1 | secarik kertas

482 48 17
                                    

Suara kucuran air menjadi sesuatu yang cukup menenangkan menjelang pukul setengah 12 siang di hari itu. Kepalanya sedikit pening gara-gara tumpukan kerjaan yang mendesak.

Salah Jerga sendiri, sih. Akhir-akhir ini dia cukup sembrono dan bolak-balik bolos ngantor untuk menemani Kana. 

Jerga menggulung lengan kemejanya sebatas siku, menangkup air dengan kedua telapak tangan, kemudian membasuh wajahnya dengan air beberapa kali.

Sewaktu mengeringkan tangan dan hendak mengenakan jam tangannya kembali, ponselnya tiba-tiba menjerit dalam saku. Segera saja Jerga merogohnya.

Sebuah nama yang muncul sebagai penelepon sontak bikin senyum Jerga terukir. Tanpa pikir panjang Jerga mengangkatnya.

“Hm, ada apa?”

“Ish! Kalau ditelepon tuh jawabnya ‘halo Kana!’ bukan hm hmm apaaaa!”

Jerga memutar keran hingga mati, tertawa kecil, kemudian berjalan keluar dari toilet menuju ruangannya. Jerga duduk dikursi, kemudian menyugar helaian rambutnya dengan tangan yang masih setengah basah.

“Maaf-maaf, Abang lupa.” Jerga meringis sedikit. “Iyaaa, halo Kana. Ada apa? Kana butuh apa?”

“Gitu dong! Kan enak dengarnya.” Anak itu tertawa diseberang sana. “Sebentar Om masih telepon Bang Gaga nih.”

Jerga mengerutkan kening. Dia sempat ingin bertanya sewaktu Kana menyebut ‘Om’ barusan. Tapi batal saat ingat ini jam pulang sekolah Kana, yang lagi diajak ngomong Kana itu pasti sopir pribadinya.

“Kamu lagi dimobil sama Pak Mono ya?”

“Yap!” Kemudian terdengar suara mirip bantingan pintu mobil. “Tapi kalau sekarang aku sudah turun. Mau jalan ke lobi.”

“Lobi? Rumah nggak ada lobi loh, Na?”

“Siapa bilang aku di rumah?”

“Loh? Terus kamu diman-“

Jerga belum sempat menuntaskan perkataannya saat pintu ruangannya diketuk dari luar. Jerga menoleh kesana sejenak. “Ya?”

Seorang OB nongol, lantas menunjuk sungkan ke arah belakang pundaknya dengan jempolnya. “Maaf Pak Jerga mengganggu. Itu adiknya Bapak ada dibawah, nyariin Bapak.”

Jerga kontan memejam letih, nafasnya dibuang perlahan kemudian mengangguk dua kali tanda mengerti. Saat hendak bicara lagi, teleponnya sudah Kana matikan.

Tak ada yang bisa Jerga lakukan sebelum menyusulnya turun atau sesuatu yang tidak diinginkan bakal terjadi.

Jerga buru-buru memasuki lift dan turun ke lantai dasar dimana Kana berada. Jerga kelupaan menjemput Kana. Tapi tak sampai mengira kalau bocah nakal itu bakal ngide menyusulnya ke kantor begini.

Biasanya anak itu bahkan ogah-ogahan menginjakkan kaki dibangunan pencakar langit ini, katanya membosankan, katanya kurang warna, dan Kana tipikal anak yang gampang bosan.

Tapi siang ini-

“AAAAAAAAAA!”

“HAHAHAHAHA!!!”

the middle of june. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang