BAB 1

43.4K 105 5
                                    

Menjadi anak kuliahan di luar kota tentu saja bukanlah sebuah hal yang mudah, terlebih ketika dirimu berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan seperti bayar sewa kos,  makan sehari hari, biaya transportasi dan lain lain. Meskipun begitu, tidak semua hal mengenai menjadi anak rantauan itu menyulitkan. Jauh dari keluarga, saudara dan tetangga bisa membuatmu lebih mandiri, bertanggung jawab dan lebih bebas dalam menyalurkan hobi. Terlebih jika hobimu adalah sesuatu yang kurang normal dalam masyarakat.

Ngomong ngomong namaku adalah Ami, tahun ini aku menginjak usia yang ke 19 tahun. Aku berkuliah di salah satu kampus yang cukup ternama di sebuah kota besar. Karena ekonomi keluarga ku yang pas pasan, aku memilih kos kosan dengan biaya sewa yang serendah mungkin, namun juga memiliki fasilitas yang sebaik mungkin. Di kosan tersebut aku tinggal sekamar dengan seorang mahasiswa yang sekampus denganku, sekaligus menjadi kakak tingkatku, Tia namanya.

Meskipun dia 3 tahun lebih tua dariku, namun dia enggan ku panggil dengan tambahan 'mbak' di depannya. Dia ingin aku menganggapnya sebagai teman sebaya. Jujur saja, aku sangat nyaman tinggal sekamar dengannya. Tia adalah tipe orang yang simple, ramah dan juga perhatian. Sejak awal aku datang ke kos kosan ini, dia tidak pernah sekalipun membuatku jengkel maupun marah, justru dia membuatku sangat betah dan nyaman tinggal disini.

Tia sendiri sebenarnya tinggal tak jauh dari kampus kami, rumahnya hanya berjarak sekitar 30-45 menit dari sini. Akan tetapi ia lebih memilih ngekos karena merasa akan kelelahan jika harus bolak balik dari rumahnya sampai ke kampus setiap hari. Meskipun begitu Tia biasanya pulang setiap akhir pekan karena keluarganya yang selalu kangen dan menanyakan kabarnya.

Seperti malam ini contohnya. Hari jum'at malam adalah jadwal rutin bagi Tia untuk pulang ke rumahnya. Ia biasanya berangkat sehabis isya dari kosan kami, meninggalkan aku sendirian disini.

"Udah ga ada yang ketinggalan, Ti? " tanyaku pada teman sekamarku itu.

"Engga kok, yang penting kan cuma Hp, dompet doang, lainnya mah tinggal disini, " jawab Tia sembari berjalan menghampiri motornya.

"Yaudah kalau gitu, hati hati yaa..., " ucapku sembari melambaikan tangan.

"Yoiii..., " sahut Tia yang kini sudah menaiki motor matic nya itu.

Aku pun menyaksikan kepergian Tia hingga hilang dari jangkauan mataku. Dan dengan kepergiannya maka menjadi pertanda bagiku untuk memulai rutinitasku. Dengan tak sabar, aku kembali masuk ke kosanku dan langsung menuju ke kamarku, lalu menguncinya rapat rapat. Aku mengambil berbagai macam sapu tangan, kaos kaki, bandana, jilbab dan juga cadar.

Yang akan ku lakukan saat ini adalah sebuah hobi yang sudah kusebutkan tadi. Setiap kali Tia pulang ke rumahnya dan kosan sepi, maka aku selalu melakukan kegiatan ini. Aku mengepalkan 3 kaos kaki kemudian menjejalkan semuanya bersamaan hingga memenuhi mulutku. Bahan kaos kaki yang terasa lembut langsung dapat ku rasakan di seluruh bagian dalam mulutku. Selanjutnya aku mengambil bandana berwarna putih polos kemudian melipatnya hingga berbentuk persegi panjang dengan lebar kira kira 5cm. Dengan slayer tersebut aku memposisikan nya di antara kedua bibirku untuk menahan kaos kaki di dalam mulutku agar tidak terlepas. Setelah dirasa pas, aku pun mengikatkannya di tengkuk kepala ku dengan cukup kencang.

Tak berhenti di situ aku mengambil bandana berwarna hitam dengan motif menyerupai batik berwarna putih. Bandana itu aku tekuk beberapa kali namun masih menyisakan bentuk segitiga. Kemudian aku memasangnya tepat di bawah hidungku hingga menutupi daguku. Terakhir, aku mengambil jilbab paris berwarna hitam yang akan ku gunakan sebagai cadar. Seperti orang pada umumnya, aku mengenakan cadar untuk menutupi area hidung hingga melebihi daguku. Dan dengan begitu tahap pertama pun telah selesai.

Hobi TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang