Radenjaya Sagara Pradeepa

25 3 0
                                    

"Hei, Putri Pak Pradipta," sapa Pras usil sambil sembari menyenderkan bahu kanannya ke bingkai pintu depan rumah yang memang senantiasa dibiarkan terbuka.
Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya Pria itu berhasil menggangguku tiap pagi satu pekan ini. Kurasa dia akan membawakan kabar yang sama seperti sebelum-sebelumnya, tentang hal yang sama sekali tidak memancing perhatianku. Setidaknya untuk saat ini, aku tidak tertarik dengan tawaran Pras yang hendak memperkenalkanku dengan seorang kawannya. Bahkan setelah Pras mencoba merayuku beberapa kali dengan mengatakan, aku yang menurutnya cantik akan serasi dengan kawan yang dia maksud. Keputusanku tetap sama, aku tidak ingin menemui siapapun.
Sudah hampir satu pekan, Pras selalu datang ke rumah sembari mengatakan hal serupa. Jujur saja, aku sudah mulai bosan mendengarnya.
Apa Pras tidak punya hal lain yang bisa dikatakan?

"Pras, untuk apa lagi kau datang pagi-pagi sekali menemui putriku?" Dari balik selambu yang memisahkan ruang tamu dengan bagian dalam rumah, Ibu tiba-tiba muncul dan menyahut.

"Kuberitahukan pada ayahnya Si Renjani, lho, yaa."
Meski dari nadanya, Ibu tidak benar-benar serius mengatakan hal itu kepada Pras. Namun, kulihat Pras justru menunjukkan mimik wajah pura-pura takut. Ada-ada saja dia.

"Ibu ini tidak bisa diajak berkompromi, ya, "katanya lesu.
"Ah, malas kalau diajak bekerjasama denganmu, Pras," balas ibu yang memang senang sekali meladeni ucapan Pras.
Setengah tertawa Pras bertanya. "Mengapa memangnya,Bu?"
"Sering tidak ada hasilnya,"jawab Ibu seraya mengambil posisi duduk dikursi yang sama denganku.

Pagi-pagi seperti ini, aku memang paling senang membantu Ibu menjahit. Selain memasak, kata Ibu aku cukup terampil menjahit dan menyulam. Sesekali, ada saja tetangga yang meminta untuk dijahitkan pakaian mereka. Lumayan, uangnya bisa kutabung untuk dipakai sewaktu-waktu.

"Kali ini tidak, Bu. Pasti ada hasilnya." Pras mengambil tiga langkah masuk ke dalam ruang tamu rumah setelah meninggalkan alas kakinya di depan pintu. Dari raut wajahnya, ia tampak begitu antusias.
Kursi yang berada di seberang tempatku dan Ibu duduk berderit ketika Pras memilih duduk di sana. Kepalanya  lebih dicondongkan ke depan, seperti hendak berbincang hal yang teramat penting. Padahal aku tahu apa yang akan dibicarakannya kepada Ibu.
"Apa, toh, hasilnya?"Ibu yang tadinya sibuk melipat beberapa pakaian yang sudah kujahit langsung memusatkan atensinya kepada Pras.

Sepertinya Ibu penasaran sekali mengingat selama ini, Pras hanya membicarakan soal usulannya yang akan memperkenalkanku pada kawannya padaku saja. Pun aku tidak pernah membahas hal ini kepada Ibu. Ya, karena menurutku memang tidak terlalu penting.

Aku tersenyum lama, memperbaiki posisi selembar pakaian yang terhampar di pangkuanku sebelum akhirnya melanjutkan menjahit.
"Itu, Bu. Pras hendak memperkenalkan Renjani dengan kawannya,"jawabku sesekali menoleh singkat kearah Ibu dan Pras secara bergantian.
"Benar?" Ibu bertanya sekali lagi dengan nada antusias.
Untuk beberapa saat, aku mengerutkan dahi setelah mendengar isyarat keantusiasan yang ditunjukkan Ibu dengan jawabanku tadi. Aku sama sekali tidak mengira, Ibu rupanya sangat setuju dengan ide konyol Pras.

Mengetahui bahwa Ibu sangat tertarik, senyuman Pras tampak kian sumringah. "Tentu saja Bu. Siapa pun tahu, betapa cantik dan baiknya Renjani ini."
"Tapi, siapa kawanmu itu? Dari mana asalnya?" Ibu mendorong kepalanya lebih maju dan menjelaskan dengan suara yang lebih rendah. "Apa dia rekanmu? Orangnya baik tidak?"
"Ibu?" Aku hampir tidak berkedip mendengar rentetan pertanyaan Ibu kepada Pras.
Pasalnya, ini benar-benar berada di luar perkiraanku.

Tanpa menggubris ucapanku, Ibu kembali mendesak Pras agar segera menjawab. Reaksi Ibu tampaknya sudah menjadi sebuah kemenangan untuk Pras sendiri. Setidaknya, kini perbandingan di antara kami yang mulanya seri menjadi berat sebelah. Ibu memihak ke arahnya.

