BAB 8 CLIMB AND FLY

10 2 0
                                    

Aku melihat pohon besar yang berdiri kokoh. Aku sudah tidak bisa berpikir dan mulai berlari. Aku memilih untuk memanjat ke dahan pohon.

Walaupun terdengar sangat mudah, rasa sakit, nyeri, dan perih di kulitku membuat aku tidak bisa memanjat pohon dengan cepat. Tubuhku menempel pada batang pohon itu seperti lem, aku sebisa mungkin mengangkat berat tubuhku agar bisa naik. Sedikit demi sedikit.

Kulit pohon yang kasar menggesek kulitku. Rasa sakitnya semakin menjadi, semoga tidak ada bagian melepuh yang pecah. Aku ingin menangis, merutuki kebodohanku karena tidak memasukkan obat-obatan kedalam tasku. Ini jadi pengalaman yang sangat berharga, karena obat itu ternyata sangat penting.

Saat itu, aku bergerak naik sambil mengomel dalam hati, kenapa tidak sejak dulu belajar memanjat pohon. Dulu aku tidak tau apa gunanya, sekarang aku menyesal karna tidak pernah mencobanya. Kalau dulu, mungkin saja berguna untuk mencuri buah dari pohon tetangga.

Ada beberapa hal yang kupelajari saat proses memanjat pohon ini. Pertama, jangan naik ke pohon yang kecil dan layu. Pilihlah yang besar dan hidup. Walau daunnya tidak banyak tidak masalah, mungkin karena sedang gugur saja, tapi bisa dipastikan pohon itu cukup kuat menahan beratmu.

Kedua, kalau kulit kayu pohon terasa kendur dan terkelupas ketika dipegang, mungkin pohon itu lemah dan sekarat. Jangan menaikinya ya. Pengalamanku, pohon yang kunaiki tiba-tiba patah dan aku cukup merasa bersalah karena mencoba menaikinya.

Aku beberapa kali gagal dan terjatuh di tanah diawal percobaan. Pohon yang ini batangnya tidak begitu besar, cabang pertamanya pun cukup jauh dari gapaian tangan saja. Tapi aku tidak terlalu memperdulikannya. Rasa sakit jatuh ini tidak seberapa dibandingkan sakit akibat panas pada kulitku yang melepuh.

Aku mencengkram cabang pohon itu dengan satu tangan sambil melingkarkan lengan satunya pada sekitar batang. Aku menempatkan kakiku pada benjolan di batang pohon yang kurasa cukup kuat untuk menopang tubuhku.

Aku pikir yang selanjutnya akan mudah, tapi tidak sama sekali. Aku menempatkan lengan atas maupun lengan bawah di atas cabang. Tanganku sampai bergetar untuk menopang tubuhku ini, aku hampir saja menyerah, sungguh, aku tidak kuat mendorong tubuhku yang beratnya 65kg. Sepertinya aku harus berdiet jika aku pulang nanti.

Maafkan aku, teman-teman yang punya badan besar sepetiku, tapi seandainya tubuhku lebih kecil aku mungkin bisa meloncat di cabang-cabang ini dengan mudah. Maaf sekali lagi bagi siapapun juga, aku tidak bermaksud untuk menyindir atau sebagainya.

Aku mencoba lagi untuk naik ke cabang pertama. Aku menghitung sampai tiga lalu mengangkat tubuhku lagi. Kalau orang yang berolahraga, mungkin yang kulakukan ini disebut pull up ya. Aku berani bertaruh Triss pasti sering melakukannya, naik pohon seperti ini pasti hanya masalah kecil baginya.

Saat siku dan perut bawahku ku mencapai tinggi yang setara dengan cabang, aku mengayunkan kaki ke atas untuk mengangkangi cabang. Aaaah, aku menjerit tanpa suara saat berhasil duduk di atas cabang pertama. Aku bersorak dihati sampai ingin loncat-loncat saat berhasil naik cabang pohon yang paling bawah.

Aku berhasil! Aku bisa merasakan mataku berair karena terharu. Aku ingin menceritakan pada semua orang kalau aku bisa memanjat pohon. Tapi karena tidak ada orang, aku akan membagikannya dalam tulisanku ini.

Satu masalah selesai, sekarang masalah selanjutnya, dengan ketinggian itu, api di rerumputan bawah masih terasa membakarku. Jadi aku harus naik lebih tinggi lagi. Dengan was-was aku mengawasi lagi arahku datang tadi, Azur masih belum terlihat.

Entah dia bersembunyi dibalik asap itu atau memang dia belum menyusulku. Aku malah berharap dia tersesat diantara asap dan tidak menemukanku sama sekali. Semoga saja, walau itu hanya harapan setipis tisu.

FATUM ITERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang