Transparent

14 2 0
                                    

"Kurasa kau telah gila Nona. Apa portal itu merenggut kewarasanmu juga?"

"Hei!" Aaron menendang kaki Lucan.

"Auch." Ringisnya pelan.

"Apa hanya kalian berdua di sini?" Tanya gadis tersebut sambil memandang Lucan yang jalam bersebelahan dengan Aaron.

"Kami berlima. Aaron, aku, Arta, Liam dan yang terakhir Loui. Tidak, sebenarnya kita berenam dan kau."

"Owh. Tunggu! Semuanya laki-laki?"

"Yah begitulah walau sebenarnya kau bukan perempuan pertama yang berada di sini."

"Bukan? Lalu, kemana mereka?"

"Entahlah, ada beberapa dari mereka yang menghilang tiba-tiba dan ada juga yang-"

"Lucan." Ucapan Lucan seketika terhenti saat Aaron memanggil namanya.

"Yang apa?"

"Yang melarikan diri." Jawab Lucan, "Cepat atau lambat, kau akan tahu sendiri Nona." Lanjutnya.

"Nona... aneh rasanya mendengar panggilan seperti itu."

"Lalu kau ingin kami memanggilmu apa? Kau sendiri bahkan tak tahu namamu."

"Tenanglah, nanti beberapa ingatanmu akan kembali. Jika sampai saat itu kau tetap tak nyaman dengan kami yang memanggilmu Nona, kami akan memanggilmu dengan namamu." Celetuk Aaron.

"Apa kalian kehilangan ingatan juga saat tiba di tempat ini?"

"Ya! Semuanya sama seperti dirimu, walau yang hilang itu hanya ingatan tentang kehidupan kita sebelumnya bukan tentang pengetahuan kita."

"Oh, kau benar juga. Buktinya, kita bisa berbicara dengan tutur kata yang baik."

Setelah cukup lama mereka berjalan, langit kini mulai kehilangan warna jingga padanya, sementara bulan telah bersinar terang di atas sana.

Tak jauh dari tempat mereka berada, mata gadis itu menangkap sebuah bangunan yang sudah terlihat tua. Hampir seluruh tembok bangunan tersebut dihiasi oleh lumut dan tanaman liar yang menjalar.

"Apa itu? Rumah hantu?" Dia menatapnya dengan tatapan ngeri.

"Pftt...." Lucan terkikik, membuat gadis tersebut menoleh ke arahnya.

"Sangat disayangkan gadis kecil, tempat itulah yang akan kau tinggali selama berada di sini." Lucan menyeringai menatapnya.

"Lucan! Berhenti menakutinya!" tegur Aaron.

Di depan pintu mansion, Lucan mengetuk pintu tersebut sebanyak tiga kali. Pintu mansion lalu terbuka dengan sendirinya.

Mereka disambut dengan air mancur yang berada di tengah aula mansion dengan tangga di sisi kiri dan kanannya yang menghubungkan lantai satu juga lantai dua.

Saat Aaron berjalan melewati air mancur, gadis itu melihat kolam air mancur yang penuh dengan ikan hias di dalamnya.

Mereka lalu berpisah dengan Lucan saat di ruang tengah. Gadis itu lalu dibawa oleh Aaron ke sebuah kamar. Aaron mendudukkan gadis tersebut di pinggir kasur.

"Tunggu di sini, aku akan kembali sesegera mungkin." Ucap Aaron sebelum keluar dari kamar.

Gadis tersebut tercengang saat memandangi seluruh sisi dari kamar yang ia tempati saat ini. Penerangan di kamar itu menggunakan chandelier yang tergantung pada plafon kayu mansion tersebut.

"Seperti dongeng." Gumamnya pada dirinya sendiri.

Tok, tok, tok....

Lamunan gadis itu dibuyarkan oleh suara ketukan di pintu kamarnya, dia seketika menoleh saat sadar seseorang mengetuk pintu kamar tersebut. "Lucan?"

"Kagum huh?" Ucap Lucan yang tersenyum kepada gadis itu. Sambil bersedekap, ia bersandar pada ambang pintu.

"Lucan kau berbicara dengan siapa?" Seorang pemuda dengan kemeja putih dan fullback vest berwarna maron berjalan mendekatinya.

"Makanan." Ucap Lucan dengan seringai di wajahnya, tatapannya masih berada pada gadis tersebut.

Tuk

"Auch." Ia metingis saat Aaron yang berada di bbelakangnya menjitak kepalanya.

"Berhentilah!" ucapnya dengan wajah kesal lalu berjalan menuju gadis tersebut. Gadis itu hanya menatap mereka heran.

"Haaa... dia sensitif sekali." Lucan mengusap kepalanya yang terasa nyeri.

"Bukankah sudah jelas mengapa dia bersikap seperti itu?" ucap pemuda di sebelahnya.

"Iya-iya. Karena dia sudah muak tinggal di tempat ini." Ujarnya dengan wajah meledek.

"Tiga abad bukanlah waktu yang singka, kau tahu." Ucap pemuda tersebut.

"Itu akan terasa sangat berat jika sendiri... tapi Arta! Dia tak sendiri. Ada aku, juga kau dan yang lainnya di sini." Masih dengan suara yang rendah Lucan menggerutu tapi Arta tahu di balik kalimatnya itu ada kekecewaan yang besar terhadap Aaron.

"Lagi-lagi kau seperti ini, apa kau masih merasa kalau Aaron tak menganggapmu?" Arta berjalan ke ruang tengah, Lucan mengikutinya.

"Bagaimana aku tak mengatakan seperti itu, setelah setengah abad dia sendiri, aku sampai di tempat ini. Aku ada selama itu hingga kini Arta tapi kenapa? Kenapa dia tetap merasa sendiri sementara aku ada di sisinya selama ini?" Gerutu Lucan yang duduk di sofa sebelah Arta.

"Apa kau tak curiga? Ada kemungkinan Aaron menyembunyikan sesuatu dari kita."

"Aku tak peduli. Lagipula kita baik-baik saja selama ini." Lucan menyandarkan dirinya ke sandaran sofa.

"Mungkin saja itu yang kita yakini selama ini tapi siapa yang tahu dengan waktu yang akan datang? Kita juga tak tahu apa yang terjadi selama setengah abad ia sendiri di sini. 'Kan?"

 'Kan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
World Of WonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang