"Dam?"
"Ya, Sher, ada apa?"
"Aku mau tanya boleh?"
Sadam tertawa mendengar pertanyaan Sherina.
"Ya ampun, kamu tuh kalau mau nanya ya nanya aja, kok pake minta izin segala. Mau nanya apa, neng?"
"Kamu bahagiakah denganku, dengan hubungan kita sekarang?"
Pertanyaan Sherina benar tak terduga, Sadam kaget mendengarnya.
Sebelum menjawab pertanyaan istrinya tersebut, dia mencubit hidung Sherina dengan pelan, tanda kegemasan tiada hentinya yang ia miliki untuk wanitanya tersebut.
"Ihhh, sakit, Dam," keluh Sherina.
"Maaf, maaf, habis kamu tuh gemesin tahu gak?"
"Bagian mana dari pertanyaanku tadi yang menunjukkan kegemasan? Aku tuh serius nanya ya," tekan Sherina.
Sadam menggelengkan kepala, ia tahu ini tandanya dia betul harus menanggapi Sherina dengan serius.
Ia menarik lengan kanan Sherina, mengajaknya duduk berhadapan di ujung tempat tidur mereka.
Sadam menggengam tangan Sherina dengan erat nan lembut.
"Kesayangan aku, Sherina Melodi Darmawan, kamu dengarkan omonganku baik-baik," ujar Sadam dengan nada serius.
Sherina kini menjadi tegang melihat sikap Sadam yang tiba-tiba menjadi sangat serius.
"Yang namanya bahagia menurutku adalah hal yang relatif, bisa saja ketika aku suka sesuatu, aku menjadi bahagia, namun, mungkin keesokannya, sesuatu hal itu tidak membuatku bahagia,"
Sadam tetiba berhenti sejenak. Dia menatap kedua tangan Sherina sambil mengelusnya lembut.
"Jadi, sekarang kamu lagi nggak bahagia sama aku?"
Sherina kembali bertanya, tidak memberi kesempatan Sadam untuk melanjutkan apa yang ingin ia sampaikan.
"Ih, nggak gitu gitu analoginya, sayang," protes Sadam.
"Lah, terus apa dong? Kamu tuh, aku nanya sederhana kok jadi berputar-putar gini sih jawabnya? Kan kamu tinggal jawab iya atau tidak, beres kan?" Kini balik Sherina yang memprotes.
Sadam yang tak tahan melihat kegemasan istrinya itu pun langsung mengacak-acak rambut Sherina.
"Dam!!"
"Oke, dengerin ya, puluhan tahun aku kenal kamu, jadi sahabat kamu, sampai sekarang akhirnya menjadi pasangan hidupmu, bohong kalau aku bilang selalu bahagia, ada masa di mana aku merasa marah, sedih, galau, dan segala macamnya, ya namanya juga kita berhubungan sesama manusia. Tapi, Sher, meskipun aku mengalami perasaan nano-nano tersebut, porsi bahagiaku bersama kamu itu besar banget, saking besarnya, ya aku merasa tanpa aku utarakan pun, kamu bisa merasakannya juga. Emang belakangan kamu nggak merasakan itu ya, sampai harus nanyain ke aku?"
Sherina menggelengkan kepala.
"Justru karena aku merasa kebahagiaan kita ini too good to be true, tiba-tiba terlintas aku ingin nanya begitu sama kamu," jawab Sherina dengan hati-hati.
"Sini, mau peluk nggak?" tawar Sadam.
Sherina memberikan senyum kecilnya, lalu mendekatkan tubuhnya ke suami tercintanya itu, untuk mendapatkan pelukan erat nan hangat yang menjadi favoritnya.
Sadam memeluk Sherina, menaruh dagunya dengan lembut di atas kepala sang istri.
"Aku pernah baca, ada kutipan berbunyi, kebahagiaan itu adalah melakukan apapun yang kita cintai dengan bebas, tanpa paksaan. Ketika kita yang awalnya saling benci menjadi berteman, sampai akhirnya bersahabat, ketika aku kembali merajut hubungan persahabatan kita, dan ketika aku meminang kamu, itu semua adalah sebagian dari hal yang kucintai untuk dilakukan, dengan kesungguhan yang kumiliki. Itu adalah kebahagiaanku, Sher." Jelas Sadam.
Sherina menarik tubuhnya sedikit dari pelukan Sadam, namun kedua lengannya masih melingkar di pinggang Sadam.
Sadam sadar ada jejak air mata di pipi Sherina, dengan lembut ia menghapusnya.
"Eh, kok malah nangis?"
"Aku sayang kamu banget, Dam, aku cinta kamu banget, karena kamu itu cintanya aku, maka aku juga sudah pasti bahagia," jawab Sherina.
Sadam menjadi agak salah tingkah mendengar pengakuan cinta mendadak dari Sherina tersebut. Ia kembali menarik Sherina ke dalam pelukannya.
"Aku juga sayang banget, cinta banget, bahagia banget bisa selalu bersama kamu, neng," Sadam membalas pengakuan cinta Sherina.
Sherina tertawa kecil mendengar ucapan suaminya.
"Kamu tuh tiba-tiba mellow begini, kenapa deh? Sedang datang bulan ya?" Sadam yang masih penasaran pun bertanya.
Sherina melepas pelukan Sadam, dan memukul kecil dada suaminya.
"Emang kamu susah banget aku ajak ngobrol serius, yang. Masa ya kita harus terkurung dulu atau ajak kamu debat, baru bisa ngobrol serius sih?" Protes Sherina, yang kini berdiri, mengambil tasnya dan mengeluarkan secarik kertas.
"Nih, kamu baca sendiri,"
Sherina memberikan kertas tersebut kepada suaminya, yang masih duduk kebingungan.
"Apa ini? Kamu jangan bikin aku takut ya,"
Sadam dengan hati-hati membuka kertas tersebut, membaca baik-baik tulisan di dalamnya, dan sepersekian detik kemudian, berteriak kencang.
"Hah??!! Sher, kamu----kamu hamil? Ini beneran? Aku nggak sedang mimpi kan?"
Sadam bangkit dari duduknya, kini berdiri berhadapan dengan istrinya, kedua tangannya membungkus kedua pipi Sherina yang kini tampak merah merona.
"Selamat menjadi calon ayah, Bapak Sadam Ardiwilaga. Mohon bantuannya untuk menjaga aku dan calon anak kita, ya sayang," ujar Sherina, sambil menarik tubuh Sadam ke dalam pelukannya, kedua tangannya melingkar di leher Sadam.
Sadam membalas pelukan Sherina.
"Jadi, apakah kamu bahagia denganku?" tanya Sherina dengan iseng.
"Selalu, dan selamanya, Sher,"
☆