Riuh hirup pikuk menghiasi matahari yang baru bangun dari tidurnya, sesaknya jalan protkol atas padatnya arus lalu lintas dan ditambah lagi banyaknya pembangunan gedung-gedung dan fly over membuat semua orang mengutuk kota ini.
Tata kelola kota yang semraut mengakibatkan banyak sekali jalan tikus tersebar di kota ini, meskipun untuk menuju lokasi tujuan akan memakan jarak yang lebih jauh namun hal ini dianfaatkan pemotor roda dua untuk melibas kemacatan demi memangkas waktu agar tidak terlambat, alhasil setiap gang sempit di kota ini pasti diwarnai dengan bisingnya suara kendaraan bermotor.
Hari ini merupakan hari pertama bagi anak-anak sekolahan masuk setelah libur yang panjang, hal itu juga yang di rasakan oleh laki-laki yang sedang mengendarai motor milik ayahnya, dengan helm full face dan pakaian sekolah yang dibalut dengan jaket denim serta dihiasi sepatu convers ia salip semua kendaraan yang ada didepannya, tak peduli berapa puluh polisi tidur yang ia terabas yang membuatnya seperti menunggangi kuda terbang, yang difikirannya adalah bagaimana caranya ia dapat sampai dengan tepat waktu.
Setelah perjalanannya yang mengagumkan ia memarkirkan motornya dengan apik, waktu di jam tangannya telah menunjukkan pukul 07.00 WIB, ia harus bergegas menuju gerbang sekolah sebelum gerbang itu ditutup.
"melalui pintu gerbang ini, telah terlahir para pemimpin bangsa"
"Disekolah tua ini? Emangnya bisa? Apa gua bisa?" dalam hati ia bertanya sembari berjalan masuk ke dalam sekolah memandangi tulisan yang berada tepat di atas gerbang sekolah.
Perjalanannya yang panjang tadi belum selesai menghiasi drama pada hari pertama masuk sekolah, ia adalah siswa baru disekolah ini, maka langkah pertama setelah melewati gerbang ia harus mencari tahu dimana kelasnya. Ia harus membaca satu persatu kertas yang menempel pada jendala kelas. Hal yang tidak diketahuinya adalah ternyata kelas 7 terbagi atas 12 kelas.
Dengan berlarian kesana kemari mencermati kertas yang tertempel disetiap kelas namun namanya tak kunjung ditemui. Sampai ia teringat bahwa dalam penerimaan siswa baru namanya terdapat pada urutan 3 dari paling bawah, seharusnya ia dapat kelas yang paling akhir, yaitu kelas ke 12. Maka ia berlarian lagi menuju kelas yang letaknya berada di ujung sekolah ini.
"Ini gila" sambil membaca namanya pada selembar kertas yang tertempel pada jendela kelas yang hampir pecah.
Ia masuk kedalam kelas yang kotor dan bau, dengan fasilitas seadanya dan kursi serta meja yang rasanya tak layak lagi digunakan. Duduklah ia di pojok belakang sebelah kanan.
Sudah ramai takkala ia sampai di kelas itu, banyak siswa yang saling berkenalan satu sama lain namun tidak bagi laki-laki itu. Laki-laki itu malah tanggelam dalam lamunan.
Ia menghabiskan 6 tahun sekolah tanpa pernah alpa, 5 tahun bimbel semua mata pelajaran dan 4 tahun untuk kursus bahasa inggris. Ia juga tak merasa dirinya bodoh, bahkan ia hanya 1 kali mendapatkan ranking 5, sisanya ia selalu mendapatkan 3 besar disekolah.
Sekolah ini bukanlah keinginannya, rencananya setelah lulus ia ingin masuk sekolah favorit, yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya, atau paling tidak dia dapat satu sekolah dengan mantan pacarnya.
Ujian nasional adalah hal terburuk dalam hidupnya, ia mati-matian belajar untuk mendapatkan nilai yang terbaik, namun ia terkalahkan oleh siswa-siswa yang mendapatkan kunci jawaban.
Setelahnya ia harus mendaftar sekolah dengan penyeleksian berdasarkan nilai UN, bukan berdasarkan kemampuan akademik dan bakat yang ia miliki. Itu terbukti pada saat ia mencoba datang ke sekolah favorit yang ia inginkan, fotocopy nilai persemester dan lampiran sertifikat juara karate yang lebih dari 10 lembar ia serahkan, namun hasilnya tetap saja ditolak mentah-mentah. Sampai akhirnya ia pasrah dan masuklah kesekolah tua ini.
"Woi!" ucap dua orang laki-laki sambil menepuk meja, memecahkan lamunan.
Kedua lelaki itu berhasil membuat lamunannya pecah. Betapa tidak, dua lelaki itu adalah erwin, sedangkan yang satu lagi adalah ricard, mereka adalah teman sekaligus musuhnya disekolah sebelumnya. Ia tak menyangka ada saja orang yang ia kenal di sekolah tua ini.
Tanpa menunggu lama, seorang guru masuk kedalam kelas dan suasana menjadi sedikit tegang, seorang guru memperkenalkan diri dan menunjuk satu-satu siswa untuk maju kedepan kelas seraya memperkenalkan diri.
Kini giliran lelaki itu, ia berdiri dan berjalan kedepan kelas. Seuluruh mata tertuju padanya, terutama para wanita. Seolah waktu berhenti sejenak, para wanita pun tak berkedip.
"Hallo, selamat pagi semuanya" ucap lelaki itu sembari bediri tegap dengan tampang yang dingin.
Namun anehnya, tak ada yang menjawab salam itu, seolah mereka gagal fokus dengan yang ada di hadapan mereka."Perkenalkan, saya Alba Pramudya Samudra. saya lahir di bulan Juli dan hobi saya adalah membaca. sekian terimakasih". ucapnya dengan nada yang tenang.
Seisi kelas kompak memberinya tepuk tangan, entah karena lahir dibulan juli dan hobi membaca adalah sebuah prestasi, atau namanya terlalu keren, atau malah seisi kelas kagum dengan paras seorang alba.
Alba adalah namanya, pemberian dari ayahnya. Jika di deskripsikan, alba adalah laki-laki berambut hitam bergaya coma hair, memiliki mata coklat dan sipit, memiliki hidung mancung dan berbibir tipis serta tubuhnya tidak pendek juga tidak tinggi.
Alba sebenarnya tak kaget lagi melihat ekspresi wanita-wanita dikelas barusan, karena alba memanglah seorang play boy, menjadi perhatian para wanita adalah hal yang biasa dalam hidupnya, sejak umur 5 tahun ia sudah gonta ganti pacar. Ia berpendapat bahwa dirinya tak ganteng-ganteng amat, tapi ada saja wanita yang baper sampai mengejar-ngejarnya.
*Kringgggg* Suara bel tanda istirahat berbunyi
KAMU SEDANG MEMBACA
PUTIH BIRU
Teen FictionPramudya Alba Samudra adalah namanya, seorang lelaki kharismatik dan kritis. Alba bersekolah di sekolah yang tidak dia inginkan, dalam dialektikanya banyak sekali pengalaman yang Ia rasakan, mulai dari jatuh cinta, putus cinta, kehancuran keluarga...