"Wah, Ibu tidak akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi." Tanpa menjawab secara langsung,  Pras justru membuat Ibu semakin dipenuhi rasa penasaran. "Kawanku ini landha, dia rekan satu barrack di ATEKAD. Orangnya tampan sekali, tinggi, dan baik. Banyak gadis-gadis yang mengaguminya. Tetapi, kawanku itu tetap tidak bergerak untuk meminangnya satu. Memang dia kurang mengerti soal gadis. Itu kenapa, aku mencarikan untuknya gadis yang baik seperti Renjani agar dia tidak terus diusik gadis-gadis di luaran sana."
"Begitukah? Artinya, dia juga seorang ABRI?" tanya Ibu meyakinkan.
Kulirik Ibu sekilas, terlihat jelas ada kilauan binar yang berada di kedua netra legamnya.
"Betul, Bu. Mana mungkin Pras berbohong. Pras ini 'kan kawan dekat Renjani dari kecil. Pastilah Pras ingin Renjani mendapatkan pria yang baik untuknya." Pras menjelaskan dengan ekspresi sungguh-sungguh. Kemudian, ia menambahkan. "Lagipula, Pras sudah menceritakan sedikit tentang Renjani kepadanya. Dia bersedia mencoba menemui Renjani. Biasanya, sukar sekali untuk membujuknya pergi. Bukankah itu tanda-tanda bahwa mereka ada kemungkinan berjodoh, Bu?"

Dilihat dari cara Pras bercerita, memang sepertinya ia tidak sedang main-main. Meski aku sedikit tertegun karena sebelumnya, Pras tidak memberitahuku bahwa kawannya yang ia maksud adalah seorang ABRI. Tetapi, aku sebenarnya kurang mempercayai kata-kata terakhirnya.
Jika dilihat dari logika, mana mungkin ada pria yang belum memiliki pasangan di saat ia dikelilingi oleh banyak gadis?
Pastilah masalah ada pada pria itu. Entah itu karena tipe idaman pria itu yang terlalu tinggi atau bagaimana jelasnya, aku sungguh tidak tahu.

"Sudah pasti itu! Ibu setuju sekali! " tukas Ibu semangat. Lalu, Ibu menoleh kepadaku yang masih sedikit termenung dengan banyak cabang-cabang kemungkinan di kepalaku. "Bagaimana denganmu, Ni?"
Aku tersadar. Sesatt, terdiam cukup lama.
Bagaimana aku bisa menolak keinginan Ibu? Aku tidak pernah melakukannya. Dan bagimana reaksinya nanti jika aku tidak memberikan jawaban yang serupa dengan pendapatnya?
Tiba-tiba, sebelah tangan Ibu terulur dan menyentuh tanganku lembut. Aku semakin bimbang.

"Begini saja, Ni. Kau cobalah temui dia sekali dan kalau kau memang tidak menyukainya, tidak apa-apa. Setidaknya, temuilah dahulu. Aku melakukan ini hanya semata-mata ingin kau nanti bersama pria yang tepat. Usiamu 'kan sudah cukup matang,Ni. Setidaknya tidak perlu terburu-buru. Dekat saja dulu. Tetapi, kalau kau memang tidak suka, aku tidak akan kembali mendesak. Itu terserah olehmu," kata Pras memberi jalan tengah.
"Ide yang bagus. Ni, kau setuju?" tanya Ibu lagi.
Lima detik aku berpikir, rasanya itu bukan saran yang buruk. Setidaknya, Ibu setuju dengan saran dari Pras dan aku pun berpikir itu adalah keputusan yang lebih baik daripada sebelumnya. Bagian terpenting, setelahnya Pras tidak akan datang kemari dan menggangguku lagi. Aku juga merasa tidak enak jika lama-lama menolak permintaan Pras.
"Bagaimana, Ni? Kau mau tidak? Kuberitahu sekali lagi, mungkin kau akan menyesal setelah menjawab tidak." Pras semakin gencar membuat Ibuku bertambah antusias.
"Ya. Aku akan mencoba menemuinya, " jawabku akhirnya.
Jawabanku mengundang rekahan senyum Ibu dan Pras. Melihatnya, aku turut tersenyum bersama mereka.
"Kalau tahu begini, tentu dari awal aku sudah meminta bantuan dari Ibu untuk membujuk si Renjani." Pras merebahkan punggungnya ke sandaran kursi, tertawa lebar.
"Kau juga, sih. Tidak memberitahu segera. Ya, mana Ibu tahu." Ibu balas tertawa. "Ya sudah, kau mau minum apa? Biar Ibu buatkan."
Tubuh Pras menegak. "Ah tidak perlu repot-repot, Bu."
"Tidak, Ibu sekalian hendak membuatkan Ayahnya Renjani. Beliau akan tiba dari kota," kata Ibu seraya bangkit dari tempat duduknya.
"Pak Pradipta pergi berdagang ke kota mana memangnya, Bu?" Basa-basi, Pras bertanya.
"Seperti biasa, ada barang yang memang banyak diminati di sana. Sudahlah, ya. Kau mau teh atau kopi?"
"Kopi saja, Bu." jawab Pras cepet.
Sudah kuduga, dia memang paling suka kopi.
"Tunggu sini, ya."
Setelah mengatakan hal itu, Ibu mengambil langkah pergi. Ia berlalu ke dalam rumah dan hilang di balik selambu.
Sekitar lima detik setelah kepergian Ibu, aku tiba-tiba teringat akan satu hal.
"Ah, Iya. Siapa nama pria itu?" tanyaku sembari menghentikan sejenak aktivitasku dari kegiatan menjahit.
Pras menepuk dahi, mungkin ia memang lupa tidak memberitahu hal sekecil itu sebelumnya kepadaku. Tidak apa-apa, salahku juga karena baru mengingatnya sekarang.
"Sagara," katanya menjawab. "Namanya Radenjaya Sagara Pradeepa . Tetapi, lebih dikenal dengan nama Jaya Sagara saja."
"S-Sagara?" Terdengar asing, tidak seperti dengan nama kebanyakan orang pada umumnya.
"Ya, dia berusia dua puluh lima tahun."
Jujur, aku sedikit tidak mendengarkan penjelasan Pras mengenai usia pria tersebut. Tetapi yang jelas, entah mengapa aku menyukai namanya.
Sagara.

Renjani-Sagara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang