Belasan tahun lalu, rumah besar yang berdiri di tengah dusun itu paling ramai. Seorang priayi kaya beranak sepuluh semuanya tinggal dalam satu atap yang utuh. Terbayang sibuknya pagi belasan tahun lalu itu, penuh anak-anaknya hendak berangkat sekolah. Yang paling dekat, diantar supir pakai motor, yang jauh diantar pakai mobil. Kemudian di siang sampai sore, satu per-satu kembali, ada yang lewat pintu depan, adapun lewat pintu belakang.
Tiap ada yang berulang tahun selalu dirayakan; terkadang di rumah, di sekolah mereka, atau di restoran cepat saji. Seluruh anak-anak sampai remaja dusun selalu diundang tanpa terkecuali. Mereka bersenang-senang sepanjang hari, kemudian pulang membawa berkat berisikan sekotak nasi penuh lauk dan seplastik jajanan beraneka macam.
Tahun demi tahun terlewati. Satu demi satu mulai masuk ke jenjang perkuliahan, menikah, hengkang dari rumah menuju kehidupan baru mereka. Sang priayi meninggal sebelum anak bungsunya menikah, kemudian di susul istrinya. Rumah yang semula ramai, meriah, kini tersisa hanya bangunan sepi penghuni.
Dari rumah ramai oleh anak-anak, cucu-cucu, supir-pembantu, tersisa satu yang ditinggali amanah menjaga rumah sedemikian besar, Sinai si cucu pertama. Sinai masih muda, usianya baru seperempat abad dan baru lulus dari bangku perkuliahannya. Dibanding saudara, sepupu, atau mungkin paman-bibinya, Sinai dipilih sebab dia paling mandiri dan pemberani di antara lainnya. Terlebih, pekerjaan Sinai sebagai desainer grafis tergolong remote, sehingga lebih sering tidak kemana-mana.
Waktu kecil, waktu pertama kali Sinai tersadar sebagai anak-anak, dia meninggali rumah ini. Sinai masih ingat bagaimana ia begitu dirayakan waktu kecil sebagai cucu pertama dari kakek priayi-nya yang bertahun-tahun dinanti. Sinai ingat bagaimana tiap-tiap hari yang dilaluinya semasa kecil begitu ramai dan berwarna oleh bermacam antik antara dirinya dan anggota-anggota keluarganya. Satu hari, Sinai ikut bapaknya, memandikan koleksi burung. Hari lain, Sinai ikut bibinya, pergi jalan-jalan ke pusat perbelanjaan dan membeli apa saja yang dia mau. Hari lain lagi, Sinai ikut pamannya, di bawa berkelana sampai ke pesisir pantai dan memancing sambil menikmati senja.
Dua puluh tahun lalu, Sinai duduk di kursi yang sama, menikmati semangkuk es krim napolitan dari suapan ibunya. Di sekitarnya riuh ramai percakapan yang wujud kecilnya tidak—belum mengerti. Tetapi Sinai bisa melihat mimik wajah mereka yang cerah berhiaskan senyum. Imaji pamannya sedang berbicara dengan saudaranya di bawah terang lampu ruang makan. Lampu itu bahkan kini sudah tak seterang dahulu, sudah sedikit redup serta memudarkan kilasan kontemplasi memori Sinai yang sejenak mengabaikan sepiring nasi ayam karinya.
Sinai membenci perubahan, sekalipun tak terelakkan. Dia berusaha menerima kenyataan bahwa waktu tidak akan membawanya kembali ke masa-masa bahagianya yang lampau. Dengan sehembus nafas kekalahan, Sinai segera merampungkan makan malamnya biar dia bisa segera kembali ke kamar.
Satu-satunya perubahan yang dapat dicegah Sinai adalah benda-benda tua di rumah yang dikenalnya sejak pertama kali dia hidup, saksi-saksi bisu dari kenangan-kenangan masa bahagianya. Kakeknya senang mengoleksi benda-benda antik, neneknya senang membeli peralatan-peralatan dapur hingga menumpuk dalam beberapa lemari. Barang-barang antik si priayi beberapa disimpan tersembunyi, namun beberapa dipajang pada rak-rak di sisi ruang tamu. Beberapa furnitur tidak terganti. Pajangan-pajangan dinding. Sinai akan merasa terganggu bila ada upaya memindah-mindah mereka, terutama ke suatu tempat yang tak lagi bisa Sinai akses.
Usai habis makan malamnya, Sinai membereskan seluruh cucian piring yang tersisa di wastafel untuk hari itu. Kemudian berkeliling rumah dua bagian, memastikan semua jendela tertutup, semua pintu terkunci, lampu-lampu diredupkan, dan kembali ke kamar membopong pekerjaannya dari meja makan.
Kamar yang ditempati Sinai semula merupakan kamar paling kosong, tidak ada satupun anggota keluarganya yang tinggal lama di kamar tersebut. Sementara Sinai, dia justru menikmati saja tinggal di kamarnya, meskipun terletak di sisi paling terasing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakofoni Jiwa - Antologi Cerita Pendek
Short StoryGelisah, penasaran, keberanian, menyeruak dalam satu wadah simfoni tak bermakna; sejalan dengan selang-seling antara perjalanan kebimbangan seorang Arlis dan cerita-cerita picisan buah eksperimental jeritan resah.