Nama : Daliyah Zaheer
Judul : MAHAR PENGANTIN GAIBSemua orang sedang membicarakan satu nama yaitu Silvi. Telingaku tak berhenti mendengar betapa tersiksanya keadaan gadis muda itu yang setiap jamnya mengeluarkan darah dengan rasa sakit tanpa luka.
Ia membawa suara teriakan kesakitan dari orang yang aku benci, lirih dan menyayat. Aku tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak hingga air mata menetes, entah rasa apa yang ada di dalam hatiku. Bahagia, puas, senang atau sedih, jiwaku seakan mati dari rasa iba.
Kemarin datang pria tua kepadaku saat nyawaku sudah diujung raga, aku menggelepar kuat, aku sudah tidak bisa menghirup udara bahkan aku mengejan kuat menahan rasa sakit di leher yang terikat tali tambang.
Bruk!
Aku jatuh ke lantai, meringkuk menahan sakit, pria tua itu menatap tajam ke arahku. Saat itu ia hanya diam mematung dengan ekspresi marah serta pisau dapur di tangannya setelah memutuskan tali yang menggantung di leherku.
“Siapa kamu, biarkan aku mati!” teriakku pada pak tua.
“Bodoh! Seharusnya kamu membalasnya bukan mati konyol di dalam kamar pengap ini!”
Aku berteriak kesal karena niatku untuk bunuh diri gagal, aku menangis tergugu dengan leher yang perih karena lecet akibat tali tambang yang menjerat leher, tali itu masih menggantung longgar di leherku.
Terdengar suara gemeretuk bagai gigi yang mengadu dan suara napas yang sengaja di hembuskan ke wajahku, ada sesuatu di hadapanku tetapi tidak terlihat bentuknya. Suara langkah kaki yang diseret memutariku, rasa dingin menjalar dari kaki hingga kepala, aku yakin ada yang sedang menyentuhku.
“Aku bisa mengabulkan keinginanmu.” Suara berbisik di telingaku, aku mencari sumber suara dengan ekor mata, tidak ada siapa pun. Suara terkekeh pelan dan tercium bau wangi masuk ke indra penciumanku. Ia berbisik kalimat yang sama bahwa dirinya akan mengabulkan permintaan.
“Apa imbalannya?” aku bicara pelan.
“Jadilah milikku.” Suaranya berbisik di telingaku. Sedangkan pak tua masih berdiri tak jauh dariku memperhatikan aku dengan tatapan tak bisa diartikan.
Seingatku, aku terus menangis sambil mengoceh menceritakan nasib hidupku tanpa henti, kemudian tersadar sudah berada di dalam gubuk milik pak tua, aku tidak tahu bagaimana caranya ia bisa membawaku kesini. Pak tua menjanjikan aku sesuatu, tentang membalas dendam tanpa menyentuh lawan.
Aku duduk bersimpuh di lantai tanah beralas tikar, di hadapanku pak tua berpakaian serba hitam sedang membakar kemenyan serta mengoceh tidak jelas, setelah itu tercium bau bunga sedap malam yang menyengat.
“Dia sudah datang, apa kamu siap?” ucap pak tua di hadapanku.
Jantungku berdebar kuat karena takut, bahkan tubuhku tiba-tiba saja terasa dingin hingga menggigil. “Apa bisa aku mundur, aku benar-benar takut,” batinku.
Aku terenyak ketika mangkuk kemenyan yang terbuat dari tanah liat itu membelah dua dengan suara keras.
“Kau berniat membatalkannya? Ia sudah menyukaimu dan akan bersiap menjadi suamimu.”
“Suami?!” Aku menelan ludah, aku gemetar, rasanya kakiku lemas saat mencoba berdiri, aku berniat lari dari tempat ini. Lagi, suatu benda mirip gelas berisi dupa di hadapanku kembali pecah terbelah dua.
Pak tua terkekeh. “Jangan berpikir untuk lari, ingatlah dengan orang yang telah menyakiti kamu, menghina dan merendahkan dirimu selama ini. Suami gaibmu akan membantu membalaskan dendammu sampai orang itu mati.”
Tanganku mengepal kuat, benar sekali ucapan bapak tua di hadapanku ini. Silvi sudah jahat padaku, sudah sejak di SMP sampai ke SMA gadis itu selalu membullyku secara fisik dan mental. Bahkan sampai sekarang gadis tetanggaku itu masuk ke universitas yang sama hanya untuk membuat aku di benci dan jadikan bahan olok-oloknya. Padahal aku hanya gadis yatim piatu yang hidupnya dibantu warga sekitar dan mendapatkan beasiswa untuk mengenyam pendidikan. Apa yang ia iri dariku hingga membenciku seperti ini.
Aku tertunduk menguatkan hatiku untuk melanjutkan balas dendamku pada satu nama yang selalu menusuk hatiku, Silvi. Aku sungguh sangat sakit hati selama ini dengan ulahnya bahkan kata maaf saja tidak bisa meredakan amarah dan kecewaku pada orang itu. Aku mengangguk pasti.
“Ambil ini dan makanlah.” Pak tua yang tidak mau memberitahukan namanya itu memberikan aku kantil bunga melati.
Aku mengambilnya.
“Pejamkan matamu, sebentar lagi pernikahanmu akan segera di mulai.”
“Tunggu!” seketika aku mencoba membuat penawaran, aku tidak mau ditipu karena aku tidak mengenalnya dan apa maksud kebaikannya membantu aku membalaskan dendam.
“Ada apa?”
“Apa mahar yang aku terima dari pernikahan ini?”
Pak tua tertawa dibarengi dengan getaran di dalam ruangan sepertinya makhluk gaib yang akan menjadi suamiku itu ikut tertawa.
“Hm, baik.” Pak tua bergumam, sepertinya mereka sedang berkomunikasi. “Apa mahar yang kamu mau? Uang, harta, tahta?”
“Aku ingin bukti langsung, apa benar suamiku bisa membuat orang yang aku benci menderita sampai mati.”
“Hm, baiklah. Suamimu sudah bersiap. Besok tepatnya malam Jumat kalian akan melakukan malam pertama, kau harus menepati janji.”
“Baik.”
“Makan kantil bunga melati itu sebagai tanda kamu menerima pernikahan ini.”
Aku tidak berpikir panjang lagi, aku makan dan mengunyah habis kantil bunga melati, dengan hitungan detik mataku lelah, aku mengantuk.
Aku menggoyangkan kepala agar konsentrasiku tidak hilang, tetapi aku terkejut ketika mataku melihat sekeliling ruangan, aku sudah berada di dalam kamar dengan tali tambang yang masih menggantung di ventilasi udara antara kamarku dan ruang tamu.
“Apa aku bermimpi?”
Suara angin kembali menerpa tubuhku dengan bau wangi bunga sedap malam, aku merasakan kehadirannya. Ternyata beberapa menit yang lalu bukanlah sebuah mimpi.
“Apa yang harus aku lakukan kepada Silvi?” suara berbisik kembali terdengar di telingaku, suara yang sama saat aku berhadapan dengan pak tua tadi.
Aku memejamkan mata, mengingat perbuatan Silvi padaku, menginjak, memukul, mendorongku hingga jatuh, penjilat, cari muka dan memanfaatkan kekayaannya untuk mengucilkan aku.
“Aku ingin Silvi menderita secara perlahan hingga rasa sakitnya bagai kulit yang mengelupas di tarik sedikit demi sedikit tak pernah putus.”
“He...he...he.” kekehannya terdengar seperti kakek tua. “Tidak masalah bagiku, aku akan melakukannya untukmu.”
Sebuah api kecil muncul di dekat kakiku, bulat seperti kelereng, aku mundur beberapa langkah ketika api itu semakin lama semakin membesar hingga sebesar bola sepak. Bola itu melompat cepat menembus atap, aku segera berlari keluar mencari ke mana bola api itu pergi.
Tepat! Bola itu jatuh di tempat yang aku inginkan.
“MAMPUS KAU!”
Suara jeritan terdengar kuat dari rumah Silvi, jeritan serta tangis lirih, satu persatu orang melewatiku mendatangi rumah Silvi, mungkin penasaran apa yang terjadi dengan gadis cantik itu. Hatiku bahagia, karena senang hingga senyumku tak berhenti merekah puas ketika melihat Silvi keluar dari rumah dengan darah yang mengalir deras dari mulut, hidung serta telinganya, orang-orang berhamburan sibuk membawa gadis itu ke rumah sakit.
“Kamu puas?” ucapnya berbisik dengan bau khas miliknya. Pertanyaannya mengalihkan ingatanku tentang kejadian tadi malam. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya dan ia tertawa. Mendengar tawanya membuat aku semakin senang bahwa makhluk yang belum aku lihat wujudnya seakan sependapat denganku.
“Kau harus melayani aku sekarang, sebagai imbalan karena aku sudah melakukan keinginanmu.”
“Baiklah, apa yang ingin kamu makan? Kembang tujuh rupa, kopi pahit, kemenyan, ayam cemani. Katakan saja.” Aku coba mengalihkannya.
Dia tertawa. “Bukan itu, aku tidak butuh itu.”
Aku mengernyit.
Sepertinya ia senang melihat kebingunganku karena suaranya menggema di kamarku yang sudah redup karena bohlam lampu berwarna merah. Sesuatu menghantam keningku dengan kuat hingga aku memekik, rasanya sakit seperti terbentur dinding. Aku jatuh terbaring di atas ranjang.
Pakaian yang aku kenakan seperti dicabik dengan bunyi kain yang di tarik paksa, bahkan aku merasakan cakaran kecil seperti sedang bermain dengan seekor kucing. Tubuhku di terpa rasa dingin, aku tarik selimut yang berada di sampingku karena aku menggigil. Tapi kemudian tubuhku seperti ada yang mengimpit, berat dan membuat aku sesak napas. Mengapa menutupi tubuhku dengan selimut rasanya seperti di selimuti benda berat, pikirku.
Semakin lama, bau wangi yang sejak tadi tercium berubah menjadi bau busuk, baunya membuat aku mual. Tubuhku seperti digerayangi oleh bulu halus dari kaki sampai ke leher serta bunyi kecapan seperti suara orang mencicipi makanan, aku paksakan mataku melihat dalam gelap, samar-samar aku dapat melihat wajah di hadapanku meski terlihat belum jelas.
“Apa ia suami gaibku?”
Lambat laut wajahnya mulai terlihat jelas, Jantungku berdegup kencang, rasa takut mulai muncul, wajah sangat menakutkan, kulitnya hitam mengelupas terlihat tulang pipinya, matanya merah, dan bertaring.
“Kamu jangan takut, setiap kali kita bercinta maka tubuhku kembali sempurna sesuai dengan wujud pria idamanmu.”
Ia tertawa melihat aku yang bingung serta takut. Apa arti dari setiap kali yang dimaksud olehnya, aku pikir tidak ada hari esok karena Silvi sudah sekarat sekarang.
“Aku butuh keturunan.”
Mataku melebar, jangan bilang kalau aku harus bercinta dengan makhluk menjijikkan di hadapanku ini setiap kali seperti yang ia maksud.
Ia mengangguk pelan menjawab bisik hatiku seraya memamerkan barisan giginya yang berwarna coklat karena tanah menempel di sana.
Aku memberontak sekuat tenaga tetapi sepertinya tubuhku tak bergerak sedikit pun, aku mulai menangis karena ketakutan serta penolakan.
“Sst, kamu jangan khawatir, rasanya tidak sama seperti manusia, kaum kami akan lebih nikmat rasanya.” Makhluk menyeramkan itu semakin keras tertawa.
Mulut kotornya mulai mendarat di seluruh wajahku, tangan dengan kuku yang tajam mulai berselancar menyentuh tubuhku.
“Argh! Lepaskan!”
Sebuah pukulan menghantam perutku hingga aku sesak napas, mataku berkunang-kunang, pandanganku gelap hanya terdengar kekehan serta bunyi lenguhan hewan.
Aku telah bersatu dengan suami gaibku dengan rasa nikmat yang ia katakan, meski seluruh tubuhku terasa sakit seperti dihantam benda tumpul serta bau bangkai yang membuatku muntah berkali-kali.
Aku telah membayar mahal dendamku dengan menikahi makhluk gaib. Aku harap Silvi mati.
Satu yang aku sadari sekarang, aku sudah menjadi iblisBanten, 15 September 2023