Perkara Jodoh

6 2 65
                                    



Sudah hampir tiga jam Daniella berkutat dengan laptop, maniknya melirik pada layar bawah menunjukkan total kata yang diketik. Helaan napas terdengar begitu panjang sembari menyandarkan tubuh pada kursi kerjanya. Kedua tangan wanita itu terulur ke atas diikuti dengan gerakan leher, guna meregangkan otot-otot. Merasa haus, si sulung Magani itu berdiri kemudian berjalan menuju ke pantry. Namun, sebelum berhasil pergi, rekan kerja satu timnya tiba-tiba berdiri di hadapannya dengan napas terengah-engah.

"Kenapa lu, Kak?" tanya Daniella penuh khawatir pada senior wanitanya bernama Enno.

Surai panjang yang berwarna blue black itu dikibaskan, berusaha mengatur napas kemudian menatap si sulung Magani itu dengan panik. Tangan Enno terulur menunjuk ke arah jendela. "Adik-adik lu!"

Kening Daniella berkerut, sedikit tidak paham atas apa yang dikatakan oleh rekan kerjanya tersebut. "Hah?"

Lawan bicaranya berdecak kesal. "Kembar? Cowok cewek? Noh, lagi debat sama ajudannya."

"Astaga!" pekiknya terkejut. Ia hampir saja menyusul tetapi teringat bahwa masih dalam jam kerja. Tubuh Daniella kembali berbalik, seraya memasang wajah memohon. "Sepuluh menit ya, Kak?"


"Iya, iya, gak ada juga yang bakal larang seorang Daniella Aurellia," ucapnya seraya melirik pada meja kerja si sulung Magani.


Diikuti oleh Daniella, ia baru menyadari telah memajang bingkai foto keluarganya saat pelantikan sang ayah menjadi Jenderal TNI. Wanita itu meringis tak nyaman, tetapi mengambil kesempatan itu untuk keluar dari kantor sejenak.

Dan sesuai ucapan Enno di sana, Daniella melihat dua adiknya tepat masuk ke dalam mobil. Sang ajudan — Han, memasang wajah pasrah seakan baru saja menghadapi pertarungan sengit. Pandangannya bertemu dengan beliau yang menunduk sopan.


"Mbaaak!" seru si kembar yang kompak menyumbulkan kepala dari jendela.

"Kalian ngapain ke sini?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Yang pertama aktif merespons tentu saja Regiandra, tangan pemuda itu terulur mengapit hidung kembarannya dengan gemas. "Adekmu ini, Mbak! Tiba-tiba nyuruh gue ke sini gara-gara dia ribut sama Om Sam."


Sementara itu, Hika sedang merengut kesal sembari bersandar di kursi belakang mobil lengkap dengan kedua tangan terlipat depan dada. Nampak belum minat untuk bercerita. Tangan Daniella terangkat melihat jam di pergelangan, kemudian menatap kembali pada kedua adiknya.


"Mbak masih lama lho, dua jam lagi baru selesai. Kalian mending pulang diantar Om Han ya?"


"Gak mauuu!" rengek Hika. "Aku males pulang. Males ketemu muka tembok Om Sam galak itu. Hih!" rutuknya dengan sungguh-sungguh. Ia mendongak pada Daniella. "Mbak kerja aja, kita bakal tungguin. Terus pulang bareng."


Di sampingnya, Regi menghela napas. Pasrah mengikuti sang kembaran.


Daniella menoleh ke seberang jalan. Ada beberapa ruko rumah makan di sana yang biasa menjadi tempat makan siang dari beberapa kantor yang ada di sekitar sini. Tangan wanita itu merogoh lembaran uang yang beruntung ternyata ada di saku celana bahannya. Lalu, ia berikan pada Regi dan Hika.

"Jajan sana, ajak Om Han juga."

Senyum Hika terukir lebar menerima tiga lembar uang berwarna merah tersebut. "Makasih, Mbak!" serunya kemudian menatap dengan wajah sumringah. "Mau dibeliin sekalian gak?"


Si sulung menggeleng. "Enggak usah," jemarinya mengusak surai Hika dengan lembut. "Jangan minum es. Baru sembuh kamu," pesannya yang langsung diangguki adik kembarnya di sana. "Udah ya, Mbak tinggal."


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Universe SisterWhere stories live. Discover now