BAB 1

36 5 0
                                        

"Cantik itu hanya ibarat lukisan yang bisa membuat para penikmatnya terobsesi oleh visual"

Ada 3 hal di dunia ini yang Adaya benci, pertama penghianatan, kedua kebodohan, dan ketiga-kecantikan. Adaya sangat benci dengan penghianatan antar manusia yang awalnya saling percaya bahkan saling berjanji untuk tidak melakukan hal bodoh semacam itu. Lalu, Adaya membenci kebodohan-sebab kebodohan bisa membuat orang-orang yang mengidapnya melakukan pengkhianatan dan mengambil keputusan hidup yang plin-plan dan tidak terarah. Terakhir, Adaya sangat membenci kecantikan-sebab dengan adanya kecantikan-akan membuat si pemiliknya selalu di sanjung dan diratukan walaupun memiliki penyakit yang sangat Adaya benci, yaitu bodoh dan berkhianat.

Walaupun tidak selalu kecantikan membuat pemiliknya menjadi angkuh dan merasa nomor satu, namun Adaya tetap benci, sebab kecantikan juga dapat menimbulkan persepsi dan stereotip bahwa semua yang 'cantik' hanya memperoleh segalanya lewat paras, bukan murni dari kemampuannya sendiri.

'Asal lo tahu, ya! Semua hal yang lo dapetin kemarin-kemarin itu cuman gara-gara lo cantik! Pertemanan, pasangan, kerjaan, bahkan kelulusan lo di Universitas kesayangan lo itu cuman karena lo cantik! Berhenti jadi manusia munafik, stop gunain kecantikan lo itu buat nyakitin orang-orang disekitar lo, Aya!!"

—Adaya menatap penuh amarah ke arah wanita yang ada di hadapannya setelah mendengar kata pengkhianatan yang dikeluarkan oleh orang kepercayaannya selama ini. Matanya memerah menahan genangan air mata yang hampir saja tak bisa ia bendung. Dia bahkan tidak menyangka jika kalimat menjijikkan itu akan keluar dari mulut Shiren—sahabat karibnya.

Adaya memilih untuk pergi dan meninggalkan tempat itu, berlari menyusuri jalan yang kini tengah diguyur lebatnya air hujan, Adaya menangis sesegukan, air matanya mengalir diiringi air hujan yang turut membasahi pipi Adaya.

Adaya benci pengkhianatan—sampai kapanpun, Adaya benci pengkhianatan.


Adaya menjalani hidupnya seperti biasa, sembari menunggu waktu dimulainya kuliah perdana yang sudah ia nanti nanti sejak 3 bulan terakhir. Sejak hari itu—saat Adaya kehilangan sahabat karibnya, ia menjadi pribadi yang mengartikan kehidupan dengan realistis dan lebih memilih untuk menjalani kehidupan dengan tenang.

Hari dimana kuliah perdana di mulai telah tiba. Adaya mempersiapkan segalanya dengan sangat baik, termasuk mental untuk menerima cemoohan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Ia menginjakkan kakinya di kampus yang selama ini ia idam-idamkan, perlahan—matanya menyusuri setiap sudut dan memperhatikan setiap orang yang tengah sibuk dengan kehidupannya masing-masing.

Adaya kini berdiri tepat di depan Fakultas Teknik, Fakultas yang kini menjadi tujuannya, tempat dimana ia akan menghabiskan beberapa tahun ke depan untuk mewujudkan cita-citanya. Adaya mengambil program studi Arsitektur, yang kata orang orang iri, posisi ini ia dapat tak lain dari hasil jual kecantikan semata.

"Woi!"

Teriakan yang ia duga ditujukan untuknya tersebut membuat langkahnya terhenti. Adaya menolehkan kepalanya, menatap segerombolan wanita yang memberinya kode dari jauh.

Adaya tidak mengerti apa maksudnya. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Adaya memilih untuk mengikuti saja dan mendekat ke arah mereka.

"Ada apa, ya?" ucap Adaya dengan ekspresi datar.

"Ada apa kata lo?" Nada wanita dengan rambut sebahu itu tiba-tiba membuat suasana menjadi tegang dan membuat teman-temannya yang lain tersenyum puas dan meremehkan.

"Emang maba sekarang tuh pada belagu, ya?!"

Adaya mengembuskan napasnya dengan berat, ia sudah menduga hal-hal seperti ini akan terjadi.

"Baju lo tuh, kancing!! Di sini tempat buat kuliah, bukan jual diri!" Wanita itu mengucapkan tanpa hati-hati, membuat Adaya geram dan mengucapkan segala sumpah serapahnya dalam hati.

Adaya mengancing baju bagian atasnya. Menatap datar pada wanita yang dia duga adalah 'senior' di fakultas ini.

"Udah 'kan? Gue di sini bayar buat kuliah, bukan bayar buat ngikutin mau kalian."

Adaya meninggalkan wanita-wanita tersebut, ekspresi tidak terima sangat terpampang jelas di wajah mereka.

"Emang belagu sih dari mukanya," ucap salah satu dari mereka.

"Ya, ga salah juga kenapa si Javiz bisa segila itu cinta sama dia, mungkin dia udah ngerasain," timpal salah satunya, lalu disambut dengan tawa puas dari teman-temannya.

Cantik itu KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang