BAB 9 THE WHITE CRATER

10 2 0
                                    

Dengan segenap tenagaku yang masih tersisa. Aku mengarahkan ranting pohon itu ke kaki Kaloang, tapi dengan mudahnya ranting pohon itu patah. Ternyata kulit kakinya sangat keras. Aku terus berpikir, aku harus melukai kaki hewan itu dengan cara apapun.

Tapi dengan kondisi bergelantungan di udara, tidak banyak yang bisa kulakukan. Sambil menahan luka ditubuhku, air mataku tidak berhentinya mengalir. Aku merutuki diriku yang cengeng, karena menangis tidak akan menyelesaikan apapun.

Aku tahu itu, tapi untuk siapapun kamu, menahan air mata juga tidak baik untuk kesehatan mentalmu, jadi jangan sering-sering dilakukan oke! Perjalanan ini memang berat, tapi pasti apa yang kudapatkan nanti lebih dari yang bisa kubayangkan. Kuharap begitu.

Aku menggoyangkan tubuhku berusaha melepaskan genggaman Kaloang. Bahkan mencoba dengan pilihan terakhir yaitu menggigit kakinya. Tapi, hewan itu sama sekali tidak bergeming. Gigiku malah jadi ngilu dan sakit.

Aku merogoh tasku dengan harapan ada sesuatu yang bisa kugunakan. Aku tidak ingat memasukkan apa saja di dalam tas. Tapi aku ingat membawa barang yang mungkin berguna untuk perjalanan. Dasar, padahal aku bisa ingat memasukkan permen Elois yang jelas-jelas kurang berguna malah yang lainnya aku tidak ingat.

Aku menemukan sebilah pisau yang masih ada didalam sarungnya yang berwarna merah maroon. Ukuran pisau itu tidak besar dan juga tidak kecil. Astaga, itu pisau dapur, ibuku pasti mencari pisau itu kemana-mana.

Itu pisau kami satu-satunya, aku berpikir apa saat itu ya sampai memasukkan pisau dapur ke dalam tas. Tapi semoga Ibu tidak mencarinya, walaupun tidak mungkin.

Aku mengayunkan sekali pisau itu untuk melepaskan sarung pisaunya sampai terlempar ke bawah. Aku tidak tau jatuh di area mana. Tidak apa, itu jadi peninggalanku, siapa tau nanti ada  orang yang menemukannya.

Aku memiringkan kepalaku sebelum menusukkan pisau itu ke kaki Kaloang. Kenapa? Tentu saja untuk menjaga jarak! Kalau tidak, nanti aku bisa salah tusuk. Apalagi dengan keadaan tidak stabil seperti itu.

Sekali, dua kali, dan ketiga kalinya aku menusukkan pisau itu barulah bisa menembus kaki Kaloang, walau tidak begitu dalam. Aku bisa melihat darahnya yang merembes di pisau dan tangan kananku tapi tidak banyak.

Kaloang mengeluarkan bunyi aneh yang tidak begitu keras. Sepertinya dia merasakan sakit karena pisauku, aku menusukkan pisau itu sekali lagi ke tempat yang sama. Aku merasakan cengkraman Kaloang yang melonggar padaku. Dan tiba-tiba, aku terjun bebas di udara.

Kaloang melepaskan tubuhku tanpa aba-aba. Pisau ditanganku penuh darah Kaloang. Untungnya aku tidak fobia pada darah, jadi aku tidak pingsan saat itu juga. Kemudian aku melempar pisau itu jauh-jauh dari tempatku. Kalau aku jatuh, paling tidak, aku tidak akan ditemukan mati karena tertusuk pisau yang kugepang sendiri.

Aku merasakan udara dingin dan sensasi mirip kebas pada wajahku akibat angin yang kencang. Tubuhku berat karena ditarik oleh gravitasi. Angin yang luar biasa kencang memutar tubuhku membuatku pusing. Aku berteriak dan anehnya aku melihat air liurku yang melayang berbentuk seperti bulir-bulir. Waktu jatuh itu seakan lama sekali, padahal aku yakin jaraknya tidak begitu jauh.

Aku tidak ingat bagaimana saat aku jatuh ke tanah, sepertinya aku tidak sadarkan diri beberapa saat. Badanku serasa remuk semua, aku harus meminta Oceana untuk memeriksakan keadaan tulang-tulang ku ini nanti. Setidaknya, pasti ada beberapa bagian yang patah. Kalau aku bisa berhasil kembali nanti sih.

Aku berusaha bangun dengan susah payah. Dengan ketinggian seperti itu, kupikir aku akan langsung kehilangan nyawa, apalagi tidak ada pepohonan rindang atau apapun yang bisa meredam kecepatan jatuhku. Mungkin keberuntungan masih berpihak padaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATUM ITERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang