Pada usia tujuh tahun, Satya tahu bahwa dia tidak seharusnya lahir--bahwa dia adalah sebuah kesalahan.
Mungkin ibunya mengira dia tidak akan mengerti karena usianya yang masih sangat muda, namun justru anak kecil mudah sadar akan detail-detail terselubung seperti raut wajah, gerak-gerik dan cara bicara.
Ibunya membencinya.
Satya selalu mengetahui hal tersebut. Sulit untuk tidak sadar ketika perlakuan ibunya kepada dia dan Sean sangatlah berbeda, namun dia tidak pernah tahu mengapa, hingga suatu hari semuanya menjadi masuk akal.
Pernikahan orang tuanya dan kelahirannya hanya berjarak empat bulan.
Semuanya diperjelas saat Satya menemukan ibunya meminum di dalam gudang rumah mereka. Wanita itu duduk di lantai dan bersandar pada dinding. Rambutnya berantakan, begitu juga dengan rias wajahnya. Suara tangis sesenggukan senantiasa lolos dari mulutnya.
Satya berusia tujuh tahun kala itu.
"Ma...?" Satya kecil berkata pelan.
Dia berjalan mendekati figur ibunya itu, kemudian terperanjat saat Erika mencengkeram erat pergelangan tangannya. Mata Erika menatapnya tajam di balik helaian rambut hitamnya.
"Ma, s-sakit," rintih Satya yang berusaha melepaskan cengkeraman sang ibu.
Erika tidak pernah menyakitinya. Setidaknya, tidak pernah secara langsung atau fisik.
"Kamu... tau, Satya," kata Erika dengan suara parau. Matanya menatap kosong ke depan. "Karena kamu... Mama harus hidup kayak gini selama-lamanya."
Satya menyadari bahwa bahu ibunya gemetar, begitu juga dengan bibirnya.
"Kamu ngehancurin hidup Mama!" jeritnya, kemudian pecah menjadi isakan tangis. "Karena kamu... Karena kamu, Mama kehilangan segalanya, Satya... Kamu nggak seharusnya di sini!"
Napas Satya seakan berhenti di tenggorokannya. Mendapati ibunya menyerukan kalimat itu dengan nada yang sangat terluka, dia tidak memiliki pilihan lain selain untuk mempercayai bahwa kata-katanya itu benar.
Bahwa dia menghancurkan hidup orang lain dengan keberadaannya.
Tak lama kemudian, Erika akhirnya melepaskan cengkeramannya.
"Wajah kamu selalu ngingetin Mama sama kejadian itu," gumam wanita tersebut sembari mengusap wajahnya. "Mama nggak sudi ngeliat kamu lebih lama lagi. Keluar sekarang."
"Ma--"
"KELUAR!!"
Satya kembali tersentak. Tubuh kecilnya mulai gemetar secara otomatis mendengar seruan tersebut. Bukan hanya volume suaranya, melainkan juga kemarahan, kebencian dan luka yang terkandung padanya.
Mata Satya perih dengan air mata yang mengancam ingin bebas. Dengan berat hati, dia pun berlari keluar dari gudang dan menangis tersedu-sedu.
Aneh, karena fenomena ini begitu melekat pada ingatan Satya, sementara di sisi lain, Erika sama sekali tidak mengingatnya karena kondisinya yang sedang mabuk.
Satya berusaha mengabaikan perasaan pilu di hatinya setiap kali ibunya memperlakukan adiknya lebih baik. Membelikannya mainan bagus, menuruti semua kemauannya dan selalu menemaninya terlepas kesibukannya. Akan tetapi, entah mengapa, Satya merasa bahwa dadanya tetap sakit.
Dia menyadari bahwa hal ini dinamakan iri.
Dia merasa iri dengan Sean.
Akan tetapi setidaknya, ayah mereka peduli dengannya, karena Satya adalah putra sulung dan seorang penerus.
![](https://img.wattpad.com/cover/306860588-288-k601839.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
To the Moon and Back [END]
FanfictionSatya adalah putra sulung dan murid yang sempurna. Tidak mengherankan bahwa banyak yang ingin menjadi seberuntung dirinya. Akan tetapi, Narami menyadari ada sesuatu yang Satya sembunyikan saat dia menyaksikan lelaki itu hendak melakukan tindakan men...