagai anggota band fakultas, kali ini aku ditunjuk sebagai vokalis utama untuk acara penyambutan mahasiswa-mahasiswa baru fakultas. Tema tahun ini, kami sepakat mengangkat tema nostalgia, merayakan hengkangnya mereka dari dua belas tahun penuh memori suka-cita.

"Yang akan digantikan dengan duka dan duka." Teman-teman bandku bisa melihatku separuh menatap langit-langit studio dengan seringai tipis tak berarti. Ngomong-ngomong, aku kebagian membawakan lagu Sakura dari Rossa dan Ku Bahagia dari Melly Goeslaw. Penyanyi Indonesia klasik kesukaanku dari masih ingusan. Aku yakin, itu lagu yang mewarnai mereka di masa sekolah dasar.

Karena acaranya masih tiga bulan mendatang, sah saja bila ketua membubarkan latihan ke-hitungan jari ini sebelum matahari terbenam makin dalam. Langit makin mendung juga. Keluh-keluhan mahasiswa kos yang lupa belum mengangkat jemuran mereka juga semakin memantapkan tekad ketua untuk bubarkan saja latihan hari ini. Untungnya, hari ini aku punya firasat bakal hujan, jadi aku sudah menitipkan jatah cucian hari ini ke penatu langganan. Santai saja aku perjalanan pulang. Kalau hujan, tinggal terabas saja.

Jarak dari kampus ke kontrakan tempatku tinggal lumayan jauh kalau dipikir-pikir lagi. Tidak ngebut saja sekitar setengah jam. Kalau sial terjebak macet, seperti saat ini, bisa satu jam lebih. Makin sial lagi, akhirnya langit mulai gerimis. Kalau macet, tidak bisa terabas, sama saja dengan mandi shower secara di tengah umum. Aku memilih minggir, menumpang di bawah payung warna-warni abang jual pentol sambil membeli jajanannya dan menanti hujan reda.

"Pentol kecil, tahu, bumbu kacang, sama kecap aja. Tiga ribu, nanti kalau kurang tambah lagi."

Di atas jok motor matic yang distandar tengah, aku menikmati sebungkus pentol berbumbu kacang langsung dari plastiknya sambil menikmati deru hujan mengguyur kota Surabaya. Nikmati dan syukuri selagi kota pahlawan ini hujan dan semriwing, sebab biasanya panas menyentrong menghanguskan kulit, sampai tidak heran bagaimana bisa siku sampai ujung jari kedua lenganku belang.

Tempatku numpang bersinggah dekat dengan sebuah hotel mewah... atau apartemen... yang satu bangunan dengan pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya. Di seberangnya, ada sebuah restoran makanan cepat saji. Kenapa aku tidak ke sana saja? Hey, ini akhir bulan dan kurasa tiga ribu rupiah sudah lebih dari cukup untuk menunda laparku sampai ke rumah. Bisa dikatakan, aku sedang berada di tempat ojek-ojek online mangkal selagi menunggu pesanan dari orang-orang borjuis itu datang. Selain abang pentol, di sini juga ada warung kopi pop-up yang penuh dengan orang-orang berteduh ditemani cengkerama dan kopi, atau teh, dan gorengan mungkin.

Awalnya mataku terpaku kepada seberapa banyak mobil mewah yang lewat dan membandingkannya dengan mobil-mobil klise macam inova atau civic. Sampai kemudian, seakan ada sesuatu yang menarik perhatianku secara spesifik. Aku sampai memincing di antara ganasnya bulir-bulir hujan yang menghujam tanah dengan ganasnya. Dari restoran cepat saji di seberang jalan, ada sepasang insan beriringan romantis di bawah teduh payung hitam. Mereka menyeberang jalan dengan si wanita memeluk dekat lengan si lelaki yang berkemeja rapi.

Kemeja rapi dan... familier.

"Masa sih..? Bohong, ah!" Aku menggerutu sendiri.

Dari kemeja, celana, sampai kunciran rambutnya benar-benar mirip dengan sosok yang hari ini berperan sebagai pendidik di depan kelas. Dua kelas, malah. Niscaya tidak ada satupun dosen yang memelihara rambut panjang selain beliau.

Kakofoni Jiwa - Antologi Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